“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nyawa
KRIET!
Suara serak kursi tua berderit pelan, patah oleh waktu dan kisah. Sebilah kaki mungil menjejak, meniti permukaannya yang lapuk. Sandrawi menegakkan wajahnya, tatapan kosong menatap loteng, tangan mungilnya sibuk mengencangkan lilitan tali tambang pada kayu jati usang, sisa kenangan dari ayunan bayi masa silam.
Tring!
Nada dering ponsel menggema, nyaring memecah keheningan kamar itu. Selesai menguatkan ikatan tambang, jemari Sandrawi bergerak pelan merogoh saku. Matanya jatuh pada seuntai pesan hangat, datang dari orang yang paling berarti.
Kebaya pink yang Ibu janjikan untuk acara wisuda kamu sudah dibeli. Nanti kamu coba ya setelah Ibu sampai di rumah.
Tak ada senyum yang merekah, justru tangisnya menetes tanpa suara. Setitik luka menyelinap, membayangkan betapa hancurnya hati sang ibu saat tahu kenyataan kelam yang selama ini ia sembunyikan.
"Maafin Sandrawi, Bu… maafin Sandrawi…" bisiknya, bibirnya bergetar hebat menahan lara. Tangis itu tertahan, bersemayam di dada yang kian sempit.
Ibu akan segera pulang, menuntaskan pengabdian panjangnya sebagai TKW di negeri seberang, tiga tahun lamanya terpisah oleh laut dan waktu. Demi pendidikan Sandrawi, ibunya rela menukar masa senjanya dengan keringat dan lelah tanpa jeda.
Namun, apa yang bisa dibalas oleh Sandrawi? Tak ada, selain noda hitam yang akan menampar wajah mulia sang ibu.
Ia menolak menyaksikan kekecewaan itu tumpah di hadapan matanya. Maka, Sandrawi memilih menutup kisahnya, menamatkan hidup yang bahkan belum sempat mekar.
Tali tambang, kini membentuk lingkaran sempurna, menanti di hadapan Sandrawi. Di detik terakhirnya, ia menggenggam ponsel, menyusun pesan terakhir, sebuah maaf sederhana yang diharap mampu sedikit meredakan luka.
Semoga… ibunya tak akan pernah membencinya. Sekalipun kelak semua kepalsuan ini terbongkar.
Send.
Pesan terkirim. Sandrawi menaruh ponselnya, helaan napas berat meluncur dari dadanya. Matanya perlahan terpejam, tangannya menggapai tambang yang membisu, sementara kakinya mulai menapak ujung kursi, bersiap melepas beban dunia dengan sebuah ayunan terakhir.
"Sandrawi minta maaf, Bu… selama ini cuma bikin Ibu capek… nggak pernah bisa bahagiain Ibu… maafin, Bu…."
Kalimatnya terputus, isakan pilu menggantung di tenggorokan. Tapi saat telapak kakinya hendak mendorong kursi, sekelebat wajah sang ibu melintas, berlinang air mata, menangis sejadi-jadinya.
Tubuh Sandrawi kaku. Ada getar yang menahan, suara halus dari hati kecilnya menggema. Bagaimana jika Ibu hancur mengetahui putri satu-satunya pergi dengan cara sekotor ini? Apakah luka hatinya akan sembuh setelah kepergian ini? Apakah semua kesalahan lenyap begitu saja?
Tidak.
Kesadaran membungkus nurani Sandrawi. Ia tahu, keputusannya tak menyelesaikan apa pun. Justru akan menambah beban, menggali luka lebih dalam bagi orang-orang yang mengasihinya, terutama sang ibu.
Ia menutup matanya, menarik napas gemetar. Tidak… ia tak akan menyakiti ibunya lebih jauh. Akan lebih baik jika ia mengakui segalanya, apa adanya. Bukankah ibu akan selalu mengerti?
Begitu pikir Sandrawi.
Tepat di saat Sandrawi hendak melepaskan lilitan tambang dari lehernya, kursi reyot yang ia jadikan pijakan mendadak tersentak ke belakang. Tubuhnya terhempas menggantung, lehernya mencekat oleh tambang kasar itu. Kakinya menghentak-hentak udara, berusaha mati-matian mencari pijakan yang telah hilang.
Pandangan Sandrawi buram oleh rasa sakit, namun matanya masih sempat menangkap sosok lelaki berdiri angkuh di ambang pintu. Di bawah sana, seorang perempuan memperlihatkan seringai keji, seolah menikmati siksaan yang tengah menimpa Sandrawi.
“To-tolong…” Suaranya parau, nyaris tak terdengar. Lidahnya tercekat, nafasnya kian berat. Dia tidak ingin mati… tidak sekarang… dia tidak boleh menyerah!
Namun, apalah daya. Tenaganya kian menipis, tangannya lemah, berusaha meraih dan melonggarkan lilitan tambang di lehernya, namun sia-sia. Dua pasang mata di hadapannya hanya menatapnya dengan sorot kemenangan, tanpa secuil niat untuk menolong.
Sementara itu, jauh dari tempat kejadian, Ratih baru saja melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional Bandara Juanda, Surabaya. Senyumnya merekah, rona bahagia terpancar dari wajahnya. Tak sabar rasanya segera memeluk Sandrawi, mendampingi putrinya mengenakan toga kebanggaan di hari wisudanya nanti.
“Sandrawi… Ibu nggak sabar pengen lihat kamu sukses, Nak…” bisik Ratih, memeluk sebuah kotak kecil berisi ponsel keluaran terbaru yang sengaja dibelinya, hadiah kecil untuk Sandrawi.
Ratih meraih ponselnya dan mengirimkan pesan penuh kasih untuk putri kesayangannya. Setelah memastikan pesan terkirim, ia menyelipkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya dan mulai menelusuri keramaian bandara, mencari suaminya yang dijanjikan akan menjemput.
Berputar-putar sekian lama di sekitar parkiran, Ratih mulai kesal, lalu segera menekan nomor suaminya.
“Mas, kamu di mana sih? Aku muter-muter sampai parkiran juga nggak ketemu,” gumamnya, mencoba menahan geram.
“Aku masih di jalan, Dek. Sebentar lagi sampai kok. Kamu tunggu dulu ya,” sahut Baskoro di seberang sana, suaranya berusaha menenangkan.
“Cepetan ya, Mas,” jawab Ratih singkat, lalu memutus sambungan telepon.
Saat hendak memasukkan ponselnya ke dalam tas, matanya sekilas menangkap balasan pesan dari Sandrawi. Hatinya menghangat, senyum tipis menghias bibirnya. Namun senyum itu perlahan pudar, berganti dengan gurat tegang begitu matanya membaca isi pesan.
Maaf, Bu… sepertinya Sandrawi nggak bakal pakai kebaya itu… karena Sandrawi nggak akan pernah wisuda. Maaf kalau setelah ini Sandrawi nggak akan jadi kebanggaan Ibu lagi. Sebelum Ibu makin kecewa… Sandrawi mau minta maaf dulu… mungkin ini permintaan maaf Sandrawi yang terakhir. Semoga Ibu bisa ikhlas maafin Sandrawi…
Tenggorokan Ratih tercekat. Matanya membesar, telapak tangannya mulai gemetar memegang ponsel. Firasat buruk menyelinap, dadanya mendadak sesak. Ada sesuatu yang tak beres.
Tanpa pikir panjang, tanpa menunggu Baskoro datang, Ratih segera menghentikan taksi yang tengah menepi. Dengan suara tegas, ia menyebutkan alamat rumahnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Ratih tak henti-hentinya merapal doa, berharap tak ada musibah menimpa putri satu-satunya.
“Pak… lebih cepat, ya!” suaranya terdengar mendesak. Sopir taksi hanya mengangguk patuh, lalu menginjak pedal gas lebih dalam.
Lima belas menit berselang, laju kendaraan terhenti tepat di halaman sebuah rumah bertingkat dua. Bangunannya megah, jauh mencolok di antara bangunan sederhana yang berdiri di sekitarnya. Ratih terpaku menatap fasad rumah itu, keraguan tergambar jelas di matanya.
“Pak, ini bener nggak alamatnya?” tanyanya, nada suara meninggi karena bingung. Ia mengingat jelas, sebelum berangkat menjadi TKW tiga tahun lalu, rumahnya masih sangat sederhana, tidak semewah ini, bahkan tak berpagar besi tinggi seperti sekarang.
“Sudah betul, Bu. Saya nggak mungkin salah alamat,” jawab sang sopir dengan yakin.
Ratih mengedarkan pandangan. Rumah-rumah tetangga masih sama seperti yang ia tinggalkan dulu, tak ada perubahan berarti. Hanya rumahnya sendiri yang tampak berbeda terlihat begitu megah, mewah, dan asing baginya.
Sepertinya… sopir itu memang tak keliru.
“Terima kasih ya, Pak,” ucap Ratih, menyerahkan uang pembayaran sebelum turun dari mobil.
Langkahnya terasa berat saat mulai mendekat ke pagar rumah itu. Ada perasaan ganjil menyelinap di dadanya, suaminya sedang menjemput di bandara, tapi ia sudah lebih dulu sampai di rumah.
“Bu Ratih, sudah pulang?” sapa suara seorang ibu-ibu yang lewat sambil membawa kantong belanjaan.
Ratih membalas senyum kecil. “Iya, Bu… maaf, rumah saya kok sepi ya? Sandrawi ada di dalam nggak, Bu?” tanyanya dengan ragu.
“Saya nggak lihat Sandrawi hari ini, Bu… sepertinya dari tadi nggak keluar rumah,” jawab tetangga itu ramah.
“Oh, begitu ya… terima kasih, Bu. Saya masuk dulu,” pamit Ratih seraya melangkah masuk ke halaman rumah.
Kriet…
Pintu kayu jati murni berderit pelan saat ia dorong. Aroma cat baru masih terasa samar, tata letak perabotan di dalam rumah begitu rapi dan estetik. Ratih yakin, tangan lembut Sandrawi pasti yang menata semua ini.
“Assalamu’alaikum… Sandrawi… Ibu pulang…” panggilnya, namun tak ada sahutan.
Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, menyusuri tiap sudut dengan hati waspada. Langkahnya terhenti ketika matanya menangkap sebuah pintu kamar dengan papan kayu bertuliskan nama ‘Sandrawi’ terpaku di sana.
“Pasti kamar Sandrawi…”
Dengan lembut, telapak tangannya mengelus permukaan pintu putih itu, lalu mengetuk pelan.
“Sandrawi… Ibu sudah pulang, Nak… kamu masih tidur ya?” sapanya dengan nada hangat, mengetuk pintu beberapa kali.
Sunyi.
Tak ada balasan, hanya gema detak jantungnya sendiri yang terdengar semakin keras. Pesan terakhir dari Sandrawi seketika terlintas kembali di kepalanya, membuat perasaan Ratih semakin mencekam.
Ia memutar kenop pintu, terkunci.
“Sandrawi! Buka pintunya, Nak!” suaranya mulai meninggi, disertai getar cemas yang sulit disembunyikan.
Tak ada jawaban. Insting keibuan memaksanya bertindak. Tanpa pikir panjang, Ratih membungkuk, mengintip melalui lubang kunci kecil di bawah gagang pintu.
Sekilas ia melihat kamar bernuansa hijau lembut, perabot rapi, meja rias dengan lampu LED menyala samar.
Namun, tatapan Ratih membatu… matanya jatuh pada sepasang kaki yang menggantung tanpa pijakan, berayun pelan di udara.
“Sandrawi!” teriaknya, histeris, seolah jantungnya diremas-remas oleh tangan tak kasat mata.