Menceritakan kisah seorang anak laki-laki yang menjadi korban kekejaman dunia beladiri yang kejam. Desa kecil miliknya di serang oleh sekelompok orang dari sekte aliran sesat dan membuatnya kehilangan segalanya.
Di saat dia mencoba menyelamatkan dirinya, dia bertemu dengan seorang kultivator misterius dan menjadi murid kultivator tersebut.
Dari sinilah semuanya berubah, dan dia bersumpah akan menjadi orang yang kuat dan menapaki jalan kultivasi yang terjal dan penuh bahaya untuk membalaskan dendam kedua orangtuanya.
Ikuti terus kisah selengkapnya di PENDEKAR KEGELAPAN!
Tingkatan kultivasi :
Foundation Dao 1-7 Tahapan bintang
Elemental Dao 1-7 Tahapan bintang
Celestial Dao 1-7 Tahapan bintang
Purification Dao 1-7 Tahapan bintang
Venerable Dao 1-7 Tahapan bintang
Ancestor Dao 1-7 tahapan bintang
Sovereign Dao 1-7 tahapan bintang
Eternal Dao Awal - Menengah - Akhir
Origin Dao Awal - menengah - akhir
Heavenly Dao
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 23
Pagi itu, matahari bersinar cerah di atas kota Liyang. Suasana pasar ramai dengan aktivitas para pedagang yang membuka kios mereka, sementara suara para pembeli dan penjual bercampur menciptakan harmoni khas kota yang sedang hidup.
Di tengah keramaian itu, sosok Acheng melangkah pelan menuju sebuah kedai makan yang terletak di pusat kota. Dengan langkah tenang dan ekspresi datar, dia tampak berbeda dari kerumunan orang biasa. Aura dinginnya masih memancar meskipun dia berusaha menyembunyikannya.
Namun, belum sempat dia membuka pintu kedai, keributan kecil terjadi di belakangnya. Langkah-langkah tergesa-gesa terdengar, dan dalam hitungan detik, puluhan kultivator berpakaian penjaga kota telah mengepungnya. Suara hiruk pikuk di sekitar mulai mereda saat orang-orang menyadari situasi yang tidak biasa itu.
Seorang pria setengah baya dengan jubah mewah berwarna biru yang merupakan komandan penjaga kota maju ke depan barisan. Wajahnya penuh kehati-hatian, matanya menatap tajam ke arah Acheng.
“Apakah kau pria yang dipanggil Acheng?” tanyanya dengan suara yang dalam dan tegas, matanya tak lepas dari wajah Acheng.
Acheng mengangguk pelan, ekspresinya tetap tenang. “Ya, aku Acheng,” jawabnya singkat, suaranya dingin namun tegas.
Pria setengah baya itu menghela napas panjang sebelum berbicara lagi. “Kami mendapat perintah langsung dari empat penguasa kota Liyang. Kau diperintahkan untuk segera meninggalkan kota ini dan dilarang untuk kembali. Mereka tidak ingin keberadaanmu membawa bencana lebih besar bagi kota ini.”
Kata-kata itu disampaikan dengan nada serius, tanpa ada ruang untuk negosiasi. Acheng hanya menatap pria itu sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan orang yang mulai berkumpul untuk menyaksikan kejadian ini. Beberapa di antaranya berbisik-bisik, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Namun, Acheng tidak terkejut. Dia sudah memperkirakan bahwa hari seperti ini akan tiba. Dengan tenang, dia menjawab, “Aku sudah menduga ini akan terjadi. Kalau begitu, aku akan pergi setelah mengambil slip giok identitasku di kediaman klan Lung.”
Para penjaga kota tampak sedikit bingung dengan jawaban itu. Komandan mereka bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati. “Mengapa kau meninggalkan giok identitasmu di sana? Apa urusanmu dengan klan Lung?”
Acheng menatap pria itu, tatapannya tajam namun tetap tenang. “Itu bukan urusanmu,” katanya singkat.
Aura yang dipancarkan Acheng membuat pria setengah baya itu mundur selangkah tanpa sadar. Tekanan yang begitu dingin dan tegas membuatnya enggan melanjutkan pertanyaan. Dia memberi isyarat kepada pasukannya untuk tetap berjaga namun tidak bertindak lebih jauh.
“Baiklah. Tetapi ingat, kami akan memastikan kau benar-benar meninggalkan kota ini setelah urusanmu selesai.”
Acheng mengangguk kecil, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Para penjaga kota hanya bisa memperhatikan kepergiannya dengan penuh kewaspadaan.
Kerumunan yang menyaksikan kejadian itu semakin ramai. Bisik-bisik mulai memenuhi udara, dengan berbagai spekulasi dan gosip yang berkembang.
“Itu pasti pria yang satu bulan lalu melawan tujuh tetua Sekte Bintang Darah.”
“Aku dengar dia juga menghancurkan asosiasi Mata Langit. Benar-benar berbahaya.”
“Tidak heran dia diusir. Kehadirannya hanya membawa masalah.”
Namun, ada juga beberapa suara yang tampak simpatik. “Tapi bukankah dia juga melindungi kota saat itu? Tanpa dia, siapa tahu apa yang akan terjadi.”
Acheng mendengar semua bisikan itu, namun dia tidak peduli. Langkahnya tetap mantap menuju kediaman klan Lung, meninggalkan keramaian dan rasa penasaran di belakangnya.
Di dalam dirinya, dia hanya memikirkan satu hal: “Aku akan pergi, tapi ini bukan berarti akhir. Mereka semua hanya belum menyadari bahwa dunia tidak akan selamanya aman dengan mengusir seseorang seperti aku.”
Dengan punggung tegap dan aura yang tetap menakutkan, Acheng perlahan menghilang dari pandangan kerumunan, menuju kediaman klan Lung.
...
Di depan gerbang megah kediaman klan Lung, dua penjaga berdiri tegap dengan senjata siap di tangan. Acheng melangkah mendekat, auranya dingin seperti biasa, membuat penjaga langsung memasang sikap waspada.
“Aku datang untuk mengambil slip giok identitasku. Beri tahu Matriark Lung,” ujar Acheng dengan suara tegas namun tidak bernada ancaman.
Salah satu penjaga segera masuk untuk menyampaikan kabar tersebut. Acheng berdiri menunggu dengan tenang, sementara penjaga lainnya sesekali melirik dengan gugup, seakan takut menghadapi sosok di depannya.
Tak lama, penjaga yang masuk kembali dan berkata, “Matriark Lung memintamu untuk masuk. Beliau ingin bertemu langsung.”
Acheng mengangkat alis, sedikit terkejut. Namun tanpa banyak bicara, dia mengikuti pelayan yang ditugaskan untuk membawanya masuk.
Acheng berjalan melewati lorong-lorong indah kediaman klan Lung, dikelilingi taman-taman yang terawat dengan baik. Akhirnya dia dibawa ke sebuah taman kecil yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Di tengah taman itu, Lung Xueyin duduk dengan anggun di sebuah kursi kayu berlapis bantal sutra, menikmati secangkir teh hangat.
Rambut peraknya yang panjang tergerai indah, menambah kesan elegan pada dirinya. Wajahnya yang awet muda dan kulitnya yang bersinar seakan tidak menunjukkan bahwa dia telah hidup lebih dari 80 tahun. Dia duduk dengan satu kaki di atas kaki lainnya, memancarkan aura wibawa yang sulit untuk diabaikan.
Acheng tiba, dan dengan isyarat lembut, Lung Xueyin menunjuk kursi di depannya. “Silakan duduk,” katanya.
Tanpa ragu, Acheng duduk. Dia menatap Lung Xueyin dengan mata dingin namun sopan, menunggu pembicaraan dimulai.
“Acheng,” Lung Xueyin membuka percakapan dengan nada tenang, “aku ingin meminta maaf karena keputusan ini harus diambil. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk membelamu, tapi mereka tidak bisa diyakinkan. Keberadaanmu di kota Liyang dianggap terlalu berbahaya.”
Acheng mengangguk kecil. Ekspresinya tidak menunjukkan emosi apapun. “Aku sudah menduga hal ini akan terjadi. Tidak masalah. Aku memang tidak berniat tinggal di sini terlalu lama. Kota ini memiliki orang-orang baik yang tidak pantas menderita karena aku.”
Lung Xueyin terdiam sesaat, mengamati Acheng dengan penuh perhatian. Dia tersenyum tipis dan mengeluarkan slip giok identitas Acheng dari sebuah kotak kecil di meja di sebelahnya. “Ini, slip giokmu,” katanya sembari menyerahkannya kepada Acheng.
Acheng menerima slip itu dengan anggukan kecil. Namun sebelum dia bisa bangkit, Lung Xueyin mengeluarkan sebuah jimat kecil berbentuk lingkaran emas yang memancarkan kilauan lembut. “Ini jimat transmisi. Jika suatu saat kau membutuhkan bantuan atau ingin menghubungi kami, gunakan ini.”
Acheng memandang jimat itu sejenak, lalu menerimanya tanpa berkata-kata.
Lung Xueyin tersenyum lebih lembut. “Tunggu dulu. Sebelum kau pergi, aku ingin mengundangmu makan siang bersama. Aku juga memiliki sesuatu untukmu.”
Acheng terlihat ragu sesaat. Namun, menyadari bahwa ini adalah bentuk ketulusan, dia tidak menolak. Dia mengikuti Lung Xueyin ke sebuah ruangan makan kecil yang dihiasi ornamen khas klan Lung. Hidangan-hidangan lezat telah tersaji, dengan aroma yang menggoda.
Mereka makan dalam diam untuk beberapa saat. Namun Lung Xueyin akhirnya berbicara. “Kau adalah sosok yang menarik, Acheng. Keberanian dan kekuatanmu, meskipun sering dianggap berbahaya, tidak bisa dipungkiri memang sangat mengagumkan.”
Acheng hanya mengangguk singkat sambil melanjutkan makannya. Setelah makanan selesai, Lung Xueyin mengeluarkan sebuah kotak kecil yang tampak sangat mewah. Ketika kotak itu dibuka, terlihat sebuah mutiara biru muda yang berkilauan dengan cahaya lembut.
“Ini adalah artefak khusus, bernama Mutiara Roh Langit,” jelas Lung Xueyin. “Mutiara ini akan memperkuat jiwa Dao-mu. Aku harap ini bisa membantu kultivasimu.”
Acheng memandang Lung Xueyin dengan tatapan bingung. “Kenapa kau memberiku ini? Aku tidak punya apa-apa untuk membalasnya.”
Lung Xueyin tersenyum lembut. “Kau tidak perlu membalasnya. Anggap saja ini adalah bentuk kado perpisahan dariku, walaupun aku berharap kita bisa bertemu lagi nanti.”
Acheng akhirnya menerima mutiara itu. “Terima kasih,” katanya, nadanya datar namun tulus.
Setelah makan siang selesai, Acheng berdiri dan bersiap untuk pergi. Lung Xueyin mengantarnya sampai ke gerbang utama. Dengan senyuman kecil, dia berkata, “Acheng, hati-hati di perjalananmu. Dunia ini sangat penuh dengan bahaya, tapi aku yakin kau bisa menghadapinya.”
Acheng hanya mengangguk sebelum melangkah pergi. Punggungnya yang tegap perlahan menghilang dari pandangan Lung Xueyin, menyisakan rasa penasaran dan penghormatan di hati sang matriark.
“Semoga suatu hari kita bertemu lagi, Acheng,” gumam Lung Xueyin sambil kembali ke kediamannya.
Ma arti nya mamak/ibu perempuan ,, Pa PPA)ayah laki.