Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 - Dibalik Nama Oma
"Jawab saja, sudah makan atau belum? Oma tuh nanya mulu dari tadi," cerocos Aruni dengan suara yang sedikit meninggi.
Dia bahkan mendadak duduk dan bersedekap dada saat ini. Suara cemprengnya menggema di dalam kamar yang hanya diterangi lampu tidur redup.
Nada bicaranya terdengar seperti perintah, padahal maksudnya tidak sepenuhnya seperti itu.
Lagi dan lagi, dia menyeret nama Oma Mikhayla dalam percakapannya. Seolah Omanya benar-benar tak bisa tenang sebelum tahu kabar Rajendra.
Sungguh, cara klasik Aruni menyamarkan perhatiannya. Dia tahu betul bahwa jika bicara atas nama dirinya sendiri, Rajendra akan langsung tahu bahwa dia peduli, dan Aruni tak ingin ketahuan secepat itu.
Padahal, kenyataannya tak begitu. Sejak mengetahui Rajendra pergi entah ke mana, kekhawatiran Oma Mikhayla hanya muncul di awal saja.
Setelah itu, bahkan sampai malam bergulir dan Rajendra belum juga pulang, wanita itu tetap bersikap tenang. Tak ada omelan, tak ada desakan agar Rajendra segera dihubungi.
Semua tuntutan, semua kekhawatiran yang seolah datang dari orang rumah, nyatanya hanya akal-akalan Aruni saja.
"Sudah, tadi makan sama temen-temen," jawab Rajendra santai.
Rajendra merebahkan tubuhnya lebih dalam ke kasur, mengatur bantal di bawah kepala, dan perlahan memejamkan mata.
Suaranya tenang, nyaris malas menjawab, seakan ingin mengakhiri obrolan dan segera tenggelam dalam tidur.
"Oh, gitu," ucap Aruni pelan. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan komentar lanjutan yang sebenarnya ingin dia lontarkan.
"Iya, gitu," timpal Rajendra, kali ini matanya benar-benar terpejam.
Tarikan napasnya mulai dalam, menandakan kelelahan yang belum sempat dia istirahatkan sejak tadi.
Sementara itu, Aruni masih berdiri di tempat. Kedua matanya tak berhenti memandangi wajah suaminya yang tampak tenang.
Gerak naik-turun dada Rajendra saat bernapas, kerutan samar di keningnya, hingga rambut lembab yang sedikit berantakan, semuanya diperhatikan Aruni dalam diam.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Saat Aruni akhirnya duduk di tepi ranjang, Rajendra tiba-tiba membuka mata, membuat Aruni langsung memalingkan wajah ke arah lain dengan gerakan gugup.
"Kamu kenapa?" tanya Rajendra, suaranya berat dan serak. "Ada yang ingin dibicarakan?"
"Enggak kok," jawab Aruni cepat, tapi nadanya terdengar tidak meyakinkan.
"Oh iya?" Rajendra menatapnya dalam diam, seolah ingin mengupas lapisan demi lapisan kebohongan kecil itu.
"Iya, memang nggak," jawab Aruni lagi, kali ini sambil membenarkan letak duduknya, kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuan.
Rajendra mengerutkan kening, lalu mengangkat satu alis. "Kalau enggak, kenapa sampai diperhatiin segitunya?"
Aruni langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya. "Siapa yang merhatiin? PD banget," balasnya cepat.
Tapi suaranya tidak lagi terdengar galak. Justru sebaliknya, terlalu pelan, terlalu lunak. Lebih seperti gumaman yang ingin disembunyikan, tapi dengan sengaja dibuat cukup keras agar tetap bisa didengar.
Rajendra tak membalas. Tapi sudut bibirnya melengkung sedikit ke atas, membentuk senyum kecil yang nyaris tak terlihat di balik bayangan lampu tidur.
Aruni menunduk, menyadari bahwa ketulusannya tak bisa sepenuhnya ditutupi. Dan malam itu, tanpa kata lanjutan, keduanya larut dalam keheningan yang tak lagi canggung, hanya terasa hangat, seperti dua hati yang saling paham, tanpa harus terlalu banyak bicara.
Setelah beberapa detik hening, Aruni kembali menarik napas pelan dan menatap langit-langit kamar. Ada kegelisahan kecil yang masih mengendap di hatinya, dan dia tahu, kalau tidak dikeluarkan sekarang, malam ini tak akan terasa damai.
"Kak," panggilnya pelan, hampir seperti bisikan yang takut memecah ketenangan.
"Hmm?" Rajendra menjawab tanpa membuka mata, tapi nada suaranya menunjukkan bahwa dia masih menyimak penuh.
Aruni menggigit bibir bawahnya, menimbang kata-kata. "Kenapa kamu nggak pulang sesuai waktunya? Aku kan udah bilang, cuma lima belas menit."
Rajendra membuka matanya perlahan, lalu memiringkan tubuhnya agar menghadap Aruni.
Tatapannya lembut, tapi ada sedikit rasa bersalah di sana, dan akhirnya menjawab dengan nada tenang. "Maaf ya, tadi memang masih ada yang harus aku selesaikan."
Mendengar jawaban Rajendra yang tenang dan penuh penjelasan, Aruni tak lagi membalas. Tak ada bantahan, tak ada pertanyaan tambahan.
Sebaliknya, Aruni hanya terdiam, seolah kata-kata suaminya barusan sudah cukup menjawab kegelisahan yang sejak tadi memenuhi kepalanya.
Tanpa mengatakan apa pun, Aruni menghela napas pelan lalu kembali merebahkan tubuhnya. Kali ini, sengaja dia membelakangi Rajendra, tapi gerakannya tidak lagi kaku atau marah.
Dia hanya ingin menenangkan diri, mencoba berdamai dengan perasaan yang sempat tersulut oleh kekhawatiran dan rindu yang tak terucap.
Perlahan, Aruni menarik selimut hingga ke bahunya, kemudian memejamkan mata. Suara detak jam di dinding menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar jelas di kamar itu, menyatu dengan suara napas Aruni yang semakin teratur.
Di sisi lain, Rajendra hanya melirik sejenak. Dia paham bahwa diamnya Aruni bukan berarti tidak peduli, justru sebaliknya, itu tanda bahwa dia sedang mencoba menerima dan memahami.
Tak lama, keheningan itu berubah menjadi ketenangan. Tak ada lagi suara, hanya dua orang yang sama-sama lelah, sama-sama menyimpan banyak hal dalam diam, tapi malam itu, mereka tidur dalam jarak yang tenang. Tak bersentuhan, namun tak pula berjauhan.
Selang beberapa saat, Rajendra juga ingin memejamkan mata, tapi ada satu hal yang mengusik pikirannya.
"Ehm Aruni ...." Tidak ada tanggapan, kemungkinan besar Aruni memang sudah tidur, tapi Rajendra belum tenang sebelum memastikan hal ini.
"Aruni kamu-"
"Berisik banget sih, Kak? Mau nyusu ya?" Tanpa berbalik, Aruni balik bertanya dan hal itu seketika membuat Rajendra tertawa kecil.
Ingin sekali dia jawab, iya, mau. Namun, pria itu paham betul bahwa Aruni belum bisa diajak bercanda ke arah semacam itu.
"Bukan."
"Terus apa?"
"Skripsinya aku lanjutin besok saja ya?" Seolah butuh sekali arahan dari sang istri, hal semacam ini saja Rajendra bertanya.
"Hem, terserah Kakak saja ... kalau tidak sayang sama badannya ya kerjakan saja."
"Masa jawabanmu begitu, yang benar dong, Sayang."
"Dih?!"
.
.
- To Be Continued -
gak sabar ketemu pasangan ini besok ada aja hal yang membuat Aruni esmosi sabar Aruni begitulah nasib punya suami ganteng polll sampai aku aja kepincut🤭🤭
klw runi ngaku k orang2 kmpus dy istri jendra bukn istri rahasia ny nmany.
lgian tu si mntan punya hak ap ngelarang2 cewk lain buat dekati jendra. aplgi jendra gk ad cinta2 ny sama tu mntan kegateln.
kocak x kwan2 runi🤣