14

Saat mobil memasuki perkarangan sekolah, semua mata tertuju ke arah kami. Aduh, malunya dilihat begitu. Aku jadi tidak berani keluar dari mobil. Mas Dino menahan diriku saat aku membuka pintu mobil.

"Etssss... Tunggu dulu! Diam di tempatmu! "

"Ada apa, sih, mas?"

Mas Dino keluar lebih dulu dan membukakan pintu mobil untukku. Ini membuatku semakin merasa malu saja.

"Ya sudah, mas, pulang dulu ya, yang semangat belajarnya." Mas Dino menepuk kepala ku, memberikan semangat.

"Aduh, mas, nggak usah lakukan itu, malu dilihat anak-anak." Bisikku.

"Biarin, aku kan abangmu, jadi suka-suka aku lah. Dan ngapain juga kamu malu."

"Ya sudah, aku masuk dulu." Aku lalu meloloskan diri dari anak-anak yang berkerumun melihat mas Dino, mungkin karena ketampanannya itu. Aku akui abangku sangat tampan dan terlihat lebih berumur 20 tahun dari pada umur aslinya. Aku melihat sekeliling dan menemukan Sita serta Loly yang berdiri tak jauh dari kerumunan itu. Aku segera menghampiri mereka.

"Sita, Loly, tunggu!" Huh, akhirnya bisa lolos juga.

"Siapa tuh, Dinda? Pacar kamu ya?" tanya Sita.

Aku terkekeh mendengar perkataan Sita.

"Hahaha... pacar? Itu abangku. Masa, mas Dino, pacar aku sih."

"Abangmu ya, wah ganteng banget. Kenalkan dong, Dinda." pinta Loly, Sita juga mengangguk setuju dengan perkataan Loly.

"Kalian tahu nggak dia umur berapa?"

"Paling-paling 20 atau 21," terka Sita.

"24, sebentar lagi 25 tahun."

"Nggak masalah sih, kan masih terlihat muda."

"Eh... ingat sekolah kamu. Yuk, masuk." ajakku.

"Tapi kan..."

"Iya, nanti aku kenalkan, tapi jangan sekarang. Lagian, emangnya kamu mau sesak-sesakan di sana. Mending, kita masuk sekarang, selagi gurunya belum datang." Di kehidupan sebelumnya, Loly dan Sita memang fans berat nya mas Dino. Ada-ada saja, padahal kan mas Dino bukan aktor. Mas Dino juga bukannya pulang, malah mengajak anak-anak berbicara. Semoga saja, mas Dino nggak bicara yang aneh-aneh.

"Dinda, makan siang bareng yuk!" ajak Loly dan Sita setelah bel istirahat berbunyi.

"Tapi aku bawa bekal." kataku sambil mengeluarkan kotak merah yang merupakan bekalku dari dalam tas.

"Kalau gitu, kamu makan di kantin, bawa saja bekal itu."

"Oke, ayo!!" Aku mengikuti mereka dengan membawa kotak makan siangku. Padahal dulu aku akan memilih makan di kelas saja.

Di sekolah kami memiliki 4 kantin khusus, yaitu kantin khusus guru, murid kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Itu karena siswa di sekolah ini terbilang banyak. Dan kebetulan, kantin kami berdekatan dengan kelas, jadi sangat mudah dijangkau. Hal yang sama terjadi dengan kelas 2 dan 3 karena kelas mereka ada di tingkat atas, jadi kantin harus dekat dengan kelas mereka. Begitu pula dengan ruangan kesehatan, kesenian, lab biologi, serta toilet juga dibagi sama.

"Kita duduk di mana?" tanyaku saat melihat bangku yang sudah penuh ditempati anak-anak lain. Kami melihat sekeliling, mencari tempat yang terlewatkan dari pandangan kami. Aku menemukan tempat yang baru saja ditempati satu orang.

"Oh itu, di sana," kataku sambil menunjukkan tempat itu kepada Loly dan Sita. Kami pun mendekati tempat itu, ternyata ada seorang pria di sana. Tapi dari penampilannya, dia seperti seorang kutu buku.

"Hai, apa kami boleh duduk di sini?" Pria itu seakan-akan dapat menelan seisi kelas dengan lensa kacamatanya yang besar itu. Ia hanya diam tanpa menjawab pertanyaan dari ku dan lebih memilih membaca bukunya.

"Ngapain pake tanya, Dinda, mending langsung duduk saja. Lagian, nih, kursi punya sekolah." Aku mengikuti perkataan Sita dan duduk di samping pria itu, sedangkan Sita dan Loly berhadapan dengan kami.

"Din, tunggu sebentar ya, kami pesan makanannya dulu."

"Ah, iya." Aku menunggu mereka berdua dengan pria asing. Suasananya juga menjadi canggung di sini.

"Hai, kenalin aku Dinda." Aku menyodorkan tanganku berharap mendapat balasan darinya.

Namun tidak ada pergerakan sedikitpun darinya. Dia hanya menatap tangan ku sebentar lalu melanjutkan kembali aktivitas membacanya. Sungguh, pria yang sombong dan menyebalkan. Aku menarik kembali tanganku, sambil melirik ke tempat pemesanan, berharap temanku selesai dan segera kembali.

"Leo..." Suara pria itu begitu dingin saat mengucapkan namanya. Ia tetap fokus pada bukunya dan tidak menoleh. Perkenalan macam apa itu? Apa orang tuanya tidak mengajarkan dia sopan santun? Sungguh, sangat disayangkan. Biasanya orang, kalau berkenalan, pasti saling bertatap, itu kan bentuk penghormatan kepada lawan bicara.

"Maaf, apa ada yang salah dengan wajah saya?" Eh, tanpa sadar, aku menatapnya sambil memikirkan kelakuan nya itu. Aduh, malunya. Tapi kok dia bisa tahu? Kan, dari tadi dia hanya fokus pada buku yang dibacanya.

"Nggak, nggak kok. Aku hanya memikirkan sesuatu, tanpa sadar, malah melihat anda lagi. Maaf ya."

"Saya harap, bukan hal yang aneh-aneh yang anda pikiran tentang saya."

Iiiiiiiiiih, sungguh pria menyebalkan.

Terpopuler

Comments

Fifid Dwi Ariyani

Fifid Dwi Ariyani

truscetis

2024-02-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!