Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Kejutan
Mobil Rezky merayap diantara macetnya jalanan Kota Kembang. Rezky dan Raisha hanya bisa bersabar. Karena memang sudah terbiasa dengan pemandangan serupa. Apalagi saat itu jam bubar kantor, di hari Jumat pula.
Memasuki kawasan komplek di mana ibu mertuanya tinggal, hari Raisha mulai tak nyaman. Dia yakin akan diperlakukan seperti hari-hari sebelum dia pulang ke rumah ibunya.
Dia gak ingat secara persis mulai kapan ibu mertuanya berlaku kasar pada dirinya. Karena di awal-awal pernikahan, apalagi saat mendiang ayah mertuanya masih ada, dirinya diterima cukup baik.
Memang, tidak semanis perlakuan ayah mertuanya yang selalu bersikap ramah dan baik, tapi setidaknya dia tidak pernah diteriakinya, seperti perlakuannya akhir-akhir ini.
Saat memasuki halaman, terlihat sebuah mobil yang tidak asing lagi sudah terparkir rapi. Ternyata Lintang_kakaknya Rezky sudah datang.
"Wah, jadi keduluin sama Mbak Lintang yang dari Surabaya ni." Rezky melirik Raisha.
"Ya gak apa-apa, kan emang jalanan macet parah, mau gimana lagi?" Raisha menjawab tak suka. Rezky hanya tersenyum kecil melihat Raisha cemberut.
Setelah memarkirkan mobilnya di garasi , Rezky dan Raisha keluar. Dia berjalan menuju ruang tamu, yang terdengar sangat riuh dengan orang yang mengobrol sambil tertawa lepas. Rezky menggenggam telapak tangan Raisha yang terasa dingin. Dia tahu istrinya itu nervous mau bertemu kembali dengan ibu dan kakaknya.
"Assalamualaikum.". Raisha mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam." Terdengar suara bariton Bimo_suaminya Lintang.
"Weeeyyyyyy, Kenzooo-Kenziee, udah gede aja kalian." Rezky mendekati keponakan kembarnya yang sedang tiduran di sofa. Sementara itu Raisha mengulurkan tangan kepada ibu mertuanya, Lintang, dan juga Bimo.
"Betah ya di rumah sendiri, sampai-sampai pulang lama banget." Bu Aina menerima uluran tangan Raisha dengan sikap malas. Raisha hanya menjawab dengan senyuman.
"Sudah lama nyampei Mbak?" Raisha beralih kepada Lintang.
"Baru setengah jam yang lalu.* Lintang menjawab tak acuh.
"Hallo Kenzie-Kenzooo, apa kabar? Kalian makin cakep aja deh." Resty menghampiri Keponakan kembarnya.
"Baik Tante."
"Bu, Mbak Lintang, Mas Bimo Icha tinggal dulu ya, mau mandi, gerah." Raisha berpamitan setelah sejenak ikut berbincang ringan.
*****
Pesona Nadia memang memabukkan terlebih di mata Rizal yang memang tergila-gila padanya. Prinsip hidup yang selama ini dipegang teguh olehnya, habis tak tersisa. Dia bersenang-senang dengan pujaan hatinya itu tanpa merasa bersalah lagi.
"Nad, dah pagi ni. Yuk ah, kita ke rumah kamu. Aku mau berkenalan dengan calon mertua."
"Duh gak sabaran banget, Mas. Entar siangan aja, sesuai jadwal check out, kalau terlalu pagi nanti orang tuaku bertanya-tanya, soalnya aku bilangnya sore baru nyampe rumah."
"Oh gitu ya, aku memang sudah gak sabar ketemu orangtuamu, Nad. Khawatir ditolak."
"Gak mungkin, semua kriteria orang tuaku tentang calon menantu ada semuanya padamu, Mas."
"Oh gitu, Alhamdulillah kalau memang demikian."
"Terus sekarang ngapain ni?"
"Ngapain ya, ya senang-senang lagi aja yuk! " Ajak Nadia enteng.
"Nad, kita sudah melakukannya, kalau misalnya kamu hamil gimana?"
"Ya gak apa-apa, kan kita mau merit."
"Usahakan kita merit secepatnya ya, Nad."
"Siap, orang tuaku malah seneng kalau aku mendesak agar segera dinikahin. Secara sudah lama mereka menyuruhku untuk segera merit"
"Ya semoga aja, semuanya dimudahkan."
"Aamiin."
*****
"Pi, Nadia bilang akan membawa calon suaminya hari ini."
"Iya Alhamdulillah, akhirnya Nadia serius dengan kekasihnya yang satu ini. Soalnya dia tuh sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga. Mami senang kan?"
"Seneng sih seneng, cuma mami kepikiran sama Jeng Aina teman mami yang di Bandung itu."
"Emang kenapa dengan dia?"
"Dia kan punya anak cowok 2. Nah, mami berjanji akan mengenalkan anak kita. Ya tadinya siapa tahu ada yang nyangkut, eeh ternyata Nadia sudah dapat calon."
"Ya gak apa-apa, gimana lagi? Anaknya sudah bawa calon suami."
"Iya sih, cuma tetep aja ada rasa gak enak."
*****
Sore itu akhirnya Nadia sampai di rumahnya. Papi maminya menyambut dengan antusias. Maklum Nadia adalah putri semata wayangnya yang sangat mereka kasihi.
"Naaaad, akhirnya kamu kembali ke tanah air. Ini momen yang mami papi impikan. Sekarang sudah yakin kan untuk tidak kembali ke sana?" Bu Wati memeluk Nadia erat, seakan tak ingin dilepaskan.
"Iya Mi, yakin. S2 dan beres, magangnya juga sudah beres. Terus kantorku yang dulu mau menerimaku kembali kok."
"Syukurlah. O ya, ini calon suamimu itu toh?" Akhirnya Bu Wati melepaskan pelukannya.
"Iya, Mi."
"Wuih ganteng banget, kamu bisa aja cari calon suami."
Nadia gitu, Mi." Nadia menepuk dadanya bangga.
"Selamat sore, Tante, saya Rizaldi." Rizal mengulurkan tangannya.
"Piiiiiii, cepat sini. Ini ada calon mantu kita yang ganteng." Bu Wati berteriak. Tak lama suaminya keluar.
"Akhirnya Naaad, kamu pulang ke tanah air, bareng calon suamimu pula." Pak Hariadi memeluk Nadia sambil menepuk-nepuk pundaknya.
"Ni Pi yang selalu papi tanyakan dari beberapa tahun lalu, sekarang aku bawa ke hadapan papi. Namanya Rizaldi."
"Halo Nak Rizal, senang berkenalan dengan Anda." Pak Hariadi menyapa Rizal ramah.
"Yaaa, papi ngomongnya resmi banget. Ayo Mas duduk." Nadia menyilahkan Rizal duduk.
"Nak Rizal mau minum apa?"
"Apa aja, Tante."
"Jus mangga aja, Mi." Nadia yang menjawab.
"Ok, Biiiiiii, tolong bikinkan jus mangga 4 ya."
"Iya nyonya." Terdengar seseorang menjawab.
"Kok sepertinya saya gak asing ya dengan wajah Nak Rizal ini. Nak Rizal asalnya dari mana?"
"Bandung, Tante."
"Bandung? Bandungnya di mana? Tante juga sering ke Bandung, malah punya rumah di sana. Sekarang sih sudah dijual, karena sudah tidak ada yang menempati lagi. Tantenya Nadia yang tadinya menempati, pindah ke Surabaya karena suaminya dipindahtugaskan ke sana."
"Kalau saya di Dago, Tante."
"Oh lumayan jauh, kalo rumah tante yang dijual itu di Kopo."
"Deket Tante, yang pasti masih Bandung."
"O ya, tadi di Dago ya. Tante juga punya teman di sana, teman waktu SMA, ya sekali-sekali masih suka kopi darat. Minggu lalu waktu tante ke Bandung, ketemuan juga."
"Oh gitu ya Tante. Dago sih lumayan luas Tante, kalo saya di Dago Pakar."
"O ya? Sama dong, teman saya juga di sana."
"O gitu, siapa namanya Tante? siapa tahu ibu saya kenal."
"Namanya Bu Aina."
"Aina Ayuningtyas maksudnya?"
"Lho, kamu kenal?" Bu Wati antusias.
"Itu sih ibuku, Tante."
"Ya ampun, Piiiii, ternyata Nak Rizal itu anaknya Aina. Jodoh emang gak kemana. Awalnya malah Tante sama ibumu mau memperkenalkan kalian. Siapa tahu cocok."
"Apa?" Nadia dan Rizal berkata berbarengan saking kagetnya. Lalu keduanya tertawa merasa lucu.
"Jadi, dengan kata lain, saya diterima sebagai calon suaminya Nadia dong Tante?" Rizal berkata percaya diri.
"Sudah pastiiiii, 1.000% Tante terima."
"Bentar ah, Tante mau nelepon Jeng Aina dulu." Tanpa persetujuan siapapun, Bu Wati langsung lari ke dalam.
"Lah mami, harusnya gak usah, biar jadi kejutan." Nadia mengingatkan dengan suara keras, karena maminya sudah ke dalam.
"Nggak ah, mami sudah gak sabaaar." Bu Wati menjawab keras.
Semua yang ada di ruang keluarga hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Bu Wati yang seperti anak kecil.