Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
“Mengapa kau tega melakukan ini? Kenapa?” tuntut Nalea, matanya memerah menahan amarah.
“Untuk hartanya, tentu saja,” jawab Sisilia santai, mengedikkan bahu. “Dan untuk melenyapkan ancaman sampah sepertimu.”
Sisilia tidak membuang waktu. Ia memberi isyarat, dan salah satu pria bertopeng membawa sebuah koper perak. Sisilia membuka koper itu dan mengeluarkan sebuah map besar.
“Kau lihat ini, Nalea?” Sisilia mengangkat map tersebut. “Ini adalah dokumen pengalihan aset. Tanda tangani, dan aku akan membebaskan Ayah dan Mamah.”
Nalea melirik Zavian yang menggeleng-gelengkan kepalanya panik, berusaha memberi isyarat.
“Apa maksudmu?” Nalea mendekat, matanya menatap dokumen itu.
“Oh, manis sekali. Kau mungkin tidak tahu,” Lidya menimpali dengan senyum licik. “Sebelum disandera, Kakak kesayanganmu ini, Zavian, sudah mencurigai kami. Dia diam-diam mengalihkan seluruh harta keluarga Hersa, termasuk saham Grup, atas nama tunggalmu.”
Nalea terkejut. Ia menoleh ke arah Zavian, yang kini menatap Nalea dengan tatapan memohon agar Nalea tidak melakukannya.
“Zavian melakukannya agar kami tidak bisa mengambilnya. Tapi sekarang, itu jadi milikmu,” Sisilia mencibir, mendorong map dan pulpen ke dada Nalea. “Tanda tangani. Pindahkan kembali hartanya ke namalu yang tentu saja akan segera menjadi milikku dan semua berakhir.”
Nalea menatap map itu, lalu beralih ke Zavian. “Kak, benarkah ini?”
Zavian berhasil mengeluarkan suara parau, berusaha bicara melalui rasa sakit. “J-jangan! Ja… jangan tanda… tangani, Lea! Ini… jebakan!”
DOR!
Suara tembakan keras memecah ruangan!
Sisilia tidak memberi kesempatan. Ia menarik pelatuk pistolnya, mengarahkannya ke perut Zavian.
Zavian terbelalak, darah segar segera membasahi kemejanya. Ia terbatuk, meringis kesakitan.
“Argh!”
“Diam!” bentak Sisilia, pistol masih mengepul asap di tangannya. “Kau terlalu banyak bicara, Kak Vian. Sekarang, Nalea. Jangan buang waktu lagi. Tandatangani, atau Kakakmu akan mati kehabisan darah sebelum aku selesai menghitung sampai sepuluh!”
Nalea menatap Sisilia. Wajahnya pucat, amarahnya meluap hingga ubun-ubun.
“Kau… kau iblis!” Nalea mengumpat, suaranya dipenuhi kebencian yang mendalam.
“Pilih! Hartamu, atau nyawa keluargamu!” Sisilia berteriak histeris.
Nalea memegang pulpen, tangannya gemetar. Ia membayangkan Mamah yang sakit, Papa yang lemah, dan Azlan yang kelelahan.
Lidya melihat keraguan itu. Ia melangkah ke sudut ruangan yang lebih gelap. Tiba-tiba, terdengar erangan tertahan. Lidya telah menemukan Ivander yang terikat.
Jleb!
Lidya menusukkan pisau ke punggung Ivander.
“Nalea! Waktunya habis!” teriak Lidya.
Nalea ambruk. Keputusasaan membanjiri dirinya. Ia mengangkat pulpen, siap menandatangani.
“Tidak! Nalea, jangan!” teriak Ivander dan Azlan bersamaan dari sudut gelap, suara mereka parau. “Jangan berikan pada mereka!”
“Jangan, Lea! Jangan!” Zavian juga berusaha berteriak, air mata mengalir dari matanya. “Mereka… akan tetap membunuh kita!”
Sisilia menggeram kesal. Pengorbanan Nalea akan terasa hampa jika ada yang menolaknya.
“Kalian benar-benar menjijikkan!” Sisilia berteriak, amarahnya meledak.
DOR!
Sisilia mengarahkan pistolnya dan menembak Azlan, yang terikat di sudut gelap, tepat di dada.
Suara tembakan itu memekakkan telinga. Azlan terbatuk keras, memuntahkan darah segar. Tubuhnya lemas, tergantung pada ikatan tambang.
“Kak Azlan!” teriak Nalea, jiwanya serasa ditarik paksa.
Lidya menghampiri Azlan, dan menendang tubuhnya yang sudah lunglai. “Cepat tanda tangan!”
Nalea menjatuhkan pulpen, mengabaikan ancaman pistol Sisilia. Ia merangkak menuju Azlan, air matanya tak terbendung.
Ia memeluk tubuh Azlan yang dingin. Darah Azlan membasahi jaketnya.
Azlan mendongak, matanya sayu dan dipenuhi penyesalan yang mendalam. Ia berusaha tersenyum pada Nalea.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Azlan mengangkat tangan, menyentuh pipi Nalea yang basah.
“M-maaf…”
Itu adalah kata terakhir yang terucap dari bibir Azlan sebelum matanya tertutup rapat, dan tangannya jatuh lemas.
Nalea memeluk Azlan, isakannya berubah menjadi raungan kesedihan yang brutal. Darah Azlan membasahi seluruh tubuh Nalea. Di tengah genangan darah dan pengkhianatan itu, Nalea benar-benar hancur. Bukan, bukan ini yang Nalea inginkan.
Raungan kesedihan Nalea membelah udara dingin di ruangan gelap itu. Ia memeluk tubuh Azlan yang kini diam tak bergerak, darahnya mengotori kemeja dan jaket Nalea. Rasa sakit dan keputusasaan telah mencapai batas toleransi.
Nalea mengangkat kepalanya. Air mata di pipinya mengering seketika, tergantikan oleh kilatan api yang mematikan. Semua rasa kasih sayang, semua upaya baik, semua telah dikhianati dan dihukum mati di hadapannya.
Nalea melepaskan pelukan Azlan perlahan. Ia berdiri tegak, membiarkan darah Azlan menetes dari pakaiannya. Ia menarik dua pisau pendek andalannya dari balik jaket, gerakan yang begitu cepat, efisien, dan mematikan. Ini adalah kembalinya Ratu Black Rat sejati.
“Bajingan!” Nalea mengumpat keras. “Kalian semua brengsek, manusia keji!”
Tanpa peringatan, Nalea melesatkan pisau pertama.
Bzzzt!
Pisau itu menembus udara dan tertancap tepat di leher salah satu pria bertopeng, mengiris arteri vitalnya. Pria itu tersentak, terbatuk, dan ambruk tanpa suara.
Sisilia terkejut. "Serang dia! Cepat!"
Dua pria bertopeng lainnya maju, tetapi Nalea lebih cepat. Ia menggunakan pisau kedua di tangan kirinya sebagai pengalih perhatian, sementara ia melompat dengan kecepatan luar biasa. Dengan satu gerakan memutar, Nalea mengiris leher dua pria bertopeng lainnya. Darah menyembur, dan mereka tumbang seperti karung beras.
Semuanya terjadi dalam waktu kurang dari lima detik. Sisilia terbelalak melihat orang-orangnya tewas dengan cepat di tangan Nalea yang lemah.
“Jangan pernah mengusik singa betina yang sedang tidur atau kalian akan terkena cakarnya!”
“Sialan! Kau gila!” Sisilia panik, ia berbalik dan berusaha kabur menuruni tangga.
“Mau lari ke mana, Sisilia!”
Nalea tidak membiarkannya. Ia melesatkan pisau pendek yang tersisa di tangan kanannya. Pisau itu meluncur bak kilat dan berhasil tertancap di betis Sisilia.
“AARGGHH!” Sisilia menjerit kesakitan, ia ambruk.
Nalea menghampiri Sisilia dengan langkah pelan namun dipenuhi amarah murni. Ia menjambak rambut Sisilia keras-keras, menyeretnya hingga wajah Sisilia mendongak.
“Kau menembak Kak Azlan? Kau menembak orang yang selama ini membelamu!” raung Nalea.
PLAK! PLAK! PLAK!
Nalea menampar Sisilia berkali-kali, tamparan yang merobek kulit dan mematahkan gigi. Sisilia menjerit dan memohon.
Namun, Nalea melupakan satu hal penting. Matanya terlalu fokus pada Sisilia.
“MATI KAU, JALANG!”
Lidya, yang bersembunyi di balik tiang, muncul. Ia berteriak histeris dan menarik pelatuk pistolnya, mengarahkannya tepat ke punggung Nalea.
DOR!
Peluru meluncur. Tetapi sebelum peluru itu mencapai Nalea, sebuah bayangan bergerak cepat. Ivander, meskipun terluka parah di punggungnya, menggunakan sisa tenaganya untuk menerjang Nalea.
Buagh!
Tubuh Ivander menghantam Nalea. Peluru itu tertembus tepat di bagian dada Ivander. Nalea terpental menjauh, terpisah dari Sisilia.
“Papa!” Nalea menjerit, menyaksikan Ivander ambruk di lantai, darah membanjir dari lukanya.
Nalea murka. Darah keluarganya tumpah di hadapannya. Ia kehilangan kendali, instingnya mengarahkan untuk menghabisi Lidya. Nalea melompat, pisau di tangannya siap menggorok leher Lidya.
“Kau yang akan mati!” teriak Lidya, air matanya bercampur histeria dan kegilaan.
Kecepatan peluru tidak bisa ditandingi. Pistol Lidya kembali terangkat, mengarah ke sudut ruangan, tempat Mutiara terikat, bersandar di dinding. Mutiara, yang sakit dan lemah.
Nalea berada di ambang kebimbangan. Lidya mengancam orang yang paling lemah dan sakit. Ia harus memilih, membalas dendam pada Lidya, atau melindungi Mamahnya.
Nalea melihat mata Mutiara yang memohon dan ketakutan. Keraguan itu hanya sepersekian detik.
Lidya mengambil kesempatan. Ia menarik pelatuk.
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬