NovelToon NovelToon
Nikah Dadakan Karena Warga

Nikah Dadakan Karena Warga

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Pernikahan Kilat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Anjay22

Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketidak sengajaan yang membara

Hari itu cuaca terasa dingin ,mungkin karena hujan ,setelah pulang kuliah Reva segera masuk kamar dan mandi ,sementara Raka lagi di lantai bawah bersama kedua orang tuanya .

Reva baru saja keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengepulkan uap hangat dari air mandi yang baru saja ia nikmati. Rambutnya yang panjang tergerai basah, meneteskan air ke bahu halusnya yang masih memerah karena hangatnya air. Ia hanya mengenakan handuk mandi pendek—yang, menurutnya, cukup aman karena ia yakin tak ada siapa-siapa di luar kamar. Raka, suaminya sedang ngobrol asik bersama kedua orang tuanya Atau setidaknya, itulah yang ia kira.

Dengan langkah ringan, Reva berjalan menuju lemari pakaian, sambil mengelus lengan atasnya yang mulai dingin. Ia bersenandung pelan, lagu lama yang sering diputar Raka di mobil mereka. Tak ada yang mencurigakan—sampai pintu kamar terbuka tanpa ketukan.

“Reva, aku lupa bawa—” suara Raka terpotong di tengah kalimat.

Matanya membelalak. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Di depannya, Reva berdiri dengan tubuh setengah tel4njang, hanya dilindungi oleh selembar handuk putih yang nyaris tak menutupi p4ha atasnya. Air masih menetes dari ujung rambutnya, mengalir perlahan di leher jenjang, lalu menghilang di balik lipatan handuk.

Reva menjerit kecil, tangannya spontan menutup dada. “Raka?! Kamu—kamu kenapa masuk tanpa ketuk?!”

Raka terpaku. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Matanya—yang biasanya penuh canda dan santai—kini membelalak, penuh kekagetan, tapi juga… sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat udara di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih panas dari sebelumnya.

“A-aku… maaf! Aku pikir kamu sudah keluar! Aku cuma mau ambil charger hpku lowbat !” ujarnya, buru-buru menoleh, tapi tak bisa menahan pandangannya untuk tak kembali—sekilas—ke arah Reva.

Reva menarik napas dalam, wajahnya memerah seperti tomat matang. “Keluar dulu, Raka! Aku belum pakai baju!”

Tapi Raka tak bergerak. Seolah kakinya terpaku di lantai. Ia menelan ludah, lalu perlahan melangkah masuk—bukan menjauh, tapi mendekat.

“Raka… jangan—” Reva mundur selangkah, punggungnya menyentuh tepi tempat tidur.

Tapi Raka tak berhenti. Dengan gerakan perlahan, penuh ragu namun pasti, ia mendekatinya. Matanya tak lagi memandang dengan kaget, tapi dengan lembut—penuh perasaan yang selama ini mereka sembunyikan di balik canda dan kebersamaan sebagai teman.

“Kamu… cantik sekali,” bisiknya, suaranya serak, seperti baru saja melewati badai emosi.

Reva menahan napas. Ia ingin marah, ingin mendorongnya pergi, tapi tubuhnya justru melemas. Ada sesuatu dalam tatapan Raka yang membuatnya tak bisa berpaling. Sesuatu yang selama ini ia rasakan, tapi tak pernah berani diakui.

“Kamu gila…” gumamnya, tapi tak ada kekuatan dalam suaranya. Hanya getaran halus yang mengkhianati detak jantungnya yang kacau.

Raka tersenyum kecil—senyum yang biasanya membuat Reva kesal karena terlalu percaya diri—tapi kali ini, senyum itu terasa hangat. Ia mengangkat tangan, perlahan menyentuh pipi Reva yang memerah.

“Kalau gila, aku gila karena kamu,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti suara angin malam.

Dan tanpa peringatan, ia menarik Reva ke dalam pelukannya.

Reva terkejut. Tubuhnya menegang sejenak, tapi pelukan itu terasa terlalu nyaman untuk ditolak. Hangat. Aman. Seperti pulang ke tempat yang selalu ia rindukan tanpa sadar. Aromanya—campuran sabun cuci dan parfum kayu—membuatnya ingin tenggelam selamanya.

“Kamu… basah,” kata Raka, suaranya bergetar, sambil menempelkan dagunya di atas kepala Reva.

“Karena aku baru mandi, bodoh,” jawab Reva, mencoba menutupi rasa malu dengan candaan, tapi suaranya gemetar.

Raka tertawa pelan, dadanya bergetar di pelukan mereka. “Iya, aku bodoh. Tapi kamu tetap memelukku.”

“Siapa yang memeluk? Aku cuma… belum sempat kabur,” balas Reva, berusaha melepaskan diri, tapi tangannya justru mencengkeram kaus Raka lebih erat.

Raka menarik sedikit, menatap matanya. Jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter. Napas mereka bercampur, hangat dan berantakan. Reva bisa melihat bayangannya sendiri di mata Raka—kecil, rapuh, tapi penuh hasrat yang sama.

“Kalau kamu kabur… aku akan kejar,” katanya pelan, lalu menambahkan dengan senyum nakal, “Aku pelari tercepat di fakultas, ingat?”

Reva mendengus. “Pelari tercepat? Kamu kalah lari sama kucing tetangga minggu lalu!”

Raka tertawa keras kali ini, suaranya mengisi ruangan yang sebelumnya sunyi. Tapi tawanya perlahan mereda, digantikan oleh tatapan serius yang membuat Reva sulit bernapas.

“Reva…” bisiknya.

Dan sebelum Reva sempat menjawab, Raka menunduk.

Ciumannya lembut—tapi penuh kerinduan yang terpendam. Bibir mereka bertemu seperti dua bagian yang akhirnya utuh. Reva menutup mata, membiarkan dirinya hanyut. Tangannya yang tadinya mengepal di dadanya, kini melingkar di leher Raka, menariknya lebih dekat.

Handuk yang melilit tubuh Reva mulai melorot, tapi Raka dengan sigap menahannya dengan satu tangan, sambil terus menciumnya dengan lembut namun penuh hasrat.

“Kamu bikin aku gila,” desis Raka di sela ciuman, napasnya memburu.

“Kamu yang bikin aku begini,” balas Reva, suaranya parau. “Masuk seenaknya, peluk seenaknya…”

“Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak dorong aku?” tantang Raka, matanya berkilat nakal.

Reva menatapnya, lalu dengan cepat mendorong dadanya—tapi bukan untuk menjauh. Ia mendorongnya hingga Raka terduduk di tepi tempat tidur, lalu duduk di pangkuannya, menghadapinya.

“Karena aku juga gila,” katanya, lalu menciumnya lagi—kali ini lebih dalam, lebih berani.

Raka mendesah pelan, tangannya melingkar di pinggang Reva, menahan handuk yang kian longgar. Ia ingin menyentuh—tapi takut. Takut ini hanya mimpi. Takut Reva akan menyesal.

Tapi Reva seolah membaca pikirannya. Ia menarik wajah Raka, menatap matanya dengan serius.

“Jangan berhenti,” katanya pelan.

Itu cukup.

Raka menarik napas, lalu mencium lehernya—perlahan, penuh penghargaan. Reva mendesah, kepalanya menengadah, memberinya akses lebih. Tangan Raka bergerak naik, menyentuh punggungnya yang halus, membuat Reva menggigil.

“Kamu kedinginan?” tanya Raka, khawatir.

“Bukan… kamu yang bikin aku gemetar,” jawab Reva, suaranya bergetar.

Raka tersenyum, lalu menarik selimut dari tempat tidur dan melingkarkannya di sekitar tubuh Reva, menutupi mereka berdua dalam pelukan hangat.

Mereka duduk diam sejenak, hanya saling memeluk, mendengarkan detak jantung masing-masing yang berdebar kencang. Hujan di luar semakin deras, tapi di dalam kamar itu, dunia terasa sempurna.

“Jadi… ini bukan cuma ketidaksengajaan, ya?” tanya Reva pelan, menyembunyikan wajahnya di dada Raka.

Raka mengelus rambutnya yang masih lembap. “Aku sudah lama ingin begini. Tapi takut kamu marah.”

“Kalau aku marah, aku nggak bakal biarkan kamu peluk aku tadi.”

Raka tertawa kecil. “Jadi selama ini kamu juga…?”

Reva mengangguk pelan. “Tapi kamu terlalu banyak bercanda. Aku kira kamu nggak serius.”

“Candaanku cuma pelindung,” katanya jujur. “Aku takut kalau aku terlalu serius, kamu malah pergi.”

Reva menatapnya, lalu mencium pipinya. “Aku nggak akan pergi. Asal kamu nggak main-main.”

“Gak akan,” janji Raka, matanya tulus. “Aku sudah jatuh cinta sejak kamu dengan perhatiannya menolong aku dan merawat lukaku padahal kita sebelumnya tidak saling kenal,dan kamu meminjamkan baju tidurmu yang sangat terlihat lucu saat itu ."

Reva tertawa. “Itu baju tidur jelek! Tapi kamu malah bilang lucu!”

“Karena Aku yang pakai, jadi jadi lucu,” jawab Raka, lalu mencium ujung hidungnya.

Mereka tertawa bersama, pelukan mereka semakin erat. Di balik selimut hangat, di tengah hujan malam yang tak kunjung reda, dua hati yang selama ini saling bersembunyi akhirnya berani bertemu.

Dan kali ini, tak ada lagi yang disembunyikan.

1
Napoleon
woop , rasanya gimana tuh Raka manis pasti
Napoleon
Buruk
Napoleon
Kecewa
Jena
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
MayAyunda: terimakasih kak
total 1 replies
kawaiko
Thor, tolong update secepatnya ya! Gak sabar nunggu!
MayAyunda: siap kak 🙏
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!