NovelToon NovelToon
Hanya Sebuah Balas Dendam

Hanya Sebuah Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.

Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.

Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengikut Setia

Bulan menggantung pucat di langit malam, menebarkan cahaya dingin yang jatuh di wajah Wēi Xiaolan yang terkulai pingsan. Wēi Qiao berdiri di atasnya, diam, hanya menatap tanpa emosi yang jelas. Kemenangan itu seharusnya terasa manis, namun di dadanya justru ada rasa getir yang sulit dijelaskan.

Dengan satu tarikan napas panjang, ia merunduk, mengangkat tubuh kakaknya ke punggung. Langkah kakinya mantap dan tenang, tanpa terburu-buru. Hanya suara gemerisik dedaunan yang menemani mereka, seolah hutan pun menahan napas.

Di depan pintu asrama, Wēi Qiao berhenti. Ia menurunkan Wēi Xiaolan perlahan, membiarkannya terbaring di atas lantai dingin, tepat di ambang pintu. Ia tidak mencoba membawanya masuk.

“Di sini saja cukup,” gumamnya datar, sebelum berbalik tanpa menoleh lagi.

Kakinya menjejak tanah hutan dengan ringan, melesat di antara pepohonan. Berkat tenaga dalam yang kini mengalir mantap di setiap meridian tubuhnya, ia mampu bergerak cepat tanpa meninggalkan jejak suara—bayangan yang berlari di bawah cahaya bulan.

Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah lapangan kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Pohon-pohon tua berdiri melingkari tempat itu, seakan melindunginya dari dunia luar. Di sinilah ia melepaskan semua kendali.

“Brak!” Tinju Wēi Qiao menghantam batang pohon besar, mengelupas kulit kayunya. Napasnya memburu, matanya berkilat.

“Kenapa… aku masih kalah… meski sudah menggunakan Aliran Pedang Bayangan guruku?” desisnya, suara frustrasi merayap keluar.

Lalu, suara datar dan mekanis terdengar di kepalanya—suara yang begitu ia kenal.

“Tuan, kekalahan Anda bukan karena jurus itu lemah. Anda hanya menghafal gerakannya. Otot dan pernapasan Anda belum terbentuk sesuai aliran tersebut.”

Wēi Qiao terdiam sesaat, alisnya berkerut. “Jadi… itu bisa disempurnakan?”

“Ya, Tuan. Saya dapat menanamkan pola otot dan teknik pernapasan yang benar langsung ke dalam sistem tubuh Anda. Namun, proses ini akan menimbulkan rasa sakit luar biasa, seolah tubuh Anda dibakar dari dalam. Apakah Tuan siap?”

Wēi Qiao menatap tanah beberapa detik, lalu mengangkat kepalanya. “Lakukan.”

“Baik, Tuan. Memulai transfer…”

Tubuhnya mulai bergetar, suhu di dalam dirinya naik drastis. Keringat dingin membasahi pelipisnya, namun ia tetap duduk bersila di tengah lapangan itu. Udara di sekitarnya seperti membeku, tapi dari dalam tubuhnya seolah ada nyala api yang menggerogoti otot dan tulang.

Kesadarannya perlahan terhisap ke ruang gelap yang tak berbatas—alam bawah sadarnya. Di sana, ia berdiri di atas permukaan hitam berkilau, dikelilingi kabut tipis. Dari kabut itu, muncullah sosok yang tak asing: Wēi Xiaolan, dengan tatapan yang sama tajam seperti saat mereka bertarung tadi.

Wēi Qiao mengepalkan tinjunya. “Baiklah, Kak… mari kita ulang lagi.”

Dan pertempuran di dunia bawah sadar pun dimulai, setiap benturan terdengar bagai dentuman guntur di ruang kosong itu.

Alam bawah sadar itu adalah kehampaan gelap. Tanah hitam licin, udara tebal seperti lumpur, dan hanya ada satu suara—napas dingin Wēi Xiaolan.

Wēi Qiao berdiri tegak, matanya menatap tajam. Ia langsung menghunus gerakan Aliran Pedang Bayangan—tangan kosongnya bergerak seperti bilah baja, memotong udara. Tapi sebelum jarinya menyentuh tubuh lawan, pergelangan tangannya sudah terkunci.

“Krak!”

Satu putaran kejam dari Wēi Xiaolan membuat bahunya nyaris terlepas. Tendangan samping menghantam tulang rusuknya. Rasa nyeri seperti disambar petir menjalar sampai ke punggungnya.

“Tuan,” suara micro bots terdengar datar di kepalanya, “Anda menyerang terlalu lurus. Lawan sudah membaca pola itu tiga langkah sebelum Anda bergerak.”

Tubuhnya dilempar ke tanah. Darah menggenang di sudut bibirnya.

Wēi Qiao bangkit. Lagi.

Pertarungan pun berubah menjadi siklus brutal:

Putaran Pertama: Wēi Qiao menyerang cepat → bahunya dipatahkan, lehernya dicekik hingga pandangan menghitam.

Putaran Kedua: Ia mencoba kuncian balik → tubuhnya dibanting keras, lututnya dihantam sampai ia berteriak.

Putaran Ketiga: Ia bertahan → tinjunya dihempaskan ke wajahnya sendiri lewat teknik pantulan lawan. Giginya memecah, darah muncrat.

Putaran Keempat: Ia melompat menyerang → ditangkap di udara, lalu tubuhnya dipelintir, terdengar suara retakan dari punggung.

“Tuan, gunakan otot inti. Tarik tenaga dari pinggul… Sekarang turunkan pusat gravitasi… Buang napas di saat memukul.”

Setiap kata micro bots adalah perintah, bukan saran. Tidak ada belas kasihan. Tubuh Wēi Qiao direset setiap kali kalah, lalu dilempar lagi ke ronde berikutnya. Rasa sakit tetap melekat—sengaja dibiarkan, agar ototnya belajar.

Di ronde kesembilan, tubuhnya sudah bergerak tanpa pikir. Langkahnya menyilang, pinggulnya berputar. Saat Wēi Xiaolan mengayunkan pukulan mematikan, Wēi Qiao menahan pergelangan itu, menariknya, lalu menghantamkan siku ke tenggorokan kakaknya. “Bughkk!” Tubuh Wēi Xiaolan terhuyung, dan untuk pertama kalinya—ia terjatuh.

Kabut hitam di sekeliling mulai bergetar, pecah menjadi retakan cahaya.

Wēi Qiao tersentak bangun di tengah hutan. Tubuhnya berkeringat deras, nafasnya memburu. Tiba-tiba perutnya terasa mual yang mengerikan.

“Hurkkk—GHKKHH!”

Ia memuntahkan cairan kuning kental yang panas, berbau pahit dan logam, menetes di tanah dan mengepul uap tipis. Tubuhnya bergetar, setiap otot seperti baru ditempa besi panas.

“Ekstraksi otot mencapai seratus persen, Tuan,” suara micro bots terdengar puas tapi tetap datar.

“Teknik Aliran Pedang Bayangan kini disinkronkan sempurna dengan struktur otot dan pola pernapasan Anda. Efisiensi serangan meningkat tiga puluh dua persen. Tubuh Anda… sudah siap membunuh.”

Wēi Qiao mengangkat pandangannya, tangan kanannya mengepal kuat. Senyum tipis muncul di wajahnya, bukan senyum ramah—tapi senyum seorang pemburu.

“Baik… sekarang, siapa pun yang menghalangi… akan jatuh.”

Malam semakin Larut, Dan Wēi Qiao Sudah di jalan kembali Ke asrama, Udara malam yang dingin menyelimuti langkah Wēi Qiao saat ia kembali ke asrama kelompoknya. Kakinya melangkah pelan di atas lantai kayu, namun setiap injakan terdengar tegas. Pintu asrama berderit “kreeek…” saat ia membukanya.

Di dalam, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Wēi Xiaolan—kakaknya—duduk di sudut ruangan, membisu. Tatapannya kosong, seperti tubuhnya ada di sini tapi jiwanya mengembara entah ke mana.

Namun kesunyian itu hanyalah tipuan.

Di bawah permukaan, ruangan dipenuhi suara-suara seperti desisan ular.

“Dia itu… Wēi Qiao? Mengalahkan Wēi Xiaolan?”

“Tidak mungkin… itu pasti cuma keberuntungan.”

“Kau tidak lihat? Gerakannya aneh, seperti punya teknik rahasia…”

“Teknik rahasia? Hah, pemula sepertinya hanya meniru.”

“Tapi aku dengar dia punya tenaga dalam yang aneh…”

“Hmph, omong kosong. Aku yakin itu kebetulan belaka.”

Bisikan demi bisikan berbaur, membentuk awan opini yang memanas.

Ada yang memandang Wēi Qiao dengan rasa hormat yang segan, ada pula yang menatapnya penuh iri dan kebencian.

Tiba-tiba, suara lantang memotong riuhnya suasana:

“PUTRI!!”

Langkah Wēi Qiao terhenti. Kepalanya menoleh cepat ke arah sumber suara.

Berdiri di dekat pintu masuk—Liang Riu, tubuhnya tegap, tatapannya membara.

Ia melangkah maju, menunduk sedikit, lalu mengangkat tangan menunjuk kursi kosong di dekatnya.

“Di sana tempat Anda, Putri.”

Wēi Qiao mengerutkan alis, tatapannya tajam. “Sifatmu berbeda dengan waktu kau di ruang tabib, ya?”

Bisik-bisik kembali memanas, sebagian mengejek, sebagian penuh rasa ingin tahu. Namun di dalam hati Liang Riu, gelombang tekad membuncah.

Dan tanpa peringatan… ia menjatuhkan tubuhnya berlutut keras ke lantai.

Suara duk! bergaung di ruangan, membuat semua orang terdiam sepersekian detik.

“Saya, Liang Riu dari Klan Tapak Baja, dengan ini mengaku Putri Wēi Qiao sebagai tuan saya!”

Suara itu bergema, menggetarkan hati. Napasnya berat, tapi matanya menatap ke depan tanpa goyah.

Wēi Qiao diam sejenak, menimbang. “Kamu ingin menjadi bawahanku?”

Liang Riu menunduk lebih rendah, tangannya mengepal di lantai, nadanya penuh penyesalan:

“Saya menyesal atas kejadian kemarin! Saya mohon… terimalah saya sebagai bawahan Putri, seperti anjing kepada tuannya!”

Sorakan, ejekan, dan seruan kaget meledak di seluruh ruangan.

“Gila! Liang Riu dari Klan Tapak Baja mau jadi pengikutnya?!”

“Itu… penghinaan besar bagi klannya!”

“Pasti ada sesuatu yang dia rencanakan.”

Namun Liang Riu tidak memedulikan suara-suara itu. Ia berlutut sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya, sampai lututnya berdarah menembus kain.

“Saya bersumpah! Mulai malam ini, darah dan nyawa saya adalah milik Putri Wēi Qiao! Jika saya mengkhianati Putri, biarlah tubuh saya hancur, roh saya binasa, dan nama saya terhapus dari sejarah!”

Ruangan mendadak membeku. Bahkan mereka yang tadinya mengejek tak berani bersuara.

Tatapan Wēi Qiao menyapu seluruh ruangan—dingin, tajam, menusuk, membuat beberapa murid secara refleks menundukkan kepala.

Akhirnya, Wēi Qiao mengangguk perlahan.

“Baik. Aku terima sumpahmu.”

Senyum tipis, hampir seperti senyum kemenangan, muncul di wajah Liang Riu. Namun momen itu segera dipecahkan oleh suara sumbang dari pojok ruangan—pengikut Wēi Xiaolan.

“Hmph! Parasit! Menjilat demi menyelamatkan diri!”

Sebelum kata-kata itu sempat mendapat sambutan, Wēi Qiao menoleh—tatapan matanya bagaikan pedang yang ditempa dari es.

Suara itu langsung tercekat, pemiliknya menelan ludah dan memalingkan wajah.

Malam itu pun berakhir…

Namun di hati Wēi Qiao, sebuah batu pondasi baru telah diletakkan—Liang Riu, pengikut pertamanya, kini terikat oleh sumpah yang hanya bisa diputus oleh kematian.

Dan bagi mereka yang berani menghalangi jalannya… malam ini hanyalah peringatan kecil sebelum badai sesungguhnya tiba.

1
aurel
hai kak aku udah mampir yuk mampir juga di karya aku
Nanabrum
Gila sejauh ini gw baca, makin kompleks ceritanya,

Lanjuuuuutttt
Mii_Chan
Ihhh Lanjuuuuutttt
Shina_Chan
Lanjuttt
Nanabrum
LANJUUUT THOOOR
Nanabrum
Uwihhh Gilaaa banget
Shina_Chan
Bagus, Tapi harus aku mau tunggu tamat baru mau bilang bagus banget
Gerry
karya nya keren, di chapter awal-awal udah bagus banget, semoga authornya bisa makin rajin mengupload chapter-yang bagus juga kedepannya
Gerry
Sumpaaah kereeeeen
Gerry
Gilaaakk
Teguh Aja
mampir bang di novel terbaruku 😁🙏🏼
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!