Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.
“Jangan bergerak.”
Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.
Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.
Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.
“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.
Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.
Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Carran
Ponsel Liora bergetar di atas meja kasir, menampilkan pesan singkat dari Drevian. Ia yang sedang sibuk melayani pelanggan, mengabaikannya sejenak. Namun, getarannya tak berhenti. Drevian, yang biasanya hanya mengirim pesan satu dua kata, kini mengirim beberapa pesan sekaligus. Liora mengernyitkan dahi. Pria itu memang selalu penuh kejutan.
Setelah pelanggan pergi, Liora membuka pesan itu. Sebuah foto tiket pesawat, lengkap dengan nama mereka berdua dan tujuannya Kota Carran. Di bawahnya, ada pesan singkat dari Drevian.
"Pameran tato. Satu hari lagi." Liora terdiam. Ia tidak menyangka Drevian akan mengajaknya ke luar kota, apalagi untuk acara yang sangat berkaitan dengan dunia Drevian. Pameran tato? Pikirannya langsung melayang pada gambar-gambar gelap yang sering ia lihat di media, sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari kesehariannya.
Liora membalas pesan itu, mencoba membalas dengan halus.
"Naik pesawat? Kamu yakin bayarin tiket pesawat aku?"
Tak lama kemudian, Drevian membalas.
"Liora, itu sudah aku pesan. Kita berangkat ya besok."
"Livia bisa jaga toko bukumu. Aku udah bilang ke dia." Liora terdiam. Drevian sudah memikirkan semuanya, bahkan sebelum ia bisa menebak. Sikapnya yang dingin namun penuh kendali membuat Liora tak bisa berbuat banyak. Ia pun mengiyakan, dengan setengah hati.
Besoknya pada pagi hari, Drevian menjemput Liora ke toko bukunya, Ia membawa satu tas ransel untuk pakaian ganti begitu juga dengan Liora.
Seperti biasa Liora hanya memakai pakain sederhananya yaitu kemeja putih dengan rok dibawah lutut serta flatshoes dengan rambut diikat setengah memakai pita yang dibelikan Drevian di mall itu.
Ia memegang dua tiket, yang satu untuk dirinya, yang satu untuk Liora. Liora datang dengan pakaian sederhana, sebuah kemeja putih dan celana jeans. Dunia mereka begitu berbeda, tapi entah mengapa terasa begitu melengkapi. Setelah sampai di bandara, Drevian menitipkan mobil dibandara dan membayar uang titipannya.
Perjalanan ke Kota Carran terasa singkat. Sepanjang perjalanan, Drevian tak banyak bicara, hanya sesekali menoleh ke arah Liora, seolah memastikan Liora baik-baik saja. Liora yang blak-blakan, justru yang memulai percakapan.
"Ini pameran tato yang kayak gimana ya? Tato-tato horor gitu?" tanyanya, sedikit penasaran.
Drevian hanya tersenyum tipis. "Kamu lihat aja nanti," jawabnya singkat. Jawaban itu membuat Liora semakin penasaran.
Setelah sampai di Carran, mereka langsung menuju pameran. Gedung pameran itu megah, dengan arsitektur yang modern. Suara musik yang menenangkan mengalun, bercampur dengan bisik-bisik para pengunjung. Di dalam, Liora terkesima. Pameran itu jauh dari bayangannya. Tidak ada kesan gelap atau seram. Sebaliknya, pameran itu terasa begitu estetik. Lampu sorot berwarna lembut menerangi setiap sudut, menampilkan karya-karya seni yang luar biasa.
Drevian mengajak Liora berjalan. Liora melihat-lihat, matanya terbelalak takjub. Di satu sudut, ia melihat sebuah pameran tato yang dilukis di atas selembar kanvas yang sangat, ditempatkan di dalam kotak kaca yang diterangi lampu.
Tato itu bukan sekadar gambar, melainkan sebuah lukisan yang hidup. Ada naga yang terlihat seperti sedang terbang, bunga-bunga yang mekar, dan wajah-wajah yang penuh ekspresi. Tato itu bukan gambar dua dimensi, melainkan seni tiga dimensi yang begitu detail.
Di sudut lain, ada pameran pria dan wanita yang duduk di sebuah panggung. Mereka adalah para model yang dilukis di bagian tubuh tertentu. Bukan sekadar lukisan, tapi tato yang terukir di tubuh mereka. Gambar-gambar itu seolah hidup, bergerak bersama otot-otot di lengan, bahu, dan punggung mereka. Ada gambar seekor singa yang terlihat seperti sedang mengaum di lengan seorang pria, dan gambar seekor kupu-kupu yang sayapnya seolah mengepak di punggung seorang wanita. Semua karya itu begitu indah, begitu artistik, dan begitu hidup.
Liora menatap Drevian, matanya berkaca-kaca.
"Drevian ini..." Ia tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Drevian menoleh, menatapnya dengan senyum tipis. "Kenapa? Kamu nggak suka?" tanyanya, nada suaranya lembut.
"Aku... aku nggak tahu tato bisa seindah ini," jawab Liora, suaranya bergetar. "Aku pikir tato itu cuman gambar-gambar seram. Tapi ini... ini seni."
Drevian mengangguk. "Itu yang aku coba bilang sama kamu dari dulu," bisiknya.
"Tato itu bukan cuma gambar. Tato itu seni. Tato itu cerita. Setiap gambar itu punya makna, setiap ukiran itu punya jiwa."
Liora merasakan hatinya menghangat. Ia menyadari, Drevian membawanya ke sini bukan hanya untuk melihat pameran, tapi juga untuk menunjukkan dunianya. Drevian ingin Liora melihat, Drevian ingin Liora mengerti. Ia ingin Liora melihat tato bukan sebagai sesuatu yang buruk, melainkan sebagai sebuah karya seni.
Mereka berjalan lagi, kali ini Liora yang tambah senang. Ia menunjuk ke sebuah karya yang ia sukai, lalu bertanya pada Drevian. Drevian dengan sabar menjelaskan setiap detailnya, menceritakan filosofi di balik setiap ukiran. Liora melihat Drevian yang lain, Drevian yang bersemangat saat berbicara tentang seninya, Drevian yang matanya berbinar-binar saat menjelaskan setiap teknik.
Pameran itu benar-benar membuka mata Liora. Ia mulai mengerti kenapa Drevian begitu mencintai pekerjaannya. Tato bukan hanya sekadar pekerjaan, melainkan sebuah hasrat, sebuah gairah, sebuah cara untuk menceritakan kisah tanpa kata-kata.
Malam harinya, setelah pameran usai, Liora dan Drevian makan malam di sebuah restoran mewah.
Liora tak bisa berhenti bicara. "Drev, aku nggak nyangka. Dunia kamu ternyata indah banget,"
katanya, matanya masih terbayang-bayang dengan gambar-gambar yang ia lihat.
Drevian hanya tersenyum tipis. "Itu dunia ku," jawabnya, "dan sekarang, itu juga dunia mu."
Jawaban itu membuat jantung Liora berdegup kencang. Ia menyadari, ia tidak lagi berada di luar dunia Drevian. Ia sudah masuk ke dalamnya. Dan ia pun tidak menyesal sama sekali.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Drevian
"Apa aja boleh" ujarnya
"Kamu gak memikirkan harga lagi kan?" ucap Drevian main-main
"Ih kamu." gerutunya
Drevian memesan salmon panggang dan jus apel segar. Pelayan lalu datang dan menerima pesanan Drevian dan pergi ke dapur untuk memasaknya.
Ponsel Liora bergetar, ada pesan masuk dari Livia.
"Kamu baik-baik ya sama Drevian. Jangan aneh-aneh. Makan teratur, tidur yang cukup. Jangan pulang dari sana, kamu malah sakit lagi. Aku jaga toko kita dengan baik."
Liora tersenyum lembut membaca pesan itu. Rasa cemburu Drevian berkobar melihat Liora senyum-senyum diponselnya. Tanpa aba-aba, Ia menarik ponsel Liora dan melihat pesan itu ternyata dari Livia.
Liora mengernyit lalu Drevian mengembalikan ponselnya.
"Aku pikir ada pria lain." ujar Drevian
"Ini Livia, dasar pria aneh." gerutu Liora
Liora membalas pesan itu
"Iya, kamu jaga diri juga disana."
Setelah lima belas menit, pesanan pun datang. Mereka mulai memotong dengan pisau dan memakan dengan garpu. Makanan mahal yang baru pertama kali dicoba oleh Liora dan jus apel ini juga sangat berbeda dari yang biasa Ia minum.
Setelah selesai makan, Drevian pergi ke kasir dan membayar makanan
"Totalnya Rp 2.100.000, pak."
Liora yang mendengar itu ternganga. Kenapa Drevian sangat suka membawanya ke restoran yang mahal. Drevian lalu menggandeng tangan Liora keluar dari restoran itu.
"Mahal banget." ujar Liora
"Hmm? Itu standar. Apa kesukaanku, itu kesukaanmu juga kan?" godanya
Liora mencubit pelan lengan Drevian. Pria itu berpikir gadis ini lama kelamaan makin membuatnya luluh.