"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENEPI SEJENAK
Azan subuh baru saja berkumandang saat Banyu mulai sadar. Kepalanya masih terasa pusing. Tubuhnya menjadi mendadak sangat pegal. Anehnya, hawa dingin sangat menusuk tubuhnya. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia sedang berusaha mengumpulkan kesadarannya. Sebelum akhirnya ia bangun dan sholat subuh.
Banyu kemudian mencoba bangkit untuk duduk. Tangan Banyu memijit pelan keningnya. Setelah merasa pusing kepalanya mulai reda, matanya pun terbuka sepenuhnya. Saat itulah ia menyadari betapa berantakan ruangan yang didominasi warna putih ini.
Belum lepas rasa terkejutnya melihat kondisi kamar, matanya membeliak kaget saat menyadari adanya keanehan pada dirinya sendiri. Ia tidur tanpa memakai sehelai benang pun. Banyu terdiam mencoba mencerna apa yang sudah terjadi semalam. Pikirannya kosong.
Hingga begitu melihat pakaiannya yang berserakan di kamar, detik itulah kilasan peristiwa semalam tiba-tiba hadir di pikirannya.
Wajah Banyu mendadak pucat. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya tercekat. Bayangan tangisan dan seraknya suara Haura semalam membuat tubuhnya membeku seketika.
“Bodoh! Apa yang sudah kamu lakukan? Aargh…!” lirih Banyu menjambak rambutnya sendiri.
Banyu kemudian mengedarkan matanya mencari Haura. Biasanya sekarang perempuan itu sedang sholat di kamar. Namun, sekarang ruangan itu tampak kosong dan hampa. Tanpa menunggu lagi, Banyu segera berdiri dan mengambil asal celana panjang dan bajunya di lemari. Mata Banyu lalu tertuju pada noda merah di sprei yang tadinya tertutup selimut.
Ketakutan tiba-tiba menyergap dirinya. Berkali-kali ia merutuki kebodohannya semalam. Kemarahannya saat ia mengetahui Daffa dan Hania lamaran membuatnya hilang kendali. Apalagi melihat bagaimana akrabnya Sagara dan Haura semalam di depan rumah. Emosinya semakin memuncak.
Penyesalan baru muncul di dalam benaknya. Ia harus segera mencari Haura. Meminta maaf kepada perempuan itu.
“Ra!” panggil Banyu begitu ia keluar kamar. Ia segera ke dapur, tempat biasanya Haura menghabiskan waktu di pagi hari.
“Haura, kamu dimana?” Banyu sudah di dapur. Namun, ruangan favorit Haura itu kosong tanpa adanya tanda-tanda Haura di sini.
Tidak ada di dapur, Banyu lalu mencari Haura ke ruangan lain. Kosong. Banyu kemudian terduduk di meja makan. Ketakutan akan perginya Haura semakin memenuhi hati Banyu. Ia memang belum bisa mencintai perempuan berlesung pipi itu. Akan tetapi, bukan berarti ia akan membiarkan Haura pergi dari hidupnya.
Tiba-tiba pintu depan terbuka. Banyu segera melangkah ke ruang tamu. Akhirnya ia bisa bernapas lega. Di depannya berdiri Haura dengan pakaian rumahan seperti biasa membawa sekantong makanan.
“Ra, kamu dari mana? Saya-”
*Mandi dulu, Mas. Lalu sholat. Sarapan Mas aku letakkan di meja makan.” Haura berjalan melewati Banyu begitu saja. Tidak ada senyum hangat yang biasanya selalu menghiasi wajahnya.
Banyu mengikuti langkah Haura hingga sampai di meja makan. “Saya minta maaf, Ra,” ucap Banyu penuh sesal. “Saya kehilangan kendali semalam. Maafkan kesalahan saya."
“Sholat dulu, Mas.” Tutur kata perempuan itu masih sama seperti biasa. Hanya saja matanya enggan menatap Banyu. Ia justru fokus menata beberapa kue tradisional itu di atas piring.
Banyu mengalah. Setelah apa yang ia lakukan semalam, memaksakan kehendaknya pada Haura bukanlah pilihan yang tepat. Akhirnya lelaki itu melangkah menuju kamarnya dengan sedikit enggan.
...***...
“Aku akan pulang ke rumah orang tuaku hari ini.” Mata Haura sama sekali tidak menatap Banyu yang baru duduk di depannya.
“Jangan hari ini ya. Saya ada pertemuan penting sampai malam. Khawatirnya saya tidak bisa mengantar kamu pulang.”
Haura menggeleng. Jemarinya memeluk gelas berisikan cokelat hangat di hadapannya dengan erat. Matanya menatap fokus pada gelas itu. “Aku bisa pulang sendiri.”
Banyu menghela napasnya. Lelaki itu mundur dari kursinya lalu beranjak menghampiri Haura. “Jangan begini, Ra. Saya minta maaf atas perbuatan saya semalam. Saya… Saya kehilangan kendali semalam. Terlalu banyak masalah akhir-akhir ini.” Banyu duduk menghadap Haura.
Tidak ada pergerakan dari perempuan itu. Sesaat kemudian ia menyesap minumannya dengan tenang. Namun, ketenangan itu mengganggu Banyu. Diam dan keengganan Haura menatap matanya langsung menandakan betapa bencinya Haura pada Banyu.
“Lihat saya, Ra. Saya mohon. Jangan begini. Kamu bisa bilang apa yang harus saya lakukan untuk kamu memaafkan saya.”
Permohonan Banyu itu terdengar seperti garam yang menambah pedih batin Haura. Setelah memperlakukan dirinya sehina semalam, kini tanpa malunya lelaki itu duduk di sampingnya dan meminta dirinya menatapnya langsung.
“Ra… Please….” lirih Banyu hendak menyentuh tangan Haura. Namun, dengan cepat Haura menghindar.
Sesuai keinginan Banyu, Haura pun mengubah posisinya. Kini ia duduk menghadap ke arah Banyu. Matanya menatap langsung manik hitam legam milik Banyu. Lalu seringaian penuh luka itu muncul. Menghiasi wajah cantiknya itu.
“Apa yang kamu mau?” desis Haura. Tangannya saling menggenggam satu sama lain.
Mata Banyu menatap tangan Haura yang mengepal itu. Ingin sekali ia menggenggam tangan tersebut. Namun, itu tidak mungkin ia lakukan. Matanya kemudian beralih menatap wajah datar Haura. “Katakan, Ra. Apa yang harus saya lakukan untuk menebus kesalahan saya.”
“Ceraikan aku sekarang juga,” kata Haura tegas.
Satu kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Haura. Tanpa ada keraguan apalagi emosi sama sekali. Akan tetapi, mustahil permintaan itu Banyu kabulkan. Selain karena usia pernikahan mereka yang singkat, ibunya juga sangat menyukai Haura.
Banyu kemudian berlutut di hadapan Haura. Lelaki itu memberanikan diri meraih tangan Haura. “Saya mohon, Haura. Jangan begini. Kamu tahu sendiri permintaan kamu itu tidak mungkin saya lakukan.”
Haura berdecih. “Kenapa tidak mungkin? Kamu tidak mencintai aku. Akan lebih mudah untuk kamu melepaskan aku sekarang.”
“Saya akan belajar mencintai kamu. Tolong jangan pergi dari hidup saya. Tolong kasih kesempatan sekali lagi untuk saya agar memperbaiki kesalahan saya.”
Haura melepaskan tangannya dari genggaman Banyu. Perempuan itu kemudian beranjak dan melangkah menuju jendela kaca yang memperlihatkan derasnya hujan pagi itu. Raut wajah Haura masih sedatar tadi. Tangannya disilang untuk memeluk lengannya yang hanya ditutupi kardigan tipis. Menghalau dingin yang mulai menusuk kulit.
“Penyesalan yang sekarang baru aku rasakan adalah menerima perjodohan denganmu. Andai waktu masih bisa ku ulang, ingin rasanya aku menolak perjodohan denganmu. Aku seharusnya menikah dengan lelaki yang bisa memberiku banyak cinta. Tidak sepertimu, yang justu hanya bisa memberikan aku banyak luka,” ujar Haura dengan datar. Tidak ada air mata yang membasahi pipinya. Sudah cukup cairan semalam cairan bening itu terus keluar dari matanya karena perilaku Banyu.
"Haura ... saya...."
Banyu rasanya tidak mampu lagi meminta maaf pada perempuan itu. Hati Banyu terasa amat sakit mendengar ucapan Haura. Tak ada lagi benih kegembiraan di wajah Haura. Tak ada senyuman hangat yang menyambut paginya. Kini yang tertinggal hanyalah wajah datar Haura, caranya bicara pun begitu rendah bagaikan kehilangan nyawa.
Ingin ia berbicara mengutarakan kalimat untuk meyakinkan Haura agar memberinya kesempatan. Namun, dengan cepat disela oleh Haura. Kali ini perempuan itu berdiri menghadap ke arahnya.
“Asal kamu tahu, Mas. Jangan kamu kira hanya kamu yang menderita atas pernikahan ini. Tapi, aku juga. Namun, aku bisa apa? Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi semenjak aku resmi menjadi istrimu selain menerima ini semua. Menjalani pernikahan ini dengan penuh tanggung jawab. Mencoba mencintai kamu, melayani kamu dan melakukan semua tanggung jawabku sebagai seorang istri dengan sebaik mungkin.”
Haura berhenti sejenak. Matanya menatap Banyu dengan penuh kekecewaan dan luka. “Mari kita saling melepaskan, Mas. Kita raih kebahagiaan kita masing-masing. Bahagiamu tidak ada padaku. Tetapi perempuan lain. Begitu pula aku. Barangkali aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri. Dan… Itu bukan dengan kamu," lanjutnya.
Saat kalimat terakhir diucapkan, nyeri di hati Banyu semakin terasa menyiksanya. Bagaimana bisa ia menyakiti perempuan di hadapannya ini dengan sedemikian rupa? Haura bahkan tidak lagi mengeluarkan air matanya. Namun, sorot matanya menyisakan luka yang teramat dalam.
Banyu mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. Ia menarik napasnya dalam guna menenangkan dirinya agar tidak salah bertindak. “Saya tidak akan mengabulkan permintaan kamu. Selama apapun waktu saya mendapatkan maaf dari kamu, saya akan bertahan. Tetapi jangan pernah berpikir untuk lepas dari saya.”
“Melepaskan aku akan memberimu kebebasan untuk menikahi perempuan yang kamu cintai. Atau… Atau kamu mempertahankan aku karena kamu tahu perempuan yang kamu cintai itu akan menikah sebentar lagi?” tanya Haura menampilkan seringan tipis di wajahnya.
Napas Banyu tercekat. “Apa maksudmu?” Kaki Banyu melangkah mendekati Haura.
“Aku sebodoh itu ya, Mas? Sampai-sampai tidak menyadari bahwa suamiku ternyata menyimpan perasaan kepada sahabatku sendiri.”
Kedua alis tebal Banyu saling bertaut. “Kamu… Kamu tahu kalau aku….”
“Mencintai Hania.” Tiba-tiba Haura tertawa sumbang. Sekuat tenaga ia menahan air matanya hari ini. Namun, mengingat kenyataan pedih itu tak urung membuat cairan bening itu membasahi pipinya. Matanya menatap tajam wajah Banyu. “Kamu menyentuhku tetapi kamu membayangkan diriku adalah Hania. Katakan, Mas, katakan dengan apa aku harus memaafkan kamu selain dengan kata cerai dari mulut kamu! Katakan, Mas!”
“Haura maafkan saya. Maafkan saya, Ra…” Banyu memeluk tubuh Haura yang bergetar karena tangisan yang menyayat hatinya. “Maafkan kesalahan saya yang sangat menyakiti kamu. Tapi sumpah, Ra. Saya tidak bermaksud begitu. Saya akui, saya memang mencintai Hania. Tapi itu dulu. Di saat kamu resmi menjadi istri saya, saat itulah nama Hania saya hapus dari hati saya.” Banyu mengeratkan pelukan itu.
Sungguh ia tidak menyangka bahwa ia menyakiti Haura sedalam itu. Ia tidak menyadari bahwa semalam ia berlaku layaknya lelaki brengsek. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Banyu untuk melakukan itu pada Haura. Hania, nama itu sudah ia hapus semenjak Haura resmi menjadi istrinya. Kekecewaannya semalam tidak semata-mata karena Hania yang dilamar Daffa. Namun, karena penolakan Hania kepada dirinya dulu tidak disertai dengan alasan yang jelas.
“Beri aku waktu, Mas. Biarkan aku pulang sendiri ke rumah orang tuaku hari ini.” Haura kemudian melepaskan pelukan Banyu. “Aku akan mengabari kamu kalau nanti aku bersedia kamu jemput kembali.”
Banyu terdiam. Namun, ia tidak lagi menahan Haura yang kini melangkah pelan meninggalkan ruang makan. Tubuh mungil itu hanya bisa ia tatap dari kejauhan, tanpa diberi kesempatan untuk menatapnya dari dekat.
Saat itulah Banyu menyadari bahwa Haura menempati sisi khusus di ruang hatinya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Haura?" lirih Banyu tanpa suara.
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak yaah. :)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...