Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Persetujuan
Karenin mengikuti langkah berat Ansa ke ruang kerja keluarga Monard. Ruangan itu luas, penuh buku dan lukisan keluarga. Aroma kayu tua memenuhi udara, dan lampu gantung antik menggantung di atas kepala mereka. Pintu ditutup rapat—meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang tegang.
Ansa berdiri di balik meja kerjanya, menatap Karenin dari balik kacamata tipisnya. “Duduk,” katanya pendek.
Karenin menurut.
Beberapa detik berlalu sebelum Ansa bersuara lagi, nadanya pelan tapi penuh tekanan. “Kau tahu… aku tidak pernah menyukai anak itu.”
Karenin menegakkan punggungnya, mendengarkan.
“Dia membunuh ibunya.” Ansa menatap keluar jendela, tangannya mengepal di balik punggung. “Hari dia lahir, adalah hari istriku meninggal. Sejak itu, tidak pernah ada satu hari pun aku bisa menatapnya tanpa mengingat kesakitan itu.”
Ia kembali menoleh pada Karenin, matanya tajam. “Jadi jangan kira aku sedang melindunginya. Aku melindungi nama keluargaku. Aku tidak peduli kalau dia harus menderita, tapi aku tidak akan membiarkan aib ini diketahui publik.”
Karenin mengangguk perlahan. “Saya tidak datang ke sini untuk menuntut apa pun. Saya hanya ingin bertanggung jawab. Itu saja.”
Ansa menyipitkan matanya. “Kau bukan siapa-siapa, Karenin. Bahkan jika kau bekerja keras pun, kau tidak akan bisa sejajar dengan nama Monard. Tapi satu hal yang membuatku tidak langsung mengusirmu dari rumah ini adalah… kau datang.”
Ia berjalan mendekat. “Kau mungkin berpikir ini cinta. Atau tanggung jawab. Tapi hidup dengan keluarga ini tidak akan mudah. Jangan harap mendapat penerimaan atau pengakuan.”
Karenin tetap menatap lurus. “Saya tidak butuh penerimaan. Saya hanya ingin anak saya tumbuh dengan nama yang layak dan ibu yang tidak harus berjalan sendirian.”
Ansa menatapnya beberapa detik. Kemudian menghela napas panjang dan berjalan kembali ke kursinya. “Baik. Aku akan izinkan pernikahan ini terjadi. Tapi jangan berharap akan ada pesta mewah atau restu hangat.”
Karenin berdiri, membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. “Itu lebih dari cukup.”
Saat Karenin keluar dari ruang kerja itu, ia tahu jalannya masih panjang. Tapi ia telah melewati satu gerbang penting—dan ia melakukannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk Shanaira dan anak mereka.
Siang itu, keluarga Monard kembali berkumpul di ruang makan, tapi tanpa santapan mewah seperti biasanya. Hanya teh yang menghangatkan meja dan udara penuh ketegangan yang menggantung. Karenin duduk di sisi Shanaira, keduanya saling menggenggam tangan di bawah meja. Pak Ansa duduk di ujung, wajahnya kaku. Refina menyilangkan tangan, menatap sinis. Sementara Oma Aini tampak tenang, meski jelas ada ketidaksenangan di sorot matanya.
“Tidak akan ada pesta pernikahan,” ujar Pak Ansa, tanpa basa-basi. “Aku tidak akan membuat diriku terlihat seperti orang bodoh di depan kolega dan sahabat lama, hanya untuk memperkenalkan menantu yang bahkan tidak punya nama.”
Karenin menunduk sedikit, menahan perasaan. Shanaira membuka mulut hendak berbicara, tapi Refina menyelanya.
“Mas benar. Kita harus berpikir rasional. Coba bayangkan, anak pertama keluarga Monard menikah diam-diam dengan seorang koki biasa? Itu akan jadi bahan tertawaan orang-orang selama bertahun-tahun.”
“Tapi yang mereka perlukan bukan pesta,” suara lembut Oma Aini memecah, nadanya tajam. “Yang mereka perlukan adalah awal yang layak dan kejujuran. Aku lebih malu kalau cucuku menikah dalam kebohongan atau tidak diakui sama sekali.”
Pak Ansa menoleh pada ibunya. “Kau tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja, Bu.”
Oma Aini mengangkat alis. “Justru karena aku tahu, maka aku bicara.”
Suasana membeku. Beberapa saat kemudian, Karenin angkat bicara, suaranya datar namun mantap.
“Tidak perlu pesta, tidak perlu gaun, tidak perlu tamu undangan. Kami akan ke kantor catatan sipil. Kami akan sah secara hukum. Itu sudah cukup.”
Shanaira mengangguk pelan, menggenggam tangan Karenin lebih erat. “Kami tidak butuh pengakuan dari dunia, asalkan kami bisa hidup dengan tenang dan anak kami lahir dengan nama yang jelas.”
Pak Ansa mengangguk singkat, entah sebagai tanda setuju atau sekadar mengakhiri pembicaraan. Refina hanya mendengus kecil. Oma Aini menatap cucunya dengan penuh rasa sayang—dan juga prihatin.
“Kalau begitu,” gumamnya, “pastikan kalian bahagia… meski dunia menolak memberi restu.”
*****
Shanaira duduk di beranda kamarnya, menatap langit malam yang perlahan menggelap. Angin membawa aroma lembut bunga melati dari taman belakang. Sejak Karenin datang dan berbicara dengan ayahnya, rumah ini terasa… berbeda. Sunyi yang dulu mencekam kini berubah menjadi ketegangan yang belum pecah.
Di pangkuannya, tangan Oma Aini menggenggam jemarinya. Lembut, seperti biasanya.
“Dia anak yang baik, ya,” gumam sang oma, memecah keheningan.
Shanaira hanya diam. "Karenin…” Oma Aini berbicara lagi perlahan, “Dia datang ke rumah ini tanpa membawa banyak janji. Tapi justru itu yang membuatnya berbeda.”
Shanaira menoleh, menatap wajah omamya yang dipenuhi keriput namun masih menyimpan ketegasan.
“Dia tak banyak bicara, tapi sikapnya jelas. Dia tahu kamu sedang hancur, dan bukan hanya menengok reruntuhannya—dia ikut berdiri di dalamnya, mencoba membangun sesuatu bersamamu. Oma tidak mengatakan dia sempurna. Tapi dia… nyata.”
“Tidak banyak laki-laki yang mau berdiri di depan ayahmu seperti itu. Apalagi untuk perempuan yang bahkan orang tuanya sendiri tak sepenuhnya terima.”
Mata Shanaira perlahan berkaca-kaca. “Aku tidak mengerti, Oma… Kenapa dia tetap bertahan? Padahal aku pun belum sepenuhnya yakin dengan diriku sendiri.”
Oma Aini tersenyum kecil, mengusap kepala cucunya. “Mungkin karena dia tahu, kamu butuh seseorang. Bukan untuk menyelamatkanmu. Tapi untuk berdiri di sisimu saat kamu menyelamatkan dirimu sendiri.”
Shanaira menunduk, air mata jatuh tanpa suara. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada seseorang yang tidak menuntut apa-apa darinya. Yang tidak menuntut cinta, kesempurnaan, atau ketaatan. Hanya kehadiran… dan kejujuran.
“Aku takut,” bisiknya.
“Kamu memang harus takut. Tapi jangan biarkan rasa takut mengatur hidupmu. Kamu berhak memilih. Dan kamu berhak bahagia, meski orang lain mengatakan tidak.”
“Coba lupakan masa lalu. Oma tahu hal itu pasti sulit untukmu,” sambung Oma Aini, nada suaranya menjadi getir. “Ethan yang sejak awal hanya mencintai setengah hati. Dia memilih pergi dan menoleh saat kamu sudah terjatuh.”
Shanaira menunduk, air matanya terus jatuh tanpa suara.
“Kau tahu, Sayang… hidup tidak menunggu kita meratapi yang sudah pergi. Hidup terus berjalan. Dan kamu… kamu berhak bahagia. Bukan dengan terus menoleh ke masa lalu, tapi dengan berani melangkah ke depan.”
Nenek Aini menggenggam tangan cucunya. “Karenin mungkin bukan orang dari kisah cinta pertamamu. Tapi lihat cara dia berdiri di sampingmu sekarang, tanpa syarat. Bukan karena reputasi, bukan karena nama keluarga, tapi karena dia memilihmu—apa adanya.”
Shanaira mengangguk perlahan, menyandarkan kepalanya di bahu Omanya. Dadanya terasa sesak namun juga sedikit lebih ringan. Ada luka yang masih terbuka, tapi juga ada tangan yang sekarang meraih—bukan untuk menggantikan, tapi untuk bersama-sama menyembuhkan.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh