Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 18
“Nggak perlu—” Viena ketara sekali gak bisa menolak. Jikalau menolak pun, pasti dirinya cuma duduk di sofa sambil menggulir ponselnya hingga pemuda Aksantara yang dia nanti-nantikan datang. Bodohnya Viena malah mengharapkan laki-laki yang barusan memaksanya untuk memperpanjang kontrak pura-pura pacaran nan bodoh mereka. Tapi kenapa gadis itu mau?
“Nolak dengan cara sopan ya? Tapi dari matamu keliatan jelas tuh kalau kamu penasaran. Pake banget, malah.”
Jujur, Viena memang penasaran. Arven sepertinya juga bukan tipe yang suka memberi jebakan. Tapi sebelum ia sempat menentukan pilihan, Yunho lebih dulu muncul dari dalam kamar rekaman. Menjulur-julurkan lehernya seperti angsa.
“Ven, lu ngajak pacarnya bossman masuk?” tanya si jangkung dengan setengah alis terangkat.
“Jangan dengerin dia.” Arven menoleh malas. “Darren gak masalah, kok. Toh kita cuma lihat-lihat, gak ada yang haram.”
Yunho mendesis, tapi tidak lanjut bicara dan memilih ke kamar mandi.
Lantas Arven membuka pintu lebih lebar dan memberi isyarat santainya dengan kepala. Setelah beberapa detik keraguan, Viena akhirnya melangkah masuk.
Satu cowok asing terlihat di sana. Namanya Langit. Orang itu mengangkat tangan tipis sebagai salam dan Viena membalas dengan anggukan.
“Mau nyanyi dikit?” Arven menawarkan dengan nada santai seolah itu hal lumrah.
Sementara Viena tentu saja menggeleng setengah mati. “Aku nggak—”
“Kamu mau,” sela Arven. “Sebentar aja, kok. No pressure.”
Bodoh baginya saat menyadari kakinya melangkah ke depan mic. Tangan Arven cepat-cepat mensetting volume monitor ke rendah.
Parahnya lagi keempat orang di ruangan itu memasang wajah “kita lihat sejauh apa”. Padahal awalnya cuma lihat mereka latihan. Arvendra beneran jebak dia buat nyanyi. Tapi lagi-lagi, kenapa dia malah mau-mau aja?
Mungkin karena teringat dibenaknya kala Darren memuji suaranya pada malam itu. Pujian itu membakar jiwanya untuk lebih percaya diri. Tidak perlu takut salah. Viena juga bukan penyanyi, cuma pegawai biasa yang belum jelas kerjanya apa. Itu yang dia tekankan berulang kali sambil menarik napas dalam-dalam. Toh, gak sampai habisin satu lagu juga, terus balik bersih-bersih studio.
Viena memejamkan mata.
“Everytime I breathe you in… I forget the world exists… ,”
Begitu baris terakhir keluar, tak ada satu pun dari mereka yang bersuara. Sunyi, tapi bukan sembarang sunyi, lebih seperti ruangan yang menyelaraskan napas dengan apa yang baru keluar dari tenggorokan gadis itu.
“I tried to leave your shadow behind me,”
“But it sleeps in my chest like a ghost in a room… a ghost in the room.”
Dan itu baru bait pertama.
Yunho yang paling bermulut kapak, justru yang paling pertama kehilangan kata-kata, padahal dirinya baru saja masuk ke ruang latihan. Di sisi lain, Arven justru tersenyum seolah baru menemukan sesuatu yang tidak direncanakan. Sementara Langit berdiri paling belakang dengan tangan bersilang di dada. Wajahnya datar seperti papan batu, tapi matanya bergulir mengikuti tiap gerakan Viena.
“Gila.” Arven perlahan bersandar ke kursinya. “Gue kira Darren asal pilih pegawai, ternyata… .”
Yunho mengusap rahangnya, kasar. Kacamata hitamnya bahkan melorot, nyaris jatuh sebelum ia angkat sampai kening . “Jesus, Itu—” ia berhenti, bibirnya terbuka tanpa kata. “Itu bukan suara orang baru pertama kali nyanyi.”
Viena cuma bisa menelan ludah keras–keras. Sebelum meringis kaku, lagi. “Maaf, tadi… aku cuma nyoba dulu, udah lama gak nyanyi.”
“Bukan nyoba,” sela Arven. “Yang barusan itu bakat. Bakat kayak gitu kalau gak diasah bakalan mati.”
Cepat setelah Arven selesai, suara berat menimpali.
“Louis Armstrong pernah bilang, ‘If you have to ask what jazz is, you’ll never know.’ Musik bukan soal paham atau latihan. Musik itu kelahiran ulang, sesuatu yang ketika keluar, orang lain bakal berhenti bernapas selama lima detik untuk mendengarnya.”
Suara berat itu datang dari Bima yang sebelumnya terlihat acuh. Beda dengan Langit yang seperti patung hidup, Drummer ini justru kagum.
Bima mencondongkan tubuh sedikit. Tatapannya menusuk, tapi bukan untuk menekan melainkan menimbang. “Ada suara yang ‘benar’, ada suara yang ‘indah’, dan ada suara yang ‘tidak bisa digantikan’. Yang barusan keluar dari mulut kamu ada di kategori ketiga.”
Viena bahkan tidak sanggup menatap balik. Dia justru menunduk.
“Viena,” Arven menyandarkan siku ke lutut sambil menatapnya lekat. “Kita bukan cuma butuh satu pegawai baru. Kita butuh orang yang bikin studio Midnight Alter gak terasa hampa. Seenggaknya kita masih punya harapan.”
“Akhirnya ada yang ngomong duluan,” Yunho menimpali.
Arven lalu mengangkat satu jari ke udara seolah memutuskan sesuatu. “Ikut kami.”
Kata itu jatuh seperti kontrak yang sudah ditandatangani sebelum Viena sempat menjawab.
“Kita masukin kamu sebagai vokal lapis atau vokal kedua. Darren bakal ngamuk? Biar aku yang urus. Aku yang ngomong. Dia gak akan bunuh siapapun. Toh, ini juga demi dia.”
Viena otomatis menggeleng, cepat, defensif. “Kayaknya nggak bisa deh. A-aku di sini bukan untuk itu. Aku cuma pegawai. Aku gak boleh ikut tanpa izin Darren.”
“Kontrak apa pun yang Darren bikin soal kerjaan kamu, itu kontrak di atas kertas,” sela Yunho. “Tapi yang gue lihat barusan, itu kontrak antara tubuh dengan jiwa. Bossman pasti setuju kalau ini mah.”
Keraguan jelas melompat-lompat di wajah Viena, matanya berusaha tetap rasional, tapi tiap hembusan nafas seakan mengkhianati.
Arven menangkap itu lebih cepat daripada Viena menyadari dirinya bimbang.
“Kamu bilang nggak,” jelas Arven, “tapi hati kamu bilang iya.”
Viena hanya bisa menggigit bibir kala jari-jarinya mengepal kuat. Baru juga nyanyi sedikit. Apakah ini akan menjadi sumber masalah baru? Viena sudah terlanjur paranoid.
Tepat ketika ia ingin membuka mulut untuk menolak secara final, pintu kamar rekaman studio mereka terbuka dari luar.
Darren berdiri di ambang pintu dengan kemeja putih yang kancing kerahnya dia biarkan terbuka. Rambutnya di sisir ke belakang, meninggalkan beberapa helai jatuh di kening. Sementara tatapannya langsung jatuh ke satu titik.
Ke gadis itu.
Viena berdiri di depan mic, kabel naik lewat bawah kakinya, semua personil Midnight Alter berada di sekitar gadis itu seolah sedang melakukan audisi tanpa izin. Tapi apakah Darren melarang Viena untuk sekedar bernyanyi? Padahal dia orang pertama yang memuji suara indah gadis itu.
Mata Darren turun naik dari wajah Viena, ke posisi mic dan berhenti di Arven. Parahnya ekspresi wajah laki-laki itu terlampau datar seperti biasa. Justru itu yang kelewat aneh.