Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang BK
Aira kebingungan melihat banyak mahasiswa menatapnya seolah ada yang aneh.
“Ray… apa yang salah sama gue? Kenapa semua orang ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Aira cemas.
“Gak ada yang salah, gue juga gak tau masalahnya apa,” jawab Rayhan.
“Gue malu, Ray…”
“Sebentar ya.”
Rayhan menghampiri dua mahasiswa yang sedang berdiri sambil memainkan ponsel.
“Maaf, pada ngeliatin apa, ya? Ada berita apa?” tanya Rayhan.
“Ini, foto Aira sama Aksa. Bucin banget,” jawab salah satu mahasiswa sambil menunjukkan layarnya.
Aira langsung mendekat. Begitu ia melihat layar, napasnya tercekat—itu foto dirinya dan Aksa kemarin. Wajar saja muncul komentar, “lah kok sama Rayhan, tapi di foto sama Aksa.”
“Thanks,” ujar Rayhan, lalu mahasiswa itu pergi.
“Gue harus samperin yang nyebarin ini,” desis Aira.
Ia membuka ponselnya, melihat akun yang mem-posting foto itu. Caption-nya sebenarnya tidak buruk, tapi ini tetap merugikan dirinya. Ia dan Aksa tidak punya hubungan apa-apa. Aira merasa harus menyelesaikannya.
Di taman, ia bertemu pemilik akun tersebut.
“Permisi, lo yang IG-nya ina_01 kan?”
“Iya. Kamu Aira, ya?”
“Iya. Gue minta lo hapus postingan foto gue sama Aksa. Hapus sekarang.” Suara Aira tegas.
“Lah kenapa? Itu viral loh, banyak yang komen bagus. Lo bisa bikin cowok sedingin Aksa jadi bucin, itu hebat banget,” ujar Ina santai.
“Gue minta hapus. Foto itu ketidaksengajaan, dan gue sama Aksa no couple.”
“Oke, oke.” Ina akhirnya menghapusnya, meski wajahnya menunjukkan kalau dia sebenarnya suka fotonya.
“Thanks. Tapi lo udah ngelanggar hak gue. Lo posting tanpa izin dan bisa merusak nama baik. Gue bisa aja bawa ini ke pihak berwajib.” Aira menatapnya tajam.
Ina langsung merasa bersalah.
“Sorry… gue cuma repost dari akun FB. Nama akunnya Mosan. Gue asal ambil terus repost. Orang suka karena Aksa dingin, dan lo bisa bikin dia keliatan bucin.”
“Mosan… ternyata dia sumbernya,” gumam Aira.
“Lo bikin klarifikasi, bilang gue sama Aksa gak ada apa-apa. Setelah itu gue maafin,” ujar Aira.
“Iya, sorry.”
Aira mengeluarkan ponsel, merekam klarifikasi dari Ina. Selesai, Ina pergi.
“Ray, makasih ya udah nemenin gue. Akhirnya beres,” ucap Aira.
“Sama-sama. Gue ke kelas dulu. Good luck.”
Aira mengangguk.
Saat Aira masih berdiri, Gina dan Rosa datang dari belakang. Gina tiba-tiba menjambak rambut Aira.
“Aw! Lepasin!” teriak Aira meringis.
“Lepasin lo bilang? Gue udah peringatin lo jauh-jauh dari Aksa!”
“Gue bisa jelasin—”
Dari kejauhan Aksa melihat kejadian itu. Seketika ia merekam, lalu dengan cepat muncul di antara mereka. Ia melepaskan tangan Gina dari rambut Aira dan mendorong Gina hingga terjatuh.
“Aksa! Lo kenapa sih belain Aira terus?” ujar Gina tak terima.
“Bisa gak sih lo buka hati sedikit buat Gina?” sahut Rosa.
“Aira, cabut,” ujar Aksa singkat.
Aksa langsung menggenggam tangan Aira dan menariknya pergi.
“Sial…” Gina bangkit kesal. “Kita harus singkirin Aira.”
“Gue setuju,” sahut Rosa.
Aira langsung melepaskan genggaman Aksa karena tak mau masalah semakin besar.
“Gu—gue mau ke kelas,” ucap Aira lirih.
“Ikut gue,” balas Aksa sambil menggenggamnya lagi, lebih kuat.
“Kemana?”
“Diam.”
Mereka berhenti di depan ruang BK. Aira bingung.
“Ngapain kesini?”
Aksa tidak menjawab. Ia tetap menarik Aira masuk.
“Pagi, Bu,” sapa Aira.
“Pagi, Aira… Aksa.”
Mereka duduk.
“Ada apa?” tanya Bu Fatimah.
“Saya mau melaporkan ketidaknyamanan Aira, Bu. Saya lihat Aira diperlakukan kasar oleh Gina,” jawab Aksa tegas.
Aira terkejut. Ia takut masalahnya dengan Gina makin panjang.
“Gina? Benar begitu, Aira?”
“Enggak kok, Bu. Yang dibilang Aksa tuh bo—”
“Ini videonya, Bu,” potong Aksa sambil menunjukkannya.
Bu Fatimah langsung percaya.
“Aira, kenapa kamu berbohong? Melapor itu lebih baik.”
“Saya gak mau memperpanjang masalah, Bu…”
“Kalau kamu terus diperlakukan seperti itu, kamu harus lapor. Sekarang ibu tanya, ini pertama kali atau sudah pernah sebelumnya?”
Aira mengingat kejadian di gudang—saat ia disiram air. Ia bimbang.
“Gimana, Aira?”
“Mm… baru sekali, Bu.”
“Syukurlah. Apa penyebabnya?”
Aira menjelaskan soal foto viral dan kecemburuan Gina.
“Baik, nanti saat istirahat kamu ke sini lagi dengan yang bersangkutan. Sekarang silakan kembali ke kelas.”
“Terima kasih, Bu.”
Begitu keluar, Aira langsung kesal pada Aksa.
“Lo ngapain sih laporin kejadian tadi? Gue aja diem, kenapa lo yang ngadu?”
“Demi kebaikan lo.”
“Ini nambah masalah bukan nyelesain!”
“Aira, jangan pikir gue gak tau kenapa kemarin lo basah. Itu karena Gina dan Rosa, kan?”
Aira terdiam. Benar.
“Lo tau dari mana?” tanyanya lirih.
“Gak penting.”
“Gak penting? Lo gila ya? Kita gak ada hubungan apa-apa, tapi lo malah bikin Gina makin salah paham dan makin dendam sama gue!”
Aksa menatapnya serius.
“Lo tenang aja. Gue bakal jagain lo terus.”
“Terserah.”
Aira pergi meninggalkan Aksa.
****************
Jam mata kuliah dimulai, namun fokus Aira buyar. Tatapan dosen terasa jauh, suaranya hanya menjadi gema samar di kepala Aira. Yang ia pikirkan hanya satu: Gina.
“Gina pasti diberi peringatan sama guru BK nanti habis dari ruangan, itu udah pasti… yang nggak pasti itu, Gina bakal berhenti nyakitin gue atau justru makin parah.”
Aira menggigit bibirnya. Ketidakpastian itu membuat hatinya gelisah. Ia hanya ingin menjalani misi yang diberikan ayahnya dengan tenang, bukan berurusan dengan drama dan ancaman seperti ini.
Aira menggenggam pulpen erat. Kenapa hidup gue jadi serumit ini?
Padahal di dunianya—tahun 2025—hidupnya baik-baik saja. Tidak ada yang berani menyentuhnya, apalagi menjambak rambutnya. Ia populer, disegani, dihormati. Semua orang tahu siapa Aira yang asli.
Di dunianya yang asli, semua berbeda. Ia populer, disegani, tidak ada yang berani macam-macam. Hidupnya teratur dan aman.
“Kenapa hidup gue di sini kayak mimpi buruk?” batinnya.
Aira menunduk, menahan sesak yang tiba-tiba muncul.
“Kalau gini terus… gue kuat nggak ya?”
“Aira, lo kenapa ngelamun aja sih?” tanya Lala, teman duduk di sampingnya.
“Gue gpp,” jawab Aira singkat.
Karena terlalu larut dalam pikiran, Aira bahkan tidak sadar kapan dosennya keluar. Tatapannya kembali fokus ke depan, namun kursi dosen sudah kosong.
“Eh, La… dosennya kemana ya?” tanya Aira bingung.
“Udah keluar dari tadi. Lo ngelamun aja terus, mikirin apa sih, Ai?” tanya Lala heran.
“Banyak.”
“Jangan-jangan lo kepikiran foto lo yang viral itu ya?” tebak Lala.
“Bukan. Oh iya, ngomongin soal foto itu… gue mau upload video klarifikasi dari Ina, yang ngepost foto itu. Biar jelas kalo gue sama Aksa nggak ada hubungan apa-apa, dan foto itu kejepret nggak sengaja.”
“Iya sih. Tapi kalau emang lo bisa naklukin cowok sedingin salju di luar negeri, itu baru hebat,” goda Lala.
Aira memutar bola mata. “Eh, ini udah istirahat ya?”
“Iya, Aira.”
Aira langsung berdiri. “Gue duluan ya.”
Ia bergegas menuju ruang BK. Setiap langkah membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Sesampainya di sana, ia duduk, menunggu Gina dipanggil. Beberapa menit kemudian, pintu terbuka—Gina datang dengan wajah datar.
“Oke, sekarang kalian sudah kumpul. Ibu mau meluruskan masalah kalian berdua,” ujar Bu Fatimah.
“Masalah apa ya, Bu?” tanya Gina pura-pura tak tahu.
“Gina, ini terkait perlakuan kamu yang kasar kepada Aira. Betul?”
Gina melotot tajam ke arah Aira. Aira menunduk—tak mungkin ia menutupi kejadian itu, semua sudah terbukti lewat video yang Aksa berikan.
“Maaf Bu, tapi apakah ada buktinya?” tanya Gina.
“Ada, Gina,” jawab Bu Fatimah tegas. “Ibu lihat sendiri rekaman dari Aksa, kamu menjambak rambut Aira karena kecemburuan. Ibu harap ini tidak terulang lagi.”
Bener-bener si Aira… berani-beraninya lapor BK, batin Gina kesal.
Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Bukti videonya jelas, ia tak bisa mengelak.
“Maaf Bu, boleh saya bicara?” ujar Aira.
“Silakan.”
“Gue sama Aksa nggak ada hubungan apa-apa, lo bisa lihat video ini.” Aira memperlihatkan video klarifikasi dari Ina—tentang foto yang ia repost, tentang ketidaksengajaan foto tersebut, dan bahwa Aira serta Aksa tidak punya hubungan spesial.
“Gina, kamu sudah dengar penjelasan dari Aira. Ibu harap tidak ada salah paham lagi. Ingat, ini tempat belajar, bukan tempat membawa masalah hati. Kalau ada masalah, bicarakan baik-baik ya, Gina.”
“Baik, Bu…” jawab Gina lirih.
Bu Fatimah kemudian mengeluarkan surat perjanjian peringatan. Jika Gina mengulang kesalahan yang sama, ia akan diskors bahkan bisa dikeluarkan dari kampus.
Gina terpaksa menandatangani surat itu.