Benih Pahit Berbuah Manis

Benih Pahit Berbuah Manis

Bab 1: Malam Sebelum Kebahagiaan Sirna

Senja menyelimuti langit kota dengan rona jingga yang lembut, sementara cahaya keemasan menembus jendela suite hotel mewah tempat Shanaira Monard menginap. Di kamar yang dihias bunga putih dan nuansa krem elegan, Shanaira duduk di depan meja rias, mengenakan gaun santai berbahan sutra. Di tangannya tergenggam undangan pernikahan berlapis emas, dengan nama yang begitu dalam di hatinya: Ethan Renault.

Esok pagi, tepat di ballroom hotel ini, ia akan mengucap janji suci. Ethan adalah sahabat kecilnya, tetangga yang sejak dulu menjadi pelindung, penghibur, dan kini… belahan jiwanya.

Pintu kamar diketuk pelan. “Oma?” panggil Shanaira, mengenali ketukan itu.

Aini Monard, melangkah masuk, mengenakan kebaya biru langit. Wajahnya lembut, penuh keriput kehidupan, namun matanya tetap menyala penuh kasih.

“Masuk, Oma,” ucap Shanaira, langsung bangkit dan memeluk omanya erat-erat.

Mereka duduk di sofa dekat jendela. Oma Aini menatap cucunya sejenak, lalu berkata pelan, “Besok kamu akan jadi istri seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Oma sangat bahagia untukmu.”

Shanaira menggigit bibirnya, senyum kecil mengembang, tapi matanya menyimpan sesuatu.

“Oma,” bisiknya, “boleh jujur?”

Oma Aini mengangguk, menggenggam tangan cucunya.

“Aku… kadang masih merasa bersalah,” katanya pelan.

“Ayah selalu bilang, kalau aku nggak lahir… ibu nggak akan meninggal waktu itu.”

Wajah oma mengeras sejenak, lalu melembut. “Itu bukan salahmu, Shana. Itu takdir. Dan kamu tidak bisa terus dihukum karena sesuatu yang bukan pilihanmu.”

Shanaira menunduk, suaranya tercekat. “Tapi aku benar-benar merasa tidak pernah diterima. Ibu tiriku… dia sering menyuruhku kerja ini-itu sejak aku kecil, seakan aku bukan anak di rumah itu. Dan adik tiriku… dia selalu menertawakanku, menyebutku anak pembawa sial.”

Oma Aini mengusap pipi Shanaira dengan jemarinya yang gemetar tapi hangat. “Kau sudah cukup kuat bertahan selama ini. Tapi besok… kamu akan masuk ke keluarga baru. Yang mencintaimu. Yang menghargaimu. Yang melihat siapa kamu sebenarnya, bukan bayangan masa lalu.”

Shanaira menatap neneknya, matanya mulai berkaca. “Oma pikir… aku pantas bahagia?”

“Sayang,” jawab oma Aini, tersenyum dengan mata berkaca-kaca, “Kamu pantas mendapatkan cinta yang tulus. Dan Tuhan tidak memberi Ethan padamu tanpa alasan. Dia dikirim untuk menunjukkan bahwa hidupmu lebih dari luka lama itu.”

Untuk pertama kalinya malam itu, Shanaira tertawa kecil. Bukan karena semuanya telah sempurna, tapi karena akhirnya… hatinya merasa bebas.

Besok, ia akan berjalan menuju hidup baru. Bukan sebagai gadis yang terus dihantui masa lalu, tapi sebagai perempuan yang akhirnya menemukan tempatnya di dunia—di sisi seseorang yang selalu melihatnya sebagai cahaya, bukan bayangan.

***

Sementara di lantai yang berbeda, di sisi lain hotel mewah itu, suasana jauh lebih riuh.

Lampu remang-remang bar pribadi memantulkan cahaya hangat ke dinding marmer, sementara gelas-gelas bersulang dan tawa bersahutan. Ethan Renault duduk di tengah-tengah kerumunan kecil sahabat-sahabat lamanya, tapi meskipun suasana penuh sorakan dan tepuk tangan, sorot matanya sesekali melayang ke arah jam tangan.

“Bro, tenang, ini malam terakhirmu sebagai lelaki bebas!” seru salah satu temannya sambil menepuk bahunya.

Ethan hanya tertawa kecil, lalu mengangkat gelas. “Lelaki bebas yang dari dulu cuma terpaku sama satu perempuan. Jadi... tidak banyak yang berubah.”

Leluconnya mengundang tawa riuh.

Namun begitu tawa mereda, Revan—sahabatnya sejak kuliah—mencondongkan tubuh ke arahnya. “Kau yakin? Besok pagi, tidak ada jalan mundur.”

Ethan mengangguk pelan, tatapannya lembut. “Aku yakin seratus persen. Aku sudah tahu sejak kecil, Van. Sejak aku melihat dia duduk di ayunan belakang rumahnya, dengan wajah penuh luka tapi tetap tersenyum... Aku tahu, aku ingin menjaga senyuman itu.”

Revan terdiam sejenak, menatap Ethan dengan hormat.

“Kau tahu,” lanjut Ethan sambil menggulir layar ponselnya, menatap foto Shanaira dengan mata teduh, “dia tumbuh dalam keluarga yang nggak pernah benar-benar melihat nilainya. Aku selalu di sana, tapi aku cuma bisa melihat dari luar pagar. Sekarang, aku ingin jadi rumahnya. Tempat dia merasa aman.”

Beberapa temannya mulai diam, suasana berubah tenang dan lebih intim. Suara musik masih mengalun, tapi kini terasa seperti latar bagi sebuah pengakuan tulus.

Revan menepuk bahu Ethan. “Kau bukan cuma beruntung karena akan menikahi dia, Eth. Dia juga beruntung karena akhirnya akan hidup dengan seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya.”

Ethan mengangguk. Di matanya, tak ada keraguan sedikit pun. Hanya cinta yang penuh keteguhan.

Ia mengangkat gelas lagi, kali ini lebih pelan, lebih dalam. “Untuk dia. Untuk Shana. Dan untuk hari esok… ketika semuanya akhirnya jadi seperti yang seharusnya.”

Dan di tengah riuh tawa serta obrolan hangat, Ethan tetap merasa satu hal paling penting malam itu: detak jantungnya berdetak menuju seseorang. Seseorang yang, sejak kecil, sudah menjadi alasan terbesarnya untuk pulang.

***

Malam menjelang larut. Lantai bar sudah mulai sepi, suara musik berubah menjadi bisikan samar, dan lampu-lampu mulai diredupkan.

Ethan berjalan tertatih keluar dari bar, langkahnya tidak lagi seimbang. Jasnya sedikit terbuka, dasinya longgar, dan matanya berat akibat terlalu banyak minum—satu gelas demi satu gelas yang semula untuk merayakan kebahagiaannya, namun perlahan membawa pikirannya terombang-ambing pada hal-hal yang jauh lebih dalam.

Ia menekan tombol lift, tertawa kecil sendiri, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding lift sambil berbisik, “Shana… besok kita menikah, ya... akhirnya…”

Pintu lift terbuka di lantai tempat suite-nya berada. Ia menyeret langkah pelan, menyusuri lorong, matanya setengah terbuka. Di satu titik, ia terhenti. Sosok perempuan berdiri di depan pintu kamarnya—wajahnya samar di antara cahaya lampu dinding yang temaram.

“Shana?” Ethan bergumam, separuh sadar, separuh yakin.

Perempuan itu menoleh. Rambut panjang, tubuh ramping, mata yang nyaris sama—terlalu mirip.

Claira Monard berdiri kaku, mengenakan gaun malam sederhana berwarna krem. Dia baru saja kembali dari mencari udara segar setelah merasa sesak melihat semua orang di hotel berbicara tentang pernikahan kakaknya. Ia tidak tahu mengapa langkahnya membawanya ke lantai ini. Mungkin hanya ingin melihat… atau mungkin hati kecilnya membisikkan sesuatu.

Mata Claira sedikit membelalak saat melihat Ethan mendekat. “Ethan?” sapanya ragu.

Tapi Ethan sudah mendekat, senyum miring di wajahnya. “Kau datang juga, ya? Aku tadi nyari kamu. Aku... kangen.” Suaranya berat dan mabuk, matanya tidak fokus. “Aku... cinta kamu, Shana…”

Claira menahan napas. Ada jeda. Luka lama yang selama ini ia kubur dengan sikap dingin dan senyum sinis tiba-tiba mencuat ke permukaan. Ia ingin menyangkal, ingin mengingatkan bahwa ia bukan Shanaira, tapi hatinya membeku saat Ethan menyentuh pipinya dengan lembut, seperti menyentuh sesuatu yang ia sayangi dengan sepenuh jiwa.

“Selalu... selalu dari dulu, aku cuma ingin kamu bahagia…” Ethan berbisik.

Claira menahan napas. Itu bukan untuknya. Tapi hatinya retak karena ia tahu—ia juga ingin mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang dulu ingin ia curi tapi tak pernah ia minta.

“Ethan, aku—”

Tapi Ethan sudah terjatuh pelan ke pelukannya, mabuk dan lelah. Nafasnya berat tapi damai. “Kita... nikah besok, kan? Akhirnya...”

Claira berdiri kaku. Matanya mulai panas. Tangannya refleks menopang tubuh Ethan, dan untuk sesaat, ia berpura-pura.

Pura-pura menjadi sosok yang dicintai Ethan.

Pura-pura menjadi gadis yang dia sendiri pernah ejek dan tindas karena iri dan tidak ingin mengakui bahwa cinta masa kecil itu—seharusnya bisa jadi miliknya, kalau saja ia cukup berani sejak dulu.

Pintu kamar terbuka perlahan karena Ethan sempat membukanya dengan kartu yang tergantung di sakunya. Claira menarik nafas dalam-dalam, menuntunnya masuk ke dalam kamar, membaringkannya hati-hati di tempat tidur.

Terpopuler

Comments

Miu Nih.

Miu Nih.

Holla kak, aku mampir...

baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗

2025-05-01

0

范妮

范妮

ak mampir kak..
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh

2025-05-01

0

Miu Nih.

Miu Nih.

sip ini, semoga jadi cinta sejati /Determined//Determined/

2025-05-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!