Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HAMIL
Satu Bulan Kemudian
Alisha duduk di meja makan, mengenakan seragam kerja restoran yang sederhana. Hampir satu bulan ini, ia bekerja direstoran tempat bibi Martha bekerja. Dan setiap pagi, biasanya, ia akan mengobrol ringan dengan Bibi Martha sambil sarapan. Tapi pagi ini berbeda.
Gadis itu duduk diam, pucat, dan pandangannya kosong. Kelopak matanya sembab, dan tangannya gemetar halus saat hendak mengangkat sendok.
Bibi Martha, yang tengah menuang teh ke dalam cangkir, melirik dengan penuh tanya.
“Ada apa, Nak? Kau kelihatan lelah… Kau sakit?” tanyanya lembut, khawatir.
Alisha berusaha tersenyum kecil. “Tidak, Bi. Mungkin hanya kelelahan saja.”
Namun saat sendok itu nyaris menyentuh bibirnya, aroma masakan mendadak membuat perutnya bergolak. Matanya membelalak panik, dan tanpa sempat berkata apa-apa lagi, Alisha bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Suara muntah menggema samar dari balik pintu.
Bibi Martha sontak meletakkan teko teh. Ia mengikuti dan berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menunggu dengan wajah tegang.
Tak lama kemudian, Alisha keluar dengan wajah lebih pucat dari sebelumnya, bibirnya kering, dan matanya tampak kelelahan.
“Alisha, kau jelas tidak baik-baik saja,” ujar Bibi Martha tegas tapi penuh sayang. “Ayo kita ke dokter.”
Alisha menggeleng lemah. “Jangan, Bi… Aku harus bekerja. Hari ini jadwalku pagi, dan aku belum sempat lapor cuti.”
“Biar bibi yang telepon manager. Kesehatanmu lebih penting, Nak.”
Suara Martha tak bisa dibantah. Perempuan paruh baya itu sudah seperti ibu kandung sendiri bagi Alisha sejak sebulan terakhir.
Alisha diam sejenak, lalu mengangguk pelan. Sakit di kepalanya makin menjadi, dan perutnya tak henti bergolak. Jadi terpaksa ia menuruti ucapan bibi martha.
*
Kini mereka bedua duduk di ruang tunggu klinik. Alisha menunduk, menyandarkan kepalanya di bahu sang bibi, matanya mulai berat.
Perawat memanggil namanya, dan Alisha masuk ke ruang pemeriksaan dengan langkah pelan. Di dalam, seorang dokter wanita paruh baya menyambut dengan ramah.
Setelah serangkaian pertanyaan dan pemeriksaan fisik singkat, dokter itu menatap Alisha dengan sorot mata yang hangat tapi serius.
“Kita akan lakukan tes urin, Untuk memastikannya.”
“Memastikan… apa, Dok?” tanya Alisha ragu.
Dokter itu hanya tersenyum samar. “Kita lihat hasilnya dulu. Tunggu sebentar di luar."
Lima Belas Menit Kemudian
Alisha duduk di samping Martha yang mulai gelisah. Tak lama, namanya kembali dipanggil.
Saat ia kembali ke ruang dokter, perasaan aneh mulai merayapi hatinya. Perutnya seolah ditusuk-tusuk dari dalam. Bukan karena mual… tapi karena firasat buruk.
Dokter itu menatapnya dengan lembut, lalu membuka hasil di tangannya.
“Nona… Hasil tes menunjukkan bahwa kamu positif hamil.”
Dunia seakan berhenti berputar.
Alisha mematung. Otaknya berusaha menolak, tapi mulutnya tak mampu berkata apa-apa. Suara detak jam dinding di ruang itu terdengar amat nyaring di telinganya.
“Apa… Dokter yakin?” bisiknya.
“Tes urin ini cukup akurat. Tapi kalau kamu ingin memastikannya lebih jauh, kami bisa lakukan USG awal minggu depan.” ucap dokter.
Alisha tidak bisa menjawab. Kepalanya berdenyut. Jantungnya seperti dipukul ribuan palu kecil. Tangannya bergetar saat menyentuh perutnya yang masih rata.
Tidak mungkin...
Ia tahu ia tidak punya siapa-siapa… Tapi kini, kenyataan pahit itu terasa dua kali lebih berat. Bukan hanya ia sendirian di dunia ini—tapi sekarang, ada kehidupan lain di dalam tubuhnya.
Ketika ia kembali ke ruang tunggu, Martha langsung berdiri menghampiri.
“Bagaimana hasilnya, Nak?”
Alisha memandang Martha dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya gemetar saat akhirnya berkata, “Aku… hamil, Bi.”
Bibi Martha menahan napasnya. Terkejut.
Air mata Alisha tumpah, dan dalam hitungan detik, ia langsung dipeluk erat oleh wanita setengah baya itu.
“Sssttt… sudah… Kau tidak sendiri, Nak… Kau tidak sendiri…”
Setelah diberi vitamin oleh dokter dan diberi beberapa catatan penting untuk memantau kondisi kehamilannya, Bibi Martha membawa Alisha pulang. Wanita paruh baya itu tampak lebih diam dari biasanya, tapi sorot matanya terus memandangi Alisha dengan sayang.
*
Setibanya di rumah, Alisha langsung duduk di sofa dengan pandangan kosong. Tubuhnya masih terasa lemah, dan pikirannya bahkan jauh lebih kacau daripada sebelumnya.
Bibi Martha menatapnya dalam-dalam, lalu duduk di samping gadis itu. Ia menyelipkan helaian rambut Alisha ke belakang telinganya dan membelai kepala gadis itu dengan lembut.
“Istirahatlah di rumah. Tenang saja, Kita akan mengurus bayi itu bersama-sama. Kalau kau sudah siap, bibi akan mendengarkan semua ceritamu,” ucap Bibi Martha dengan suara yang mengandung ratusan kekhawatiran. “Sekarang bibi harus kerja dulu sebentar,”
Alisha hanya mengangguk pelan, matanya masih kosong. Ia ingin berbicara, ingin bercerita, tapi mulutnya seolah terkunci rapat oleh emosi yang tak bisa ia urai.