Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Dia Lagi
"Huh!" Nokiami mendesah kasar, ekor matanya melirik punggung Reygan yang berlalu.
"Semoga gak ketemu kurir itu lagi," gumamnya.
"Ah, ini!" Ketika matanya menangkap menu makanan di tangan, bibirnya mengulas senyuman manis.
"Akhirnya kamu bakal terisi juga," ucapnya seraya mengelus perut. Saking semangatnya dia langsung berdiri. Namun, kakinya kembali memberikan sinyal sakit.
"Aduh! Mau gerak aja susah bangat sih," keluhnya. Mau tidak mau Nokiami kembali merangkak di lantai. Bayangan dirinya dikaca terlihat seperti menghina di matanya.
"Apa? Senang lihat aku udah kayak suster ngesot begini, hah?!"
Dengan susah payah Nokiami kembali mencapai sofa. Ketika posisi duduknya sudah terasa lebih nyaman dia langsung menyantap menu makanannya dalam sekali waktu.
"Akhirnya!"
Ia tersenyum puas setelah bersendawa beberapa kali. Berhubung kakinya masih belum bisa digerakkan bebas, gadis itu memilih beristirahat di sofa hingga pagi berikutnya menjelang.
Seperti biasa perut Nokiami selalu merasa kelaparan di pagi hari, dan untuk beberapa hari ke depan meskipun dia bisa bebas makan apa saja tapi hanya bisa mengandalkan pesanan online.
"Hape mana hape?" Nokiami menemukan ponselnya tergeletak di sebelah dirinya. Dia meraih dan memesan Soto Betawi pada sebuah restoran. Setelah klik pesanan dia meninggalkan ponselnya begitu saja ke dalam kamar mandi hanya sekadar untuk cuci muka dan menyikat gigi. Walaupun demikian, kondisi pergerakannya yang tidak memungkinkan membuatnya menyelesaikan aktifitas apapun dalam waktu yang relatif lama.
Drttt Drttt!
Pintu apartemen terdengar diketuk dari luar disusul bunyi bel panjang. Suaranya yang keras menusuk gendang telinga, mengoyak keheningan apartemen yang baru sejenak Nokiami nikmati.
Jantung Nokiami yang tadinya berdetak dalam ritme normal kini melompat ke irama yang kacau. Tangannya yang bersandar di pintu refleks menegang.
"Leo? Tidak mungkin. Leo akan mendobrak, bukan membunyikan bel seolah sedang mengumumkan kiamat." Ia menggeleng, menepis tebakannya sendiri.
"Tapi bagaimana kalau memang Leo?" suara Nokiami bergetar. Pupil matanya mengecil. Dengan napas tertahan, ia menyeret tubuhnya yang tak berguna menjauh dari pintu, mencari perlindungan di balik sofa. Kakinya berdenyut hebat. Ia meraih ponselnya, menatap layar yang masih menampilkan status pesanan.
'Pengemudi telah tiba di lokasi.'
"Ini pasti kurir, tapi kurir macam apa yang membunyikan bel seperti petugas penagih utang yang sudah kehilangan kesabaran?"
DDRRTTT! DDRRTTT!
Lagi. Kali ini lebih lama, lebih menekan. Seolah jari si pemencet bel berniat membuat lubang di dinding.
“Iya, sebentar!” seru Nokiami, suaranya keluar lebih serak dan panik.
Mengabaikan protes dari pergelangan kakinya, ia merayap kembali ke pintu. Perjalanan lima meter yang terasa seperti melintasi neraka. Dengan tangan gemetar, ia menggapai kenop pintu dan mengintip dari lubang intip.
Di luar, berdiri seorang pria jangkung. Jaket hijaunya tampak sedikit kusam di bawah cahaya lampu koridor yang steril. Helm sudah terlepas, tersampir di lengannya, memperlihatkan rambut hitam berantakan dan rahang yang tegas. Tapi bukan itu yang menarik perhatian Nokiami. Melainkan ekspresinya. Wajah itu adalah sebuah mahakarya kejengkelan. Alisnya bertaut, bibirnya menipis menjadi satu garis lurus, dan matanya menatap pintu di hadapannya seolah itu adalah musuh bebuyutannya.
Nokiami menelan ludah. Ini bukan ksatria berbaju hijau yang ia bayangkan. Ini adalah algojo yang terpaksa mengantar makanan terakhir seorang terpidana.
"Bukannya dia kurir yang kemarin?" Nokiami menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Wajah kurir kemarin tidak jelas tapi nama di aplikasi adalah orang yang sama.
Dengan sisa keberanian, ia memutar kunci dan membuka pintu, hanya selebar celah yang memungkinkan mereka berkomunikasi. Aroma soto betawi yang gurih dan kentang goreng yang hangat langsung menyeruak masuk, membuat perutnya bergejolak hebat. Sayangnya kaki Nokiami kembali tergelincir membuat bayangan akan kenikmatan makanan yang baru dipesannya itu buyar seketika.
"Aduh!" Ia meringis kesakitan.
“Pesanan atas nama Nokiami?” tanya pria itu, suaranya datar dan dingin, tanpa basa-basi. Nokiami berharap dalam hati pria itu melupakan pertemuannya kemarin karena banyaknya pelanggan.
“Iya, saya,” jawab Nokiami, mencoba tersenyum ramah meski separuh tubuhnya sedang berteriak kesakitan. “Mas, maaf banget, bisa tolong antarkan masuk? Saya ....”
“Nggak bisa.”
Jawaban itu begitu cepat dan tajam memotong kalimat Nokiami tanpa ampun.
Nokia mengerjap. “Hah? Kenapa?”
“Aturan perusahaan. Pengantaran hanya sampai titik lobi atau depan pintu gedung apartemen. Saya udah baik nungguin lift sampai ke lantai Mbak,” jelasnya, nadanya menyiratkan bahwa ia telah melakukan sebuah pengorbanan besar. Ia menunjuk kantong plastik di tangannya. “Ini pesanannya.”
Pria itu tidak menyodorkan, hanya memegangnya, seolah itu adalah barang bukti dalam sebuah kasus kriminal yang tidak boleh jatuh ke tangan siapapun sebelum polisi memutuskan.
“Tapi … tapi saya nggak bisa jalan, Mas,” Nokiami memelas, rasa putus asa mulai menjalari suaranya. Ia sedikit menggeser pintu, memperlihatkan pergelangan kakinya yang bengkak dan membiru. “Lihat? Kaki saya keseleo parah. Saya nggak mungkin turun ke lobi, jangankan ke lobi, buat berdiri aja susah.”
Mata pria itu melirik sekilas ke arah kakinya, lalu kembali menatap wajah Nokia. Tidak ada setitik pun simpati di sana. Hanya ada aura dingin. “Itu bukan urusan saya, Mbak. Aturan tetap aturan. Kalau saya masuk, terus ada apa-apa, atau ada komplain dari penghuni lain, yang kena penalti saya.”
“Nggak akan ada yang komplain! Ini cuma selangkah dari pintu, kok! Saya janji,” bujuk Nokiami. Aroma soto itu semakin menyiksanya. “Saya kasih tip tambahan, deh. Lima puluh ribu?”
Pria itu mendengus sinis, sebuah suara kecil yang penuh dengan penghinaan. “Saya nggak butuh tip Mbak. Saya cuma butuh selesaikan orderan ini dan lanjut ke orderan berikutnya. Waktu saya berharga.”
Kesabaran Nokiami yang sudah setipis kertas tisu akhirnya robek. Rasa sakit, lapar, dan panik bercampur menjadi amarah. “Jadi maksud Mas, saya harus merangkak ke depan pintu gitu buat ambil makanan yang udah saya bayar?”
“Terserah Mbak mau gimana caranya. Yang penting transaksi selesai di luar unit,” jawabnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada suara Nokiami yang meninggi.
“Gila, ya? Nggak punya hati banget jadi orang!” sembur Nokiami.
“Oke! Kalau gitu batalin aja pesanannya! Bawa lagi aja itu makanan! Saya nggak mau!”
Ini adalah gertakan putus asa. Nokiami tahu ia lebih membutuhkan makanan itu daripada harga dirinya. Tapi pria di hadapannya ini telah menyulut sumbu pendeknya.
Reygan menatapnya lekat, matanya menyipit. Untuk sesaat, Nokiami mengira gertakannya berhasil, seperti kemarin. Namun kemudian, sebuah senyum miring yang lebih mirip seringai terbit di bibir pria itu.
“Silakan. Mbak tinggal klik tombol ‘Batalkan Pesanan’ di aplikasi. Nanti saldonya memang kembali, tapi akun Mbak yang akan ditandai karena membatalkan saat pengemudi sudah di lokasi. Tiga kali begitu, akun Mbak di-suspend permanen," katanya dengan tenang.