Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9 Sakit
Reno melajukan mobilnya, sambil sesekali menatap livia yang sudah separuh kuyup.
“Kenapa nggak ngabarin gue kalau lo belum dapet taksi?” omel Reno begitu livia duduk. “Gue tuh udah feeling dari tadi, hujan begini lo pasti—”
“Udah dong ngomelnya, Ren. Gue capek,” potong livia, suaranya datar, lebih kesal dari biasanya.
Reno langsung terdiam beberapa detik, memandangnya dari samping. “Lo kenapa? Berantem sama siapa lagi?” nada suaranya melembut, tapi tetap khawatir.
“Nggak ada...berantem ? Lo pikir gue tukang ribut,” jawab livia cepat, sambil menyibak rambut basah yang menempel di pipinya. Ia menatap jendela, menolak kontak mata.
Reno menghela napas panjang. “Livia… Lo kalau ada apa-apa, bilang dong. Jangan dipendem. Gue bukan cenayang.”
“Gue cuma capek, Ren. Banyak kerjaan,” elaknya lagi, meski perutnya terasa mengikat ketika mengingat kejadian dengan istri Narendra tadi.
Reno sedikit menyipitkan matanya, ia jelas tahu livia sedang berbohong, tapi memilih untuk tidak memaksa. “Yaudah. Tapi jangan gitu nada lo. Gue cuma khawatir.”
Livia menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang sebenarnya berasal dari tempat lain. “Sorry… gue lagi bad mood.”
“Ya gue tau,” gumam Reno, menyalakan heater mobil agar livia tidak kedinginan. “Udah basah-basah hujan begini, kalau lo sakit gimana? gue ama Daffi juga ntar yang repot kan ?”
Ucapan itu tidak lucu, tapi entah kenapa membuat livia sedikit melunak.
Ia menatap tangan Reno yang sedang mengatur AC dengan teliti… hangat, stabil, penuh perhatian. Sesuatu yang tidak ia dapat hari ini.
“Ren…” panggil livia pelan, tapi ia tidak melanjutkan.
“Hm?”
“Thanks.”
Reno tersenyum kecil, tanpa melihatnya. “Selalu.”
Mobil pun melaju menembus hujan lebat, tapi di dalam kabin, perlahan-lahan emosi livia mulai mereda, meski ia tetap menyimpan satu hal dari Reno: nama Narendra dan istrinya tidak akan ia sebutkan… setidaknya belum hari ini.
Begitu tiba di unit apartemennya, livia langsung melepas heelsnya dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Tanpa menyalakan lampu lain, ia hanya menyalakan lampu kuning redup di dalam kamar mandi, lalu berdiri di bawah shower.
Air hangat mengalir deras, membasahi rambut dan pundaknya, membuat dingin yang tadi menusuk tubuhnya perlahan menghilang.
Tapi bukan hanya dingin yang ia coba hilangkan…
Di balik uap hangat, livia memejamkan mata rapat-rapat. Ingatan tentang kejadian demi kejadian yang terjadi beberapa hari ini, dimas yang kembali melukai fisiknya, dan Narendra yang tiba-tiba ada di sekitarnya, semuanya begitu melelahkan bagi Livia.
Setetes air, entah dari shower atau dari matanya, jatuh ke pipi.
“Kenapa sih gue harus mikirin ini semua…” gumamnya pelan.
Ia membiarkan air mengalir lebih lama, seolah berharap semua kekesalan, semua hal yang menggantung di dadanya, ikut turun bersama air itu.
Selesai mandi, livia melilitkan handuk putih di tubuhnya lalu berjalan pelan keluar dari kamar mandi. Uap hangat masih mengikuti langkahnya hingga ia berdiri di depan cermin besar yang menempel di lemari pakaian.
Ia berhenti.
Punggungnya memantul di permukaan kaca itu, kulit lembut yang kini hampir dipenuhi gambar bunga mawar mewar
Tato bunga mawar di bahu, dipunggung, dilengan bahkan di pahanya… semua bertebaran hampir menutupi kulit putihnya.
Livia menghela napas, ujung jarinya menyusuri salah satu gambar.
Dulu… setiap memar yang dimas tinggalkan di tubuhnya, ia tandai dengan tato itu.
“Bunga mawar itu akan tetap mekar, meski sering disakiti,” katanya dulu pada Reno dan Daffi, sebagai alasan yang terdengar lucu sekaligus getir.
Tinta itu adalah jejak tanda bertahan hidup.
Jejak bahwa ia pernah disakiti, tapi tidak pernah benar-benar kalah.
Namun hari ini… entah kenapa luka memar di lengannya yang baru saja dipoles obat oleh Narendra terasa berbeda. Rasanya seperti membuka pintu masa lalu yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
“Sepertinya akan ada gambar baru yang terakhir kalinya...gue harap sih begitu...” bisiknya, seolah meyakinkan diri sendiri.
Ia memakai lotion, lalu mengambil pakaian tidur longgar untuk menutupi tato-tatonya. Livia jarang memperlihatkannya pada siapa pun, kecuali Reno dan Daffi yang tau.
...🥂...
Keesokan paginya, alarm ponsel berdenting tiga kali sebelum akhirnya Livia berhasil meraihnya dan mematikan suara itu. Kelopak matanya berat, napasnya terasa panas, dan kepalanya berdenyut seperti dipukul dari dalam.
Begitu ia mencoba bangun, tubuhnya langsung limbung.
“Aduh…” ia mendesah pelan, memegangi dahinya.
Panas.
Tenggorokan perih.
Seluruh badannya ngilu.
Hujan semalam… pasti penyebabnya.
Dengan sisa tenaga, Livia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Layarnya buram sesaat sebelum fokus kembali. Ia membuka kontak kantor dan menekan nomor Pak Burhan.
Beberapa detik kemudian panggilan diangkat.
“Halo, Pak Burhan….” Suaranya serak dan lemah.
“Loh, Livia? Ada apa ? Suaramu kok… kurang enak ya?”
“Saya… demam, Pak. Kayaknya cukup tinggi. Saya izin nggak masuk dulu hari ini.”
Burhan langsung terdengar panik namun hangat seperti biasanya.
“Oh, iya, iya. Istirahat saja, Liv. Nggak usah dipaksa masuk. Nanti saya sampaikan ke Pak Narendra.”
Livia spontan menutup mata, meresapi nama itu.
Ia tidak berniat berurusan lagi hari ini dengan atasannya yang penuh teka-teki dan istrinya yang meledak-ledak.
“Terima kasih, Pak.”
“Kalau butuh apapun, kabari saya. Jangan segan.”
“Iya, Pak.”
Telepon ditutup.
Livia menjatuhkan ponselnya di samping bantal, lalu menarik selimut sampai ke dagunya. Tubuhnya menggigil meski ruangan tidak terlalu dingin. Di sela kantuk berat yang mulai menariknya kembali, ia sempat bergumam lirih:
“Seharian ini… jangan ada yang ribut, please…”
Livia menggeliat pelan, mencoba meraih ponselnya lagi ketika rasa pusing sedikit mereda. Ia ingin menghubungi Reno atau Dafi, setidaknya ada seseorang yang bisa membawakan obat atau makanan hangat. Dua sahabatnya itu selalu jadi tempat ia bergantung diam-diam.
Tapi saat membuka WhatsApp, ia menemukan satu pesan yang terkirim sejak pukul 04.12 dini hari, dari Reno.
Reno:
Liv, gue sama Dafi ke luar kota dulu ya. Ada project baru. Sinyal kayaknya bakal jelek, karena daerahnya lumayan pelosok, tapi kalo urgent banget chat aja. Nanti gue cek pas sempet.
Pesan itu membuat Livia terdiam beberapa detik.
“…serius? mereka pergi sepagi ini…” gumamnya, napasnya terseret karena hidung tersumbat.
Ia ingin membalas, tapi jarinya ragu menyentuh keyboard. Bukan karena ia tidak ingin mengabari, tapi karena ia tahu Reno pasti akan panik. Dan ia sedang tidak punya energi untuk menghadapi ceramah panjang khas Reno. Dan Livia tidak ingin mengganggu pekerjaan mereka.
Akhirnya ia hanya menatap layar, lalu memadamkannya tanpa mengirimkan satu huruf pun.
Kesunyian apartemen membuat demamnya terasa lebih berat. Livia meringkuk di tempat tidur lagi, menarik selimut lebih erat.
“Sendirian lagi…”
Suara itu hampir tidak terdengar, seperti bisikan lelah yang ia tujukan pada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, batuk kecil menyusul. Kepala semakin berat.
...🥂...
Narendra baru saja membuka laptopnya ketika suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu.
“Masuk,” ucapnya sambil merapikan berkas.
Pak Burhan masuk sambil membawa map tebal di tangannya, wajahnya seperti biasa, ramah dan sedikit lelah oleh padatnya pekerjaan. Ia meletakkan map itu di meja Narendra.
“Ini laporan yang Bapak minta kemarin sore, sudah saya revisi,” katanya.
Narendra mengangguk, membuka halaman pertama. “Baik. Terima kasih, Pak Burhan.”
Burhan berdiri sebentar, seolah ingin mengatakan sesuatu.
Narendra yang peka langsung menatapnya.
“Ada lagi?”
Burhan menarik napas kecil. “Iya, Pak. Saya mau beri informasi tambahan. Tadi pagi, salah satu staf administrasi… Livia… menghubungi saya. Dia izin sakit, jadi mungkin laporan mingguan yang sedang dikerjakan Livia akan sedikit lama selesainya Pak.”
Narendra, yang tadi duduk santai, tiba-tiba menghentikan gerakan jarinya. “Sakit?”
Burhan mengangguk. “Suara dia terdengar lemah. Sepertinya cukup parah. Dia jarang izin, jadi saya pikir memang kondisinya sedang tidak baik.”
Narendra menyandarkan punggung, rahangnya sedikit mengeras, reaksi yang tidak ingin ia tunjukkan terlalu jelas.
“Dia sendirian di rumah?” tanyanya tanpa sadar.
Burhan menatap bingung sesaat. “Sejauh yang saya tahu… iya. Livia tinggal sendiri.”
Hening.
Narendra memejamkan mata sejenak, mengingat tatapan kosong gadis itu di tengah hujan kemarin, dan luka memar di pergelangan tangannya malam itu.
Ia membuka mata, suaranya terdengar lebih rendah, nyaris tak terkontrol.
“Pak Burhan… boleh saya tahu alamatnya?”
Burhan mengerjap. “Alamat? Livia?”
Narendra buru-buru menutup ekspresinya, mencoba terdengar profesional.
“Saya hanya ingin mengirimkan parcel buah atau makanan lainnya jika ada karyawan yang memang sedang sakit Pak, Saya butuh datanya, biar Asisten saya yang mengirimkannya.”
Burhan tidak curiga. “Oh, begitu. Baik, Pak. Ada di file data staf. Saya kirim sekarang via email.”
Narendra hanya mengangguk, tapi matanya sudah menunjukkan sesuatu yang berbeda, sebuah niat untuk pergi ke tempat yang seharusnya tidak ia datangi.
Tak lama setelah Burhan keluar, Narendra membuka emailnya.
Alamat itu terpampang jelas.
Tanpa pikir panjang, Narendra sudah berdiri, mengambil kunci mobilnya.
Ia bahkan lupa menutup laptop.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏