NovelToon NovelToon
Dunia Yang Indah

Dunia Yang Indah

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Kebangkitan pecundang / Spiritual / Persahabatan / Budidaya dan Peningkatan / Mengubah Takdir
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: YUKARO

Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jahitan, Janji, dan Persimpangan!

Dengan jantung yang masih berdegup kencang bagai genderang perang yang berdetak di telinganya sendiri, Shanmu melesat menyusuri lorong-lorong gelap dan berliku Kota Lama. Ia bergerak dengan kecepatan yang ia harap hanya secepat bayangan, tetapi sudah melampaui lari manusia biasa, sebuah insting yang didapatnya dari tempaan hidup dan pelajaran sesaat dari Lanxi. Setiap bayangan yang bergoyang, setiap desiran daun yang tertiup angin, membuat otot-ototnya menegang, siap melompat atau menghindar. Namun, tidak ada pengejaran. Hanya desiran angin malam yang dingin dan kadang-kadang lolongan anjing liar dari kejauhan. Kecepatannya perlahan berkurang saat bangunan-bangunan yang familiar mulai bermunculan, dan akhirnya, Penginapan Bintang Senja yang ramah dengan lampu kuningnya terpampang di depan mata, sebuah mercusuar yang menjanjikan ketenangan.

Ia melambat, menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan untuk menenangkan kekacauan Qi-less di dalam dadanya. Ia mendorong pintu kayu dengan hati-hati. Bunyi bel kecil yang familiar menyambutnya, menciptakan kontras yang aneh dengan kekacauan kekerasan yang baru saja ia tinggalkan. Udara hangat penginapan, beraroma kayu bakar dan makanan hangat, langsung menyelimutinya, menenangkan sarafnya yang masih tegang.

Di belakang konter, Paman Gong, dengan wajahnya yang bijak dan penuh kerutan, sedang menghitung beberapa koin perak dengan teliti. Kepalanya menoleh saat mendengar pintu terbuka, dan wajahnya langsung merekah senyum hangat begitu ia mengenali Shanmu.

"Shanmu! Pulang larut sekali malam ini. Tapi syukurlah kau baik-baik saja," sambut Paman Gong, meletakkan koin-koin itu. "Ayo, Nak. Makan malam bersamaku. Koki Zhao menyiapkan sup ayam yang hangat dan nasi kukus baru. Perutmu pasti kosong setelah seharian bekerja."

Rasa hangat dan rasa aman yang begitu kuat dari tawaran itu hampir saja membuat Shanmu mengangguk patuh. Perutnya memang keroncongan setelah seharian penuh aktivitas dan tekanan emosional. Namun, pikirannya tertuju pada sesuatu yang lain, sebuah janji pada dirinya sendiri. Ia menggeleng pelan, dengan ekspresi malu-malu yang khas.

"Terima kasih, Paman. Tapi... bolehkah aku menolak untuk sebentar? Aku... aku ingin menjahit celanaku yang robek dulu. Pakaian biru pemberian Paman," ucap Shanmu, suaranya rendah penuh rasa hormat. Ia memikirkan insiden kecil tadi, dan betapa pentingnya pakaian yang layak untuk menghindari kecurigaan.

Paman Gong mengerutkan kening, lalu matanya menangkap celana hijau Shanmu yang masih utuh. Ia baru teringat, celana biru itu memang robek parah kemarin. Hati tua itu tersentuh melihat Shanmu begitu menghargai pemberiannya, meski itu hanya pakaian bekas. "Ah, celana itu. Tentu saja, Nak. Kau tidak perlu terburu-buru. Tapi kalau kau ingin, ada penjahit yang bagus tidak jauh dari sini. Namanya Nenek Yi, tokonya di ujung lorong samping kiri, dekat pohon beringin tua. Dia jahitannya rapi dan harganya jujur."

Wajah Shanmu langsung bersinar, seolah mendapatkan harta karun. "Benarkah? Terima kasih, Paman!" Ia membungkuk cepat, lalu bergegas menuju kamarnya di lantai satu, ujung lorong. Setelah sampai, ia memasuki kamar mewahnya itu, di mana ia menyimpan pakaian biru yang robek dan berlumuran darah kemarin. Dengan hati-hati ia melipatnya, lalu membawanya keluar.

Paman Gong, yang melihat semangat Shanmu, tersenyum dan meletakkan pekerjaan hitung-hitungannya. "Tunggu, biar Paman mengantarmu. Malam begini, lorongnya gelap. Lagipula, aku ingin memperkenalkanmu pada Nenek Yi, biar harganya tidak dimahalkan."

Shanmu mengangguk penuh syukur. Mereka pun berjalan keluar penginapan, menyusuri lorong samping yang sepi dan hanya diterangi oleh sinar bulan yang tembus dari celah-celah atap rumah. Suara jangkrik menjadi pengiring setia langkah mereka. Toko Nenek Yi adalah sebuah rumah petak kecil dengan teras terbuka, di mana sebuah lampu minyak masih menyala terang, menerangi seorang wanita tua berambut putih yang sedang duduk di atas bangku pendek, menjahit sebuah kain dengan tangan yang stabil meski berkerut.

Setelah Paman Gong memperkenalkan Shanmu dan menjelaskan keinginannya, dan menjelaskan sedikit tentang insiden penusukan paha Shanmu, Nenek Yi menganggak dengan ramah. Ia mengambil celana biru itu, memeriksa sobekan panjang dan tidak beraturan dengan mata yang tajam. "Luka tusuk, ya? Dalam sekali. Tapi tidak apa, Nenek bisa perbaiki dengan jahitan khusus, biar kuat lagi. Untuk bocah baik seperti ini, Nenek kasih harga satu koin emas saja."

Shanmu terkejut, kali ini bukan karena takut, melainkan karena kebaikan hati yang tak terduga. Satu koin emas? Ia sudah membayangkan tiga, empat, atau bahkan lima koin emas untuk memperbaiki kerusakan sebesar ini, apalagi di lingkungan Sekte. Rasa lega dan kebahagiaan yang tulus memancar dari wajahnya. "Benarkah, Nenek? Hanya satu koin emas? Terima kasih! Terima kasih banyak!" Ia segera mengeluarkan sekeping emas dari kantongnya dan menyerahkannya dengan kedua tangan, sebuah sikap hormat yang menyentuh hati.

Nenek Yi menerimanya sambil tersenyum, tetapi matanya yang berpengalaman memandang Shanmu dengan pandangan yang sedikit lebih lama, seolah-olah melihat sesuatu yang menarik di balik tubuhnya yang sehat. "Kau anak yang kuat. Jahitan nenek akan cocok untukmu," gumamnya pelan, lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

Shanmu dan Paman Gong menunggu dengan sabar. Dalam waktu sekitar setengah jam, dengan keahlian yang luar biasa dan kecepatan yang hanya bisa dimiliki oleh pengrajin yang telah menyempurnakan keahliannya, Nenek Yi telah menyelesaikan pekerjaannya. Jahitannya begitu rapi dan kuat, hampir tidak terlihat kecuali dari dekat. Warna benangnya juga dipilih yang cocok, sehingga celana itu terlihat hampir seperti baru lagi.

Shanmu menerima celana itu dengan perasaan haru yang mendalam. Ia membungkuk dalam. "Terima kasih, Nenek Yi. Aku akan menjaganya dengan baik."

Mereka pun kembali ke penginapan. Jam telah menunjukkan sekitar pukul delapan malam. Koki Zhao, yang mendengar mereka kembali, segera menyiapkan makan malam. Malam itu, meski sederhana, terasa istimewa bagi Shanmu. Ada rasa pencapaian karena telah memperbaiki pakaian pemberian, ada rasa syukur pada kebaikan Paman Gong dan Nenek Yi, dan ada juga kelegaan samar karena insiden di gerbang sekte sepertinya belum membawa akibat dan berita buruk. Mereka makan bersama, bercerita tentang hari mereka, dengan Shanmu tentu saja hanya menceritakan hal-hal biasa tentang menyapu dan latihan di hutan, tanpa menyentuh insiden kekerasan.

Setelah makan malam, Shanmu pamitan untuk mandi. Ia pergi ke kamar mandi pribadi kamar barunya, sebuah kemewahan yang masih membuatnya takjub. Air dingin menyegarkan tubuhnya yang lelah dan sedikit mengusir bayangan pukulan terkendali tadi. Setelah bersih, dengan hati-hati ia mengenakan celana biru yang baru dijahit itu, merasakan kain yang sudah kembali utuh. Ia berbaring di atas ranjang mewah yang empuk, memandang langit-langit yang diterangi cahaya lampu minyak. Dalam keheningan malam, tekadnya mengeras. Ia harus lebih berhati-hati. Ia harus mengendalikan kekuatannya. Dan ia harus terus belajar dari Lanxi. Dengan pikiran-pikiran itu, ia pun tertidur, lelap tanpa mimpi buruk, sebuah tidur yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang murni hatinya dan lelah raganya.

Keesokan harinya, seperti jam biologisnya yang tak pernah salah, mata Shanmu terbuka persis pada pukul lima pagi. Langit di luar jendela masih gelap kelam, hanya diselingi warna ungu kebiruan di ufuk timur. Ia segera membasuh mukanya dengan air dingin, merasakan kesegaran yang mengusir sisa kantuk. Setelah itu, dengan langkah tenang, ia keluar kamar dan menuju konter utama.

Tempat itu masih sepi dan gelap. Shanmu memilih untuk berdiri menunggu dengan sabar di sebelah konter, tangan disatukan di depan, seperti yang biasanya ia lakukan setiap pagi, sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedisiplinan diri yang tinggi.

Tiga puluh menit kemudian, suara gerakan terdengar dari ruangan di belakang konter. Paman Gong muncul, membawa nampan berisi teko teh dan dua mangkuk bubur hangat. Begitu melihat Shanmu sudah berdiri di sana, senyum hangat langsung menghias wajah tuanya. "Sudah bangun, Nak? Mari, sarapan di ruanganku."

Mereka pun sarapan bersama dalam keheningan yang nyaman. Setelah selesai dan Shanmu mengucapkan terima kasih, ia berpamitan untuk pergi bekerja. Hari itu, ia berjalan sendiri menuju Sekte Langit Biru, langkahnya mantap dan penuh semangat, mengenakan celana biru yang sudah diperbaiki.

Sesampainya di gerbang megah sekte, Tuan Yao sudah menunggu di sana. Wajahnya tampak cerah, jauh dari kecemasan dan keheranan kemarin. "Shanmu! Tepat waktu seperti biasa. Ayo, kita mulai hari ini dengan semangat baru!"

Mereka berdua masuk, mengambil perlengkapan dari gudang, dan mulai bekerja. Shanmu hari ini berusaha keras untuk mengendalikan kecepatannya, menyapu dengan ritme yang lebih manusiawi—tidak lagi seperti badai—meski efisiensinya tetap membuat Tuan Yao menggeleng-geleng kagum. Pekerjaan hari itu berjalan lancar, tanpa gangguan dari para murid. Leng Zuan dan anak buahnya tidak terlihat di mana pun, sebuah keanehan yang membuat suasana terasa damai, meski Shanmu sedikit curiga.

Jam sepuluh pagi, setelah seluruh area selesai disapu dengan bersih menyilaukan, mereka berdua menuju ruang administrasi untuk mengambil upah. Diaken He, pria berkumis tipis dengan wajah masam itu, sudah duduk di belakang mejanya. Melihat mereka masuk, terutama Shanmu, matanya menyipit sedikit, namun tidak ada kemarahan terbuka seperti hari taruhan. Rupanya, kekalahan memalukan dan harus membayar mahal itu telah membuatnya sedikit lebih berhati-hati dan waspada.

Dengan gerakan enggan, ia menghitung dua puluh koin emas, sepuluh untuk masing-masing, dan meletakkannya di atas meja. "Ini upah kalian. Jangan sampai besok pekerjaannya berkurang kualitasnya," gumamnya, suaranya datar.

"Tidak akan, Diaken He. Terima kasih," jawab Tuan Yao dengan sopan sambil mengambil koinnya. Shanmu mengikuti, membungkuk dalam sebelum mengambil koin-koin yang berkilau itu. "Terima kasih banyak, Tuan Diaken."

Mereka berdua kemudian keluar dari ruangan. Saat tiba di halaman depan dekat gerbang, sebuah pemandangan yang mulai tidak asing lagi menyambut mereka. Lanxi, dengan gaun biru langitnya yang diterpa angin berjalan mendekat. Langkahnya tenang, memancarkan aura ketenangan dan kewibawaan alami yang membuat beberapa murid yang berlalu lalang langsung memberi jalan dan menunduk hormat.

Tuan Yao, yang melihat kedatangannya, segera bereaksi. Tubuhnya membungkuk dalam, hampir menyentuh sembilan puluh derajat, dengan ekspresi penuh hormat dan sedikit gentar, menyadari status kultivator wanita itu. "Salam, Nona Lanxi."

Lanxi hanya mengangguk singkat, lalu pandangannya yang indah tertuju pada Shanmu. "Shanmu. Ada baiknya kau di sini. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat nanti."

Shanmu, yang sedikit terkejut, mengernyitkan dahinya yang polos. "Ke suatu tempat? Kemana, Lanxi?"

Sebuah senyum misterius, seperti yang sering ia lakukan, menghiasi bibir Lanxi. Senyum yang penuh rahasia dan daya tarik. "Nanti kau akan tahu. Jemput aku di sini, jam satu siang tepat. Jangan terlambat." Ucapannya mengandung nada perintah yang lembut namun tak terbantahkan, sebuah kebiasaan kultivator ketika berhadapan dengan orang biasa.

Shanmu, meski penasaran seperti anak kecil, mengangguk patuh. "Baik, Lanxi. Aku akan datang tepat waktu."

Setelah mengucapkan itu, Lanxi memberi isyarat permisi pada Tuan Yao yang masih membungkuk, lalu berbalik dan berjalan kembali masuk ke dalam kompleks sekte, meninggalkan aroma bunga halus dan sekumpulan tanda tanya.

Begitu sosoknya menghilang, Tuan Yao baru berdiri tegak. Ia mengusap keringat dingin yang tanpa disadari telah membasahi dahinya. Matanya memandang Shanmu dengan kekaguman yang semakin dalam, bercampur dengan rasa heran yang tak habis-habisnya. "Dia... Nona Lanxi benar-benar... Kau sangat beruntung, Shanmu. Jangan sia-siakan perhatiannya," Ucapannya terdengar seperti gumaman nasihat yang tulus.

Shanmu hanya membalas dengan senyuman tercerahnya.

Mereka berdua kemudian meninggalkan sekte. Di jalanan Kota Lama yang mulai ramai oleh aktivitas siang, Tuan Yao berpamitan. "Aku harus menemui seseorang di pasar barat. Kau bisa pulang sendiri, 'kan?"

"Tentu, Tuan Yao. Hati-hati di jalan," jawab Shanmu sambil membungkuk.

Shanmu kemudian berjalan sendirian menyusuri jalanan. Pikirannya dipenuhi oleh janji dengan Lanxi nanti siang. Ke mana mereka akan pergi? Apa yang akan mereka lakukan? Latihan lagi? Atau sesuatu yang lain? Antusiasme dan rasa penasaran membuat langkahnya terasa lebih ringan.

Sesampainya di Penginapan Bintang Senja, ia menyapa Paman Gong yang sedang melayani seorang tamu. Setelah tamu itu pergi, Shanmu pamitan untuk beristirahat sebentar di kamarnya sebelum makan siang. Ia naik ke ranjang mewahnya, berbaring sejenak di atas ranjang empuk, merenungkan hari ini dan mengharapkan siang nanti.

Jam dua belas siang, lonceng kota berbunyi menandakan tengah hari. Shanmu turun ke dapur untuk makan siang. Koki Zhao sudah menyiapkan nasi panas, sayur tumis, dan semangkuk sup bening dengan potongan ayam. "Ini bekal makan siangmu, Nak. Habiskan dengan baik."

"Terima kasih, Paman Zhao." Shanmu duduk dan mulai makan. Di tengah-tengah makan, ia bertanya, "Paman Zhao, di mana Paman Gong? Biasanya beliau di sini pada jam makan siang."

Koki Zhao, yang sedang membersihkan perkakas, mengangguk. "Tuan Gong mendapat pesan mendadak dari teman lamanya di wilayah timur kota. Katanya ada urusan penting yang perlu dibicarakan. Jadi beliau berangkat tadi pagi setelah kau pergi kerja. Mungkin baru pulang nanti sore atau malam."

Shanmu mengangguk memahami. Setelah menghabiskan makanannya dan mengembalikan piring yang bersih, ia mengucapkan terima kasih lagi dan berangkat menuju Sekte Langit Biru untuk menepati janjinya dengan Lanxi.

Perjalanan siang itu ia lakukan dengan santai, menikmati pemandangan kota, mengamati orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Saat tiba di gerbang sekte, tepat pada waktunya, ia melihat Lanxi sudah berdiri di sana. Namun, yang menarik, Lanxi juga tampak baru saja tiba, napasnya masih sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah-olah ia juga bergegas.

Melihat Shanmu, sebuah senyum kecil yang licik muncul di bibir Lanxi. "Tepat waktu, seperti yang kuduga. Kau selalu datang lebih awal, jadi aku sengaja mengatakan jam satu, padahal maksudku sekitar waktu ini."

Shanmu menggaruk-garuk kepalanya, tersenyum malu. "Aku tidak ingin membuat Lanxi menunggu."

"Baiklah," ucap Lanxi, matanya berbinar dengan cahaya petualangan. "Sekarang, ikutlah aku."

"Tapi, kita akan pergi ke mana, Lanxi?" tanya Shanmu lagi, rasa penasarannya tak tertahankan.

Lanxi hanya membalas dengan senyuman misterius yang sama, senyuman yang ia tahu takkan bisa ditolak oleh Shanmu. "Nanti kau akan tahu. Percayalah padaku. Aku tidak akan membawamu ke tempat yang berbahaya."

Meski penasaran setengah mati, Shanmu menahan diri. Ia mempercayai Lanxi. Ia mengangguk, lalu mengikuti langkah anggun wanita di depannya, meninggalkan gerbang sekte dan memasuki jalan yang membawa mereka semakin jauh dari keramaian kota, menuju ke arah yang tidak ia kenal. Sebuah petualangan baru, yang penuh dengan rahasia dan kemungkinan, telah dimulai. Di dalam hatinya, Shanmu merasa, kehidupan barunya di Kota Lama, yang awalnya hanya tentang bertahan hidup dan menyapu, kini perlahan-lahan mulai dipenuhi oleh warna-warna baru, persahabatan, pembelajaran, dan petualangan yang tak terduga.

1
YAKARO
iya bro🙏
Futon Qiu
Mantap thor. Akhirnya Shanmu punya akar spritual
Futon Qiu
Karena ada komedi nya kukasi bintang 5🙏💦
YAKARO: terimakasih🙏
total 1 replies
Futon Qiu
Lah ya pasti lanxi kok nanya kamu nih🤣
Futon Qiu
Jangan jangan itu ortunya 🙄
HUOKIO
Baik bnget si lancip😍😍
HUOKIO
Mau kemana tuh
HUOKIO
Ini penjaga kocak 🤣🤣
HUOKIO
Angkat barbel alam 🗿
HUOKIO
Makin lama makin seru 💪💪💪
HUOKIO
Gass terus thor💪💪💪
HUOKIO
Mantap thor lanjut
YAKARO: terimakasih
total 1 replies
HUOKIO
Lanjutkan ceritanya thor
HUOKIO
Shanmu kuat banget untuk manusia 😄
HUOKIO
Ohhh i see💪
HUOKIO
Oalah kok gitu 😡
HUOKIO
Mantap thor
HUOKIO
Gas pacari lqci
HUOKIO
Makin lama makin seru
HUOKIO
Lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!