"Aku tidak butuh uangmu, Pak. Aku hanya butuh tanggung jawabmu sebagai ayah dari bayi yang aku kandung!" tekan wanita itu dengan buliran air mata jatuh di kedua pipinya.
"Maaf, aku tidak bisa!" Lelaki itu tak kalah tegas dengan pendiriannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki pecundang
"Tolong ambilkan ponselku," titah Sofia pada Axel.
Axel tercengang mendengar perintah wanita hamil itu. Berani sekali memerintah dirinya. Ini perempuan benar-benar nggak tahu diri sekali.
"Nggak akan jatuh harga diri kamu hanya karena ambilin ponsel aku," ucap Sofia menatap malas.
"Kamu berani merintah aku?" ujar Axel menatap tidak percaya.
"Kenapa tidak berani? Bapak saja berani melakukan pem...."
"Diamlah, Sofia!" potong Axel membuat ucapan Sofia terhenti.
Axel menatap kesal seraya meraih ponsel di atas nakas, lalu melemparkan di atas ranjang tepat di hadapan Sofia.
"Bik, keluarlah. Aku mau bicara dengannya!" titah lelaki itu pada bibik.
"T-tapi, Den?" bibik menatap ragu.
"Tapi apa, Bik? Ada aku disini. Jadi bibik tidak perlu khawatir," ujar lelaki itu.
Bibik mengangguk patuh. "Mbak Sofia, bibik tinggal keluar ya?" ucap bibik pada Sofia.
"Jangan tinggalkan aku, Bik. Bibik tetaplah disini, karena aku takut dia akan berbuat sesuatu padaku," ujar Sofia membuat Axel menggeram kesal.
Lagi-lagi bibik di buat semakin bingung dengan mereka berdua. Sebenarnya ada hubungan apa mereka?
"Sofia! Apakah kamu baik-baik saja?" kedatangan Seno membuat semua orang yang ada di sana terdiam.
"Aku tidak apa-apa, dok. Tadi perut aku hanya keram saja," jawab Sofia berusaha tetap tenang.
"Berbaringlah, aku coba periksa," titah Seno begitu perhatian.
Sofia mengangguk patuh. Ia perlahan berbaring dengan perasaan entah. Sementara itu Axel hanya memperhatikan dengan seksama.
Seno segera memeriksa detak jantung bayi. Bersyukurnya masih baik-baik saja.
"Tidak ada keluar darah 'kan?" tanya Seno sembari melepas stetoskop dari telinganya.
"Tidak Dok, hanya keram saja. Mungkin karena bayi aku syok melihat wajah...."
"Wajah siapa?" tanya Seno penasaran saat Sofia menggantung ucapannya.
Sofia dan Axel saling pandang. Tatapan mereka menyimpan sesuatu yang tak bisa di artikan.
"Maksud kamu dedek bayinya syok karena melihat wajah bang Axel?" tebak Seno dengan benar.
Sofia dan Axel seketika memutus tatapan mereka. Sofia tersenyum pada Seno dengan gelengan kecil.
"Nggk pa-pa, bawaan orang hamil memang suka aneh-aneh. Kasihan banget kamu Bang, belum juga lahir udah eneg aja tuh bayi lihat muka Abang," celetuk Seno pada Axel.
"Ck, nggak usah ngarang kamu. Nggak ada urusannya sama aku," jawab Axel menatap malas.
"Hahaha.... Aku bercanda kali." Seno menanggapi dengan candaan.
"Yasudah, sekarang kamu istirahat ya. Kalau ada keluhan kasih tahu aku," ucap Seno pada Sofia.
"Baik Dok, sekali lagi terimakasih banyak. Maaf sudah merepotkan," jawab Sofia merasa sangat sungkan.
"Kamu jangan bicara seperti itu. Aku sama sekali tidak merasa di repotkan. Ayo istirahat, jangan banyak bergerak." Seno menarik kain tebal, lalu menutupi tubuh Sofia hinggak bahu.
Sofia merasa sangat sungkan. Kenapa sikap Seno begitu baik padanya. Andai saja Axel yang bersikap seperti itu. Ah sudahlah, ia tak ingin berharap apapun terhadap lelaki songong itu.
Axel hanya menatap datar dengan sikap adiknya yang tampak begitu perhatian terhadap wanita yang saat ini sedang mengandung benihnya.
Axel mengikuti langkah Seno keluar dari kamar Sofia. Ia masih penasaran dengan hubungan mereka.
"Kamu perhatian banget sama tuh cewek. Kamu kenal dia di mana?" tanya Axel saat baru saja keluar dari kamar Sofia.
"Emangnya kenapa jika aku perhatian? Apakah Abang tidak suka?" jawab Seno tanpa menoleh pada sang kakak.
"Kamu kenal Sofia di mana?"
Seno membalikkan tubuhnya menghadap pada Axel. "Abang sebelumnya sudah kenal dengan Sofia?"
"Ng-nggak. Aku baru kenal disini. Aku cuma penasaran saja, karena aku lihat kamu begitu perhatian padanya. Apakah kamu yang membawanya ke rumah ini? Atau dia salah satu pasien kamu?"
"Bukan, dan bukan aku juga yang bawa Sofia ke rumah ini. Tetapi papa dan mama yang membawanya," jawab Seno jujur.
"Ayo Abang duduk dulu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Abang." Seno membawa Axel duduk di ruang keluarga.
Axel menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Ia menatap Seno dengan wajah seriusnya.
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Axel penasaran.
"Tentang Sofia. Sebenarnya tadi pagi mama mau bahas ini juga, tetapi karena Abang ngantuk, maka di urungkan niatnya."
"Kenapa dengan Sofia? Kalian mau bahas apaan?"
"Abang tahu Sofia itu tidak punya siapa-siapa, dia yatim piatu. Aku kasihan banget dengerin cerita mama tadi malam."
Axel diam saja mendengar cerita Seno yang membahas tentang Sofia.
"Bang, Sofia itu sedang hamil. Dan apakah Abang tahu siapa orang yang menghamilinya?" kata-kata Seno membuat Axel seketika terjingkat.
"Ya mana aku tahu siapa orangnya. Kamu kenapa tanya sama aku," sahut Axel berusaha bersikap biasa saja.
"Aku nggak bertanya, cuma ingin kasih tahu aja. Santai aja kali ekspresinya," celetuk pak dokter.
"Ish, biasa aja kok. Apaan sih kamu. Udah sekarang ngomong yang jelas," timpal Axel jengkel juga. kata-kata Seno membuatnya jadi deg-degan. Kenapa berasa dirinya yang tengah di introgasi.
"Lelaki yang menghamili Sofia adalah seorang abdi negara, sama seperti Abang."
Degh!
Jantung Axel seketika hampir lepas. Untung saja tuh jantung Made in Allah. coba aja kalau buatan cina, maka udah copot saat itu juga. Berarti Sofia mengatakan yang sebenarnya siapa ayah dari bayi yang dia kandung? Apakah keluarganya sudah tahu yang sebenarnya?
"Woi!" Seno menepuk pundak Axel.
"Apa sih kamu? Rusuh banget jadi orang," kesal lelaki itu.
"Abisnya Abang malah bengong. Aku tuh belum selesai ngomong."
"Yaudah terusin ngomongnya. Apalagi yang kamu ketahui tentangnya?"
"Aku cuma kasihan pada Sofia. Kok ada ya lelaki tidak bertanggung jawab seperti itu. Apalagi dia seorang polisi, seharusnya dia itu memberi perlindungan, bukan malah jadi pelaku. Aku benar-benar geram sama tuh orang. Aku minta Abang bantuin Sofia untuk mendapatkan haknya. Jika dia tidak mau bertanggung jawab tidak apa-apa, setidaknya kasus ini di angkat agar polisi itu mendapatkan sangsi, kalau bisa dia di copot secara tidak hormat."
Axel kembali termangu mendengar ucapan Seno. Dia mau menanggapi bagaimana coba? karena pelaku itu sendiri adalah dirinya.
"Abang bisa bantu kan? Apalagi Abang seorang penyidik, Abang pasti dengan mudah menaikkan kasus ini," desak Seno.
"Ya, akan aku coba. Tapi aku akan mencari tahu dulu kebenarannya."
"Kebenaran apa maksud Abang? Apakah Abang berpikir jika Sofia berbohong?"
"Bukan begitu. Bisa saja oknum itu sudah bertanggung jawab dengan cara lain, tetapi sofianya aja yang tidak terima."
"Tanggung jawab seperti apa maksud Abang?"
"Ya, kan banyak tanggung jawab yang bisa di lakukan. Seperti memberinya uang yang cukup untuk menjamin biaya bayinya hingga dia besar nanti."
"Itu bukan tanggung jawab namannya bang. Yang dinamakan tanggung jawab, yaitu menikahi wanita itu, memberi pengakuan bahwa sang bayi adalah anaknya. Jadi si wanita tidak menanggung malu seumur hidupnya. Dasar lelaki itu adalah lelaki pecundang dan pengecut."
Bersambung....