Bagi mata yang memandang hidup Runa begitu sempurna tapi bagi yang menjalani tak seindah yamg terlihat.
Runa memilih kerja serabutan dan mempertahankan prinsipnya dari pada harus pulang dan menuruti permintaan orang tua.
"Nggak apa-apa kerja kayak gini, yang penting halal meskipun dikit. Siapa tau nanti tiba-tiba ada CEO yang nganterin ibunya berobat terus nikahin aku." Aruna Elvaretta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Net Profit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hemodialisa
"Cape nggak tan? Ruanganya lumayan jauh dari tempat poli penyakit dalam yang tempo hari tante kontrol." tanya Runa.
"Iya, ma. Menurut aku mama duduk aja di kursi roda, aku yang dorong." sambung Qian.
"Iya tante, aku juga setuju sama pak Qian." timpal Runa.
Mama Retno terkekeh kecil, berhenti sejenak menatap Runa. Telinganya tak nyaman sejak tadi mendengar percakapan Runa dan putranya yang terlalu formal, terlebih panggilan pak yang diberikan Runa, rasanya terlalu kaku, terlebih ini bukan kantor.
"Tante jalan aja nggak apa-apa. Terus ini, jangan panggil Qian pakai sebutan pak, dia belum bapak-bapak lagian ini bukan tempat kerja."
"Tapi kan aku emang kerja sama pak Qian, tan." jawab Runa.
"Nggak apa-apa, fleksibel aja."
"Terus aku harus panggil apa, tan?"
"Terserah, bisa kakak, mas, aa atau sebut langsung namanya juga nggak apa-apa." jawab mama Retno dengan santai, "kamu nggak keberatan kan?" lanjutnya pada Qian yang hanya diam sejak tadi.
"Nggak masalah, ma." jawabnya.
"Ya udah aku panggil mas Qian aja yah, pak?" ucap Runa, "Eh, mas." ralatnya kemudian.
"Iya." jawab Qian singkat.
Mereka berjalan melewati poli penyakit dalam, lurus terus sampai bertemu laboratorium dan bank darah lantas belok kiri melewati ruangan instalasi bedah sentral (IBS) yang di sampingnya terdapat ruang ICU.
"Kok ke ICU?" tanya Qian saat Runa meminta mereka masuk ke sana, "kita ke ruang hemodialisa, Run." lanjutnya seraya menunjuk papan nama ICU yang tertera di depan pintu masuk.
"Iya, mas. Aku tahu, tapi ruangan Hemodialisa ada di atas ruang ICU. Jadi kita pakai lift yang di ruang ICU aja, lebih cepat." jawab Runa.
Mereka lantas masuk ke ruangan bertulisan ICU itu. Begitu masuk tentu tak langsung berhadapan dengan pasien ICU melainkan ruang tunggu.
Ruang tunggu ICU terasa seperti dunia yang berbeda dari bagian rumah sakit lainnya. Begitu masuk, udara dingin dari AC langsung menyentuh kulit, namun bukan itu yang membuat tubuh menggigil melainkan suasana yang begitu tegang dan penuh kecemasan. Ruangan itu tidak luas, dindingnya berwarna putih pucat dengan kursi-kursi panjang berjejer rapi, menatap kosong ke arah pintu kaca yang bertuliskan Intensive Care Unit.
Tidak ada suara televisi yang biasanya mengisi ruang tunggu lain. Yang terdengar hanyalah bisikan pelan keluarga pasien, gesekan kursi ketika ada yang berdiri atau duduk lagi, dan sesekali suara panggilan perawat dari dalam. Beberapa orang duduk menunduk, memegang tas atau map hasil pemeriksaan, seolah benda itu bisa memberi jawaban. Ada yang memejamkan mata, mungkin berdoa, mungkin hanya kehabisan tenaga untuk menangis. Di sudut ruangan, seorang ibu memeluk syal sambil menatap pintu ICU yang tak kunjung terbuka, matanya sembab seperti habis menumpahkan banyak air mata.
"Mama nggak bisa bayangin kalo mama sampe masuk ICU, adek pasti nangis terus." ucap mama Retno setelah mengamati ruang tunggu ICU.
"Jangan ngomong yang aneh-aneh deh ma, mama pasti sembuh." jawab Qian, "cepetan tekan tombol lift yah deh, mama malah mikir yang nggak-nggak." lanjutnya pada Runa.
"Udah, mas. Tunggu bentar." Runa menunjuk panah di atas lift.
Keluar dari lift mereka mendapati ruangan yang hampir sama dengan ruang tunggu ICU, kursi berjajar di sana namun lengkap dengan televisi yang menempel di dinding paling depan. Meski ruang tunggunya nyaris sama tapi suasana berbeda. Ruang tunggu hemodialisa lebih hidup dengan orang-orang yang saling cerita dan saling memberi semangat. Entah itu dari kelurga yang menemani maupun antar pasien.
"Data tante mana mas? Biar aku tanyain dulu ke perawat?" tanya Runa.
"Kasihin ini aja." Qian memberikan lembar yang berisi data dan jadwal cuci darah mama Retno.
"Siap." Runa menerimanya kemudian masuk lebih dulu ke ruang hemodialisa.
Begitu pintu ruangan hemodialisa dibuka, aroma khas antiseptik langsung menyergap indera penciuman. Ruangan itu terang, didominasi warna putih dan biru muda yang memberi kesan bersih dan tenang. Deretan tempat tidur pasien tersusun rapi di sepanjang ruangan. Di sisi setiap tempat tidur, terdapat mesin hemodialisa yang berdiri tegak, lengkap dengan layar monitor yang menampilkan angka-angka penting mengenai tekanan darah, laju aliran darah, dan kondisi cairan dialisis.
Beep… Beep…
Suara dari mesin-mesin medis terdengar ritmis, menjadi latar yang tak pernah absen di ruangan itu. Beberapa pasien tampak terbaring dengan lengan tertusuk jarum besar yang terhubung ke selang bening, menyalurkan darah menuju filter dialisis sebelum kembali ke tubuh. Ada yang memejamkan mata, ada yang menonton televisi kecil yang menempel di dinding, ada pula yang sekadar menatap kosong sambil menunggu waktu berjalan.
Perawat dengan seragam rapi dan wajah teduh bergerak sigap dari satu pasien ke pasien lain, memeriksa tekanan darah, memastikan jarum tidak bergeser, dan mencatat hasil pengamatan di lembar monitoring. Suara langkah mereka lembut, diiringi percakapan pelan agar suasana tetap nyaman.
Di sudut ruangan, sebuah mesin infusion pump berbunyi pelan, sementara dispenser air hangat dan kursi tunggu untuk keluarga tersedia dengan sederhana. Meskipun ruangan itu dingin karena AC dan sarat dengan alat medis, terdapat sentuhan humanis poster motivasi kesehatan terpajang di dinding, dan beberapa tanaman plastik kecil diletakkan untuk memberikan kesan lebih hidup.
Runa menghampiri meja resepsionis yang terletak tak jauh dari pintu masuk, disana aja tiga perawat stay di depan komputer.
"Silahkan mba ada yang bisa dibantu?" tanya perawat dengan begitu ramah.
"Ini mba." Runa memberikan lembar jadwal mama Retno.
"Sebentar saya cek dulu yah." Runa mengangguk, menunggu dengan sabar. Perawat nampak mencocokan data yang ada pada formulir dengan data yang terdapat pada komputer.
"Pasien atas nama Retno yah, mba? Sudah terkonfirmasi, silahkan nanti di bad nomor enam belas." ucap perawat.
"Baik, mba. Sebentar saya panggilkan pasiennya." jawab Runa. Ia berlalu keluar kemudian kembali bersama mama Retno dan Qian.
"Ini pasiennya, mba. Langsung ke bad atau bagaimana?" tanya Runa.
"Sebelah sini bu, ditimbang dulu."
Setelah ditimbang mama Retno diarahkan ke bad nomor enam belas dan berbaring disana.
"Santai aja tante, jangan tegang. Nggak apa-apa." ucap Runa mencoba menenangkan, meskipun aslinya ia juga agak ngeri melihat darah yang mengalir pada selang menuju mesin dari bad sebelah mama Retno. Wanita itu tersenyum ramah kala tak sengaja mendapati Runa melihatnya.
"Iya, ma. Mama tenang aja, nggak apa-apa, biar sembuh." sambung Qian yang berdiri di depan bad mamanya. Lelaki itu mencoba menenangkan tapi wajahnya tak menyiratkan ketenangan.
"Mas Qian juga tenang aja, tante nggak akan kenapa-napa. Lihat tuh yang lain juga santai." padangan Runa menyapu pada deretan pasien yang sudah dipasang alat cuci darah lebih dulu. Ada yang sambil nonton TV, main HP bahkan makan camilan.
Qian mengikuti pandangan Runa namun bukannya tenang lelaki tinggi itu malah ambruk begitu saja.
"Mas!"
"Qian!" Runa nang mama Retno kompak berteriak.
Runa segera berjongkok dan mengoyangkan lengan Qian, "mas! Mas Qian!"
Mama Retno yang semula sudah berbaring kembali beranjak dan menghampiri putranya, "Qian, kamu kenapa?" Mama Retno menepuk pipi putranya supaya lekas sadar.
"Ya ampun tante lupa kalo Qian takut darah." ucap mama Retno.
"Mba, tolong dibantu anak saya pingsan." ucapnya pada perawat yang seharusnya memasang jarum cuci darah malah jadi mengurusi Qian yang mendadak pingsan.
"Runa, kamu ikut temenin Qian aja. Tante bisa sendiri," ucap mama Retno, "nah itu ada papa. Tante bisa sama papa. Kamu temenin Qian aja di ruang tunggu." lanjutnya.
"Baik, tante." jawab Runa. Ia kemudian mengikuti perawat yang memapah Qian keluar dari ruang hemodialisa.
"Ini sebenernya aku diorder buat jagain mamanya atau jagain dirinya sendiri sih?" batin Runa sambil menahan tawa. Bisa-bisanya sosok yang begitu atletis tiba-tiba pingsan hanya karena melihat darah.
.
.
.
like komen sama vote nya kakak buat mas Qian biar cepet bugar😊😊
heeeemmm gimana tanggapan mama retno yaaaa pasti ndukung bgt klo sandra bilang qian pacaran ma runa....
yaaa salamm....serba salah ngadepin modelan sandra.
ya udh sih... nikmati aja . suruh nikah ya nikah aja.... gitu aja kok repot . emang kamu gak mau Qian nikah sama Aruna . pasti mau dong....masak gak mau...harus mau lah.... 🤭🤣🤣🤣 maksa ya .
oh ... Sandra....aduin aja ke mama Retno , sudah bisa dipastikan mama Retno bakal iya in aja . secara dia udah amat sangat cocok dengan Aruna .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍