 
                            Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7: SIMFONI YANG PEKAK
Reza meletakkan cangkir keramik hitam pekat yang baru di atas meja. Kopi. Panas, pekat, dan berbau *nyata*. Bau biji kopi yang terbakar dan sedikit asam itu memotong bau ozon dan debu yang masih samar-samar menempel di hidung Rania.
"Minum," kata Reza lagi. "Kamu butuh kafein. Dan kamu butuh pakaian."
Rania memegang cangkir itu dengan kedua tangan, membiarkan kehangatan porselen meresap ke telapak tangannya yang sedingin es. Dia meminumnya. Rasa pahit yang familiar itu menampar sistem sarafnya, membangunkannya dari teror yang melumpuhkan.
"Aku nggak bisa pulang," bisik Rania, menatap kopi hitamnya. "Apartemenku... aku nggak bisa ke sana. Cairan hitam itu..."
"Kamu nggak perlu ke sana," kata Reza tegas. "Dengar, aku punya baju ganti di loker belakang. Sisa-sisa lembur. Nggak akan pas, tapi lebih baik daripada piyama." Dia berhenti sejenak. "Dan aku punya sepatu kets lama. Ukuran 41. Kakimu ukuran berapa?"
"40," jawab Rania.
"Cukup dekat."
Reza kembali beberapa saat kemudian dengan kaus band *noise-rock* yang sudah pudar, celana kargo hitam yang kebesaran, dan sepasang sepatu kets yang solnya sudah menipis.
"Kamar mandi di belakang," katanya.
Lima menit kemudian, Rania kembali. Dia merasa seperti penipu. Dia memakai pakaian orang lain, diselamatkan oleh diagnosis jamur yang aneh, mencoba berpura-pura bahwa dunia masih masuk akal.
"Oke," katanya, suaranya lebih stabil. "Rumah sakit."
"Rumah sakit," Reza mengangguk. Dia mengambil dompet dan kunci-kuncinya. "UGD Rumah Sakit Pusat. Mereka punya unit toksikologi terbaik di kota."
Rania menghela napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keberanian arsiteknya yang analitis. "Oke. Ini adalah... masalah material. Spora jamur. Sebuah racun. Sebuah masalah yang bisa dipecahkan."
"Tepat," kata Reza, membuka kunci pintu depan. "Hanya masalah material."
Udara pagi menerpa mereka.
Rania tersentak, separuh berharap untuk dibutakan lagi oleh akuarium spektral di langit.
Tapi jalanan itu... normal.
Langitnya abu-abu dan membosankan. Lalu lintas pagi merayap seperti biasa. Tidak ada ikan koi seukuran gerbong kereta. Tidak ada gupi perak yang menembus dinding.
Semuanya... normal.
"Aku... aku nggak melihatnya lagi," bisik Rania, gelombang kelegaan kedua—yang jauh lebih kuat—menghantamnya.
"Tentu saja tidak," kata Reza, nadanya meyakinkan. "Kamu sudah keluar dari sumber kontaminasi. Apartemenmu. Toko itu. Otakmu mulai *bersih*."
Itu masuk akal. Sangat masuk akal.
Rania hampir tersenyum. Dia merasa bodoh. Dia merasa ringan. Dia baru saja mengalami episode keracunan terburuk dalam sejarah manusia, tapi sekarang sudah berakhir.
"Ayo," katanya, melangkah ke trotoar yang ramai.
Mereka berjalan menyusuri sisi kafe, menuju jalan raya utama untuk mencari taksi. Reza memimpin, Rania mengikuti dari belakang, masih sedikit goyah dengan sepatu yang kebesaran.
Gang di sebelah "Kopi Titik Koma" adalah tempat pembuangan sampah untuk tiga ruko. Baunya asam oleh sampah restoran dan kardus basah.
Saat mereka melewatinya, sesosok tubuh bergerak dari tumpukan kantong sampah hitam.
Rania membeku.
Itu bukan monster. Itu seorang pria. Atau setidaknya, *dulu* seorang pria.
Dia adalah tumpukan kain kotor. Dia mengenakan tiga lapis jaket di bawah terik pagi, kepalanya terbungkus syal wol kotor, dan di telinganya... di telinganya tersumpal gumpalan besar kapas industri kotor yang diikat dengan lakban.
Reza melambatkan langkahnya. "Ah, sial. Itu 'Si Tuli'," gumam Reza, hampir bersimpati.
"Si Tuli?" tanya Rania pelan, menjaga jarak.
"Orang gila lokal," bisik Reza. "Tidak berbahaya. Dia hanya... berisik. Terkadang dia berteriak, tapi sebagian besar dia hanya mengumpulkan sampah penyerap suara. Karet, styrofoam, kapas. Seperti yang itu."
"Si Tuli" sedang memunguti secangkir kopi styrofoam bekas. Dia tampak asyik dengan dunianya sendiri.
Saat itulah Rania mengambil langkah lain untuk melewati gang itu.
Pria itu membeku.
Tubuhnya menegang seperti kabel baja. Dia tidak mendongak. Dia hanya... *mendengarkan*.
Perlahan, kepalanya yang terbungkus syal berputar ke arah Rania. Gerakannya kaku, seperti burung yang mendeteksi predator.
Dia membuka mulutnya.
Rania mengira dia akan meminta uang.
Pria itu—"Si Tuli"—menjatuhkan cangkir styrofoam-nya. Matanya (yang bisa Rania lihat di antara lilitan kain) melebar ngeri.
Dia tidak menatap *wajah* Rania. Dia menatap sesuatu *di atas* kepala Rania.
Lalu dia menjerit.
Itu bukan jeritan manusia. Itu adalah lolongan yang melengking, penuh dengan teror murni dan rasa sakit yang tak tertahankan. Itu adalah suara frekuensi tinggi yang membuat gigi Rania ngilu.
"TIDAK! TIDAK! TERLALU KERAS! MATIKAN MUSIKNYA!" teriak pria itu, suaranya parau.
Dia merangkak mundur, menjauh dari Rania, tubuhnya kejang. Dia mencakar-cakar gumpalan kapas di telinganya, mencoba menekannya lebih dalam.
"DIAM! DI KEPALAKU! MATIKAN!"
Orang-orang di trotoar berhenti, menatap.
"Hei, hei, tenang!" Reza melangkah maju, mencoba menenangkan pria itu.
"JAUHKAN DIA!" "Si Tuli" melolong, menunjuk Rania dengan jari kotor yang gemetar. "DIA BERNYANYI! LAGU YANG SALAH! LAGU DARI DINDING! MATIKAN DIA!"
Rania terpaku di tempat. Rasa dingin baja itu kembali ke tulangnya.
*Lagu dari dinding.*
"Ayo, Ra. Kita pergi," kata Reza cepat. Dia melihat tatapan ngeri Rania. Dia menarik lengan baju Rania. "Dia... dia jelas sedang kambuh. Ayo."
Reza menarik Rania menjauh dari gang, kembali ke kerumunan. Mereka berjalan cepat, meninggalkan "Si Tuli" yang masih melolong dan berguncang di tumpukan sampah.
"Dia... dia gila," bisik Rania, lebih pada dirinya sendiri.
"Ya," kata Reza, tapi Rania bisa mendengar keraguan dalam suaranya. "Gila sekali. Aneh. Dia biasanya tidak pernah bereaksi seperti itu. Dia biasanya... diam."
Rania tidak menjawab. Dia hanya berjalan, sepatu kebesarannya berdecap di trotoar.
*Dia bereaksi padaku.*
Pikiran itu menusuk menembus kabut kelegaan "jamur hitam"-nya.
*Dia bilang aku 'bernyanyi'.*
*Dia tidak 'melihat' ikan. Dia 'mendengar' sesuatu. Sesuatu yang sangat keras.*
*Sama sepertiku yang tiba-tiba 'melihat' sesuatu.*
Rania menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tidak. Itu... itu kebetulan," katanya. "Dia gila. Aku keracunan. Dua hal berbeda."
"Benar," kata Reza, terlalu cepat. "Dua hal berbeda."
Mereka sampai di jalan raya dan berhasil mendapatkan taksi biru yang sudah reyot.
Perjalanan ke rumah sakit berlangsung dalam keheningan yang tegang.
Reza sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, mungkin mencari "gejala jamur hitam memicu reaksi psikotik pada orang lain".
Rania hanya menatap ke luar jendela, tapi dia tidak lagi mencari ikan. Dia mencari... sesuatu yang lain.
Dia tidak tahu apa.
Mereka tiba di lobi UGD Rumah Sakit Pusat.
Tempat itu adalah definisi dari kekacauan manusiawi yang normal. Bau disinfektan dan kopi basi yang menyengat. Suara pengumuman dari interkom, tangisan bayi, erangan pelan dari pasien di kursi roda. Semuanya nyata. Membosankan. Menenangkan.
"Oke," kata Reza, membimbing Rania ke meja pendaftaran yang kacau. "Antre di sini. Aku akan—"
Reza berhenti bicara. Rania tidak mendengarkannya.
Dia tidak lagi melihat antrean. Dia sedang memindai lobi UGD.
Itu adalah insting. Insting mangsa yang baru ditemukan.
Lobi itu penuh sesak. Perawat, pasien, keluarga yang cemas.
Dan di sudut terjauh, di sebelah mesin penjual minuman otomatis yang rusak, duduk seorang pria.
Dia tidak terlihat menonjol. Dia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna krem yang disetrika rapi dan celana bahan berwarna cokelat. Dia tampak seperti akuntan yang sedang menunggu kerabatnya. Dia sedang membaca koran.
Dia normal dalam segala hal, kecuali satu.
Di samping kursinya, bersandar rapi di dinding, ada sebuah payung lipat hitam yang masih basah.
Hati Rania berdebar kencang.
Dia melihat ke luar jendela UGD yang besar. Langit cerah. Tidak ada awan. Aspal di luar kering kerontang.
Tidak hujan.
Belum hujan setidaknya sejak enam jam yang lalu.
Pria itu membalik halaman korannya, suaranya berdesir. Seolah merasakan tatapannya, pria itu menurunkan korannya sepersekian inci.
Matanya—dingin, abu-abu, dan tanpa emosi—bertemu dengan mata Rania dari seberang ruangan.
Dia tidak tersenyum. Dia tidak mengancam. Dia hanya... *melihat*. Dia *mencatat*.
Lalu dia mengangkat korannya lagi, menutupi wajahnya, dan kembali membaca.
Rasa dingin di tulang Rania tidak ada hubungannya dengan jamur.
"Ra? Kamu baik-baik saja?" tanya Reza. "Kamu pucat lagi."
Rania menelan ludah. Dia menarik pandangannya dari pria itu.
"Reza," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Ya?"
"Aku rasa... aku rasa aku tidak keracunan jamur."