NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketenangan Dalam Gelombang Badai

Aroma masakan rumahan masih tercium samar di udara. Meja makan penuh dengan sisa-sisa makan malam yang baru saja selesai. Ibu mertua Lania, tampak begitu bersemangat, matanya bersinar penuh harap sambil membelai lembut tangan Lania yang diletakkan di atas meja.

“Tidak lama lagi, ya… Mama bakal denger suara tangisan bayi lagi di rumah ini,” ucapnya sambil tersenyum lebar, suaranya dipenuhi kehangatan.

Sambil terus mengukir senyum, Lania berusaha menyembunyikan gelombang emosi yang sedang berperang di dalam dirinya. Ia mengangguk pelan. “Iya, Ma … doakan saja semuanya lancar.”

“Kamu tuh, Ga. Harusnya senang! Sebentar lagi jadi ayah. Kok, malah diam terus dari tadi?” Bu Yuris menoleh ke arah Sagara yang duduk di ujung meja, sambil tertawa ringan.

Sagara hanya mengangkat bahu tanpa senyum, lalu menyeruput air putih dari gelasnya. “Maaf, Sagara belum bisa mengingat segalanya, berita kehamilan Lania ... men ... mengejutkan. Di samping itu, Sagara jadi sering capek karena kerja di kantor.”

Jawaban itu menggantung di udara, dingin dan kering. Lania menunduk, meremas tangan sendiri di pangkuan. Dia tahu bukan pekerjaan yang membuat Sagara menjauh, tetapi sesuatu yang tak sepenuhnya dia pahami sepenuhnya—atau tepatnya, terkait hubungan sang suami dengan Adisty.

“Capek boleh, tapi jangan lupakan istri sama calon bayimu. Hamil itu bukan hal gampang, loh. Mama dulu sering ditinggal Papa dinas, tapi tetap semangat karena ditemani perhatian kecil,” tutur Yuris, untuk mencarikan suasana.

Seakan-akan enggan menanggapi, Sagara menatap kedua wanita beda usia itu berganti. Kemudian, mengalihkan pandangan ke arah jendela yang tertutup tirai renda. Diam. Lagi-lagi diam.

Dalam kesenjangan menyedihkan, Lania tersenyum canggung, berusaha tetap terlihat tenang. Walaupun, hatinya terasa seperti diremas. Satu sisi ada harapan dan kebahagiaan yang ditunjukkan ibu mertuanya, sisi lain ada kekosongan di mata suaminya sendiri—seolah kehadiran sang buah hati tak cukup penting baginya.

“Kak Dhea kapan balik dari Kanada, Mam?” tanya Lania sekadar basa-basi untuk mengurangi sedih dihati. “Aku belum memberi kabar kehamilan ku.”

Tawa kecil ibu mertua terdengar menentramkan. “Mama sudah mengabari, saat acara siraman akan sempatkan hadir.”

“Masih lama, dong, Mam. Padahal aku pingin cerita-cerita,” ujar Lania, dia memang dekat dengan kakak iparnya—secara tidak langsung—penyambung hubungan antara dirinya dan Sagara.

Dhea—kakak Sagara—teman kuliah Lania sewaktu di Kanada.

“Sagara capek, mau istrahat dulu,” pamit Sagara, tak sedikit pun menoleh ke arah Lania.

Perut Lania kembali terasa mual, bukan karena hormon, ini disebabkan luka yang perlahan menganga, tak terlihat—tetapi, nyata. Di balik gelas bening di tangannya, Lania menyembunyikan air mata yang mulai memenuhi pelupuk. Dia tahu harus lebih kuat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, semata-mata untuk nyawa kecil yang sedang tumbuh di dalamnya.

“Lan, kamu pasti juga capek. Sabar ya, Sagara pasti segera ingat semuanya. Dia pasti menemukan jalan pulang.” Hibur Yuris, sembari mengusap lembut pipi sang menantu.

Rasanya sudah tidak sanggup terbendung lagi, Lania menjatuhkan diri ke dalam pelukan Yuris. Dia tidak banyak bicara, hanya menguras air mata. Baginya sudah cukup, lebih dari apa yang dia harapkan.

“Lania kuat, Mama yakin itu. Hanya Lania yang pantas berdiri di samping Sagara. Tabiat anak nakal itu lebih terkontrol karena mu.” Yuris mengecup ringan pucuk kepala menantu perempuan satu-satunya. “Sekarang istirahat, terus berdoa, minta bantuan kepada Sang Pencipta.”

“Terima kasih, Mama selama ini baik pada Lania. Mencintai Lania seperti putri sendiri.”

“Tentu saja, Sayang. Tidak ada yang namanya perbedaan dalam keluarga ini, menantu—anak semua memiliki status tinggi bagi Mama,” papar Yuris sambil memegang kedua pipi lembab Lania. “Jangan mikir macam-macam, demi kesehatan mu dan bayimu.”

Lania mengangguk.

“Sudah, hapus air mata—istirahat yang nyenyak.”

Usai berbincang-bincang, Lania masuk ke kamar tempat Sagara berada.

Angin malam menyusup lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Suasana rumah mertua Lania begitu tenang, menciptakan keheningan yang terasa menyesakkan baginya.

Bagaimana tidak, sejak tiba tadi sore, Sagara membuat jarak. Bicara seperlunya, hanya kalau Lania membuka obrolan lebih dulu.

Di kamar tamu yang mereka tempati sementara, Lania duduk di ujung ranjang dengan tangan memegangi perut yang masih rata. Mual kembali menyerang, semakin menyiksa karena sikap dingin Sagara.

Sagara duduk di seberang ruangan, membelakangi Lania, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sejak mereka tiba sore tadi, laki-laki itu asyiknya dengan dunia sendiri. Tak ada pelukan hangat seperti, tak juga pertanyaan sederhana seperti “Kapan jadwal kontrol, Lan?” atau “Perutmu gimana?”

Lania memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam. Dia bisa merasakan jarak yang semakin menjauh, bahkan dalam diam.

“Ga,” suaranya pelan dan jelas, memecah keheningan.

Sagara menoleh setengah, tidak menjawab.

“Aku tadi siang ke kantor,” lanjutnya, berusaha menahan getar di suaranya. “Tidak mengabari atau mengunjungimu ke ruangan, takut ganggu seperti tempo hari.”

Sagara tak menyela. Tangannya tetap menggenggam ponsel, matanya menatap layar kosong.

“Apa Adisty bilang sesuatu tentang aku?”

Kalimat itu akhirnya meluncur juga, seperti pisau yang pelan-pelan menusuk.

Sagara mengangkat kepalanya perlahan. Ada ketegangan di wajahnya yang tak bisa disembunyikan—tetap setia dengan kediamannya.

Ludah di tenggorokan sulit ditelan, Lania menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. “Kalau memang dia bilang sesuatu... yang bikin kamu mulai ragu sama aku... tolong, Ga. Jangan langsung percaya. Jangan cuma dengar dari satu sisi.”

Napas berembus keras, Sagara mematikan ponsel. “Aku cuma butuh waktu berpikir, Lan. Berusaha mengumpulkan kenangan-kenangan kita yang hilang. Kenapa yang paling aku ingat keinginanmu untuk berpisah? Pertengkaran kita.”

Jawaban panjang itu seperti tamparan. Bukan karena nada suaranya keras—justru sebaliknya. Datar. Hambar.

Sebagaimana seharusnya, Lania mengangguk pelan, seolah menerima, meski dadanya terasa remuk. Dia tahu, ini bukan cuma soal cemburu lagi. Ini tentang siapa yang berhasil menguasai kepercayaan di antara mereka berdua.

Jika diam untuk sementara bisa membuat Sagara tenang, pasti Lania lakukan. Kalau dia ngotot dan terus-menerus menuntut, Adisty bisa saja memenangkan pertarungan ini tanpa perlawanan.

Senyum kecil mengembangkan bibir Lania. Dia tidak mau keadaan menjadi lebih buruk. “Ya, aku akan berhenti sejenak, terlepas dari semua—kamu mendapatkan ruang yang kamu mau. Bila perlu, kita ... aku akan tidur di kamar lain.”

“Tidak, aku masih ingat satu hal—tak ada yang boleh tau kalau hubungan kita bermasalah.” Putus Sagara.

“Mama sudah tau,” ucap Lania lantas menghentikan Sagara yang hendak memotong dengan isyarat. “Seorang ibu lebih peka terkait kesedihan anaknya. Sikap itu yang menumbuhkan rasa ingin tau Mama.”

“Ku akui, aku keterlaluan—maaf, tidak seharusnya aku memperlakukan mu dengan buruk hanya karena hilang ingatan sialan ini!”

“Bukan salahmu, sebaiknya kita tidur,” kata Lania, menarik selimut dan berbaring telentang.

Di luar, suara jangkrik terdengar bersahutan. Di dalam, dua orang yang seharusnya saling mencintai justru seperti orang asing. Dan Lania hanya bisa memeluk perutnya erat-erat, mencoba menemukan ketenangan dalam gelombang badai yang tak kunjung reda.

1
[AIANA]
wah dia bukan mak lampir, ternyata dia iblis,
[AIANA]
mak lampir plis hus hus hus.
[AIANA]
tantang aja. kalau kamu (Sagara) masih memperlakukan lania dg buruk dan memilih mak lampir, aku dg tangan terbuka akan menampungnya. hahahaha
Mega: Hahaha, siap jadiin ayam geprek ya.
total 1 replies
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
Iza
😭😭😭
[AIANA]
nah, jadi orang bodoh lagi kan. sebel aku lama2
Mega: Sabar-sabar, masih awal.
total 1 replies
[AIANA]
ini si Sagara, sekalipun ilang ingatan. sekalipun yg dia ingat adalah perdebatan tentang perceraian. kok dia lupa sama hatinya ya? ada hal lain kah yg belum dibahas?

jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
Mega: Sagara jadi korban penulis plin-plan. kikikikik
total 1 replies
[AIANA]
waktu istri
Mega: Banyak banget typo ternyata ya. kikikikik. nulisnya sambil-sambil. Nanti, deh, revisi lagi. makasih
total 1 replies
[AIANA]
bentar, aku ga salah kan? skg ini si Lania kondisi hamil kan ya?
Mega: Iya, kikikikikikik.
total 1 replies
Mega
MasyaAllah dapat kejutan aku. Makasih sudah sempatkan mampir. kikikikikikik
[AIANA]
lihai bener sih ini nenek lampir
kamu dapat inspirasi dari mana jal
[AIANA]
meninggal kamar. sereeem.
hai sayang. aku datang karena penasaran
Mega: Ayo mulai nulis lagi
[AIANA]: semangat!!! aku bangga padamu. kamu aja kyk gt apalagi aku. malu udah hiatus 1th
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!