Kurebut Suamiku
Langkah Lania terasa berat saat memasuki lobi utama kantor Sagara Corp. Sepatu haknya berdenting ringan di lantai marmer, tetapi detak jantung dalam dada jauh lebih nyaring. Di tangannya, ada amplop berisi selembar kertas berwarna hitam putih. Dia belum tidak boleh menyerah sekarang.
Sudah dua minggu sejak kecelakaan itu—tragedi yang menghapus sebagian ingatan Sagara, suaminya. Tidak semuanya. Justru sebagian, bagian yang paling rumit.
Sagara ingat mereka memiliki hubungan yang kuat, tetapi yang terus muncul di pikiran, yang terus menghantuinya, merupakan potongan memori terakhir sebelum kecelakaan—ketika Lania memintanya untuk berpisah.
Alasan di balik keinginan Lania menggugat cerai, Sagara tidak mengingat itu semua. Justru Adisty, sahabat lama sekaligus si asisten pribadi, memperkeruh suasana.
Malah berbuat sebaliknya—Adisty diam-diam mendorong jarak yang semakin melebar di antara mereka.
“Selamat pagi, Bu Lania.” Suara resepsionis terdengar ragu, seperti menahan napas. Mereka semua tahu posisinya tak lagi jelas di kantor ini.
“Aku ingin bertemu Sagara,” ucap Lania tegas.
Resepsionis melirik layar komputer sebentar. “Pak Sagara sedang tidak menerima tamu.”
“Bilang saja, aku membawa makan siang kesukaannya,” katanya sambil mengangkat tas bekal di tangan.
Resepsionis tampak ragu, tetapi akhirnya menekan tombol interkom.
"Pak Sagara masih rapat internal. Mungkin—"
"Aku tahu dia bersama Adisty saat ini," potong Lania pelan dan tegas. "Dan aku istrinya. Bukan tamu."
Resepsionis tampak canggung. "Saya mengerti, Bu. Tapi… sejak kecelakaan itu, Pak Sagara belum siap bertemu banyak orang."
"Banyak orang?" Lania tersenyum miris. "Aku bukan ‘banyak orang’. Aku rumahnya."
Masa bodoh! Lania akan masuk tanpa persetujuan.
Butuh waktu lima menit bagi Lania untuk menguatkan diri, dia pun berjalan santai menuju lift khusus pemegang jabatan penting di sana.
Dia sudah berdiri di depan ruang berpintu kayu ganda berukuran raksasa.
Tawa renyah terdengar di dalam kantor direktur utama, Lania membuka penuh percaya diri ruangan itu.
Dibukanya pintu lebar-lebar, menatap tajam wanita yang sedang duduk santai di pinggiran meja kaca direktur. Adisty segera berdiri, senyumnya tipis.
Lania melangkah masuk. Ruangan itu masih sama—netral, rapi, dan tenang. Namun, yang duduk di balik meja kini bukan lagi pria yang dia kenal sepenuhnya.
“Pergi. Aku ingin berdua saja,” jawab Lania dingin.
Tanpa kenal takut, Adisty menolak perintah Lania. “Kami sedang sibuk, Lan.”
“Tidak tau malu, statusmu apa sampai berani bertingkah seperti itu kepada istri atasanmu!” hardik Lania.
Adisty langsung menghampiri Lania. “Tanyakan sendiri pada Sagara.”
“Kau....” Lania sudah mengangkat tangan, siap mendaratkan tamparan di pipi wanita itu, tetapi urung. “Cih! Aku bahkan tak sudi menyentuhmu. Pergi sebelum kesabaran ku habis.”
“Tentu, ada pekerjaan yang lebih penting daripada meladeni mu.” Usai membalas ucapan Lania Adisty pergi.
Lania mengabaikan wanita seksi itu, kemudian menghampiri kursi bundar bersandar depan meja direktur utama. Melihat lembut pria yang kini bersandar pada kursi berukuran besar.
Pandangan pria di sana tampak hampa, lantas berpaling dan melanjutkan pekerjaan. Seolah-olah tidak merasakan kehadiran Lania.
“Aku bawa makan siang buatmu.”
Tidak lama Adisty masuk kembali, rantang berisi makanan dibawa, senyum centil menghias sudut bibir wanita itu. Dia sengaja melirik sinis Lania setelah meletakkan bekal ke atas meja di sudut lain ruangan.
“Ga—”
"Lania." Hanya satu kata, tak hangat, tidak juga dingin, tetapi memancing tanda tanya di kepala Lania. “Tinggalkan aja makanan di sana dan pulanglah.” Sagara menatapnya. Tatapan tajam, seutuhnya asing.
Ucapan Lania dipotong begitu saja oleh direktur itu, acuh tak acuh berjalan menuju meja tempat rantang Adisty.
“Aku hanya ingin bicara sebentar. Aku tahu kamu kecewa. Tapi yang kamu ingat... itu hanya sebagian. Lihatlah dulu aku membawa makanan kesukaan mu.” Lania pantang menyerah.
Sagara berdiri perlahan, memasukkan kedua tangannya ke saku. “Aku ingat kamu ingin pergi. Aku ingat kamu menangis. Dan bilang sudah lelah.”
Lania menggigit bibir. “Aku lelah... karena Adisty.”
Sagara terdiam.
“Karena aku merasa pernikahan kita selalu punya orang ketiga di dalam ruang yang seharusnya cuma milik kita berdua,” lanjut Lania, pelan berbalut kepastian.
Adisty yang duduk di salah satu sofa menahan napas. Sagara menatap Lania lekat-lekat, ekspresinya sedikit melunak.
"Aku tidak datang untuk mengharap mu kembali," lanjut Lania, “tapi aku datang untuk mengembalikan ingatanmu. Supaya kamu tahu kenapa aku memilih menjauh. Supaya kamu bisa memilih sendiri... bukan berdasarkan kebohongan yang dibuat orang lain.”
Sagara menunduk. Tak ada kata keluar dari bibirnya. Namun, jemari kirinya mulai menggenggam erat sesuatu—cincin pernikahan yang masih ada di saku jasnya, meski tak lagi dipakai.
Kerutan dalam terlihat di kening pria itu, lalu Adisty bergegas memeganginya. “Cukup untuk hari ini Lania, kau masih punya pikiran yang waras kan? Jangan terlalu memaksa.”
Kali ini Adisty benar, dia harus berhenti kalau tidak mau membebani pikiran Sagara.
Adisty merangkul bahu Sagara, membimbingnya duduk. Wanita itu selalu tampil modis. Rambut gelombangnya selalu terikat rapi ke belakang, suara selembut sutera, tatapan mata pun terkesan tenang. Dia tahu cara berbicara di hadapan Sagara, menjawab dengan tepat saat media bertanya, bahkan tahu kapan harus diam ketika direksi sedang murung.
Lania tahu satu hal pasti, Sagara adalah alat bagi Adisty, untuk mendapatkan posisi lebih tinggi.
Sejak kecelakaan itu, ketika Sagara kehilangan sebagian ingatan, Adisty adalah orang pertama yang menemaninya sadar di rumah sakit. Wanita itu ada di sana sebelum Lania sempat datang. Dia menyentuh tangan Sagara, entah apa yang sudah perempuan itu bisikkan. Seakan-akan, Adisty ingin unjuk diri.
Sagara lupa hari pernikahannya.
Namun, dia ingat... Adisty.
Celakanya, Adisty tak pernah mengingatkan apa yang perlu Sagara ingat.
“Jangan terlalu dipaksa, Ga. Ingatan yang hilang bisa kembali pelan-pelan. Jangan biarkan itu menyakitimu,” ucap Adisty lembut seakan-akan memberi ketenangan. Padahal setiap kalimat yang terucap merupakan racun dalam hubungan Sagara dan Lania.
Di kantor, Adisty perlahan menggantikan posisi yang dulu hanya milik Lania. Dia menyiapkan kopi favorit Sagara. Juga menyarankan warna kemeja, bahkan memilih musik latar untuk ruang kerja.
Dan setiap kali Sagara mencoba membuka album foto, mengingat, atau bertanya lebih dalam tentang masa lalunya dengan Lania... Adisty selalu mengalihkan ke hal lain.
Masih dengan perasaan terpukul, Lania bertahan di dalam ruangan itu.
Usai membantu Sagara duduk, Adisty menarik napas sejenak serta berkata, “Sagara sedang banyak tekanan akhir-akhir ini. Aku tidak yakin hari ini waktu yang tepat.”
“Dan kamu selalu tahu kapan waktu yang ‘tepat’ untuk Sagara, ya?” Lania menoleh pelan, nadanya masih stabil, mata menusuk tajam ke arah Adisty.
Dengan ekspresi wajah tanpa rasa bersalah, Adisty menarik napas, lalu duduk di sisi lain sofa.
“Mungkin kamu belum tahu,” lanjut Lania, lembut, “Sagara pernah cerita tentang kamu. Dia bilang kamu orang yang bisa dipercaya. Yang setia, tenang, tahu diri…”
“Cukup, Lania!” bentak Sagara, “Mari saling introspeksi diri.”
“Sagara,” bisik Lania, tetapi suaminya meletakkan jari telunjuk ke bibir, isyarat agar dia diam.
Air mata bergulir hangat membasahi pipi, Lania pun memilih pergi. Namun, saat tiba di ambang pintu dia berbalik badan.
“Aku hanya ingin menunjukkan ini.” Selembar kertas hitam putih Lania letakkan ke atas meja, “usianya baru 4 Minggu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Queenci Kim
💃🏻💃🏻
2025-08-02
0