NovelToon NovelToon
Dia Bukan Ayah Pengganti

Dia Bukan Ayah Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Hamil di luar nikah / Pengantin Pengganti / Dokter / Menikah dengan Kerabat Mantan / Ayah Darurat
Popularitas:32.7k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.

Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.

"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"

Namun, jawaban Arsen menohok.

"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"

Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 DBAP

Naya membeku. “Apa?”

Namun, tak ada jawaban.

Arsen hanya menatapnya dalam diam. Matanya sedikit membelalak, kaget pada dirinya sendiri. Kalimat yang tadi menggelegar dalam pikirannya… tidak pernah benar-benar keluar dari mulutnya.

Mulutnya masih tertutup rapat.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada datar, "Karena kamu sedang tidak dalam kondisi baik. Itu saja."

Naya masih menatapnya, ekspresinya bingung. Ia seolah menunggu Arsen melanjutkan, menjelaskan, atau bahkan menjawab pertanyaannya tadi. Tapi tak ada. Hanya keheningan yang berat menggantung di antara mereka.

Dalam batin, Arsen menyesali keberaniannya yang setengah-setengah. Tadi nyaris saja ia mengucapkannya. Nyaris. Tapi ia takut. Ia belum siap menghadapi apa yang akan terjadi jika rahasia itu terbuka sekarang sebelum waktunya, sebelum semuanya siap.

“Kalau begitu, aku istirahat dulu, Paman,” ucap Naya akhirnya, memilih mundur dari pembicaraan yang terasa janggal itu.

Arsen hanya mengangguk.

Langkah Naya pelan, masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang tak bisa ia uraikan. Ada yang mengganjal. Sesuatu yang tidak terucap. Tapi ia tahu pasti ada yang disembunyikan oleh pria itu.

"Sebenarnya Paman kenapa bisa jadi lebih protektif seperti itu? Tidak mungkin itu hanya karena ingin mengambil hasil tes DNA anak ini kan?" gumam Naya sepanjang langkahnya tanpa menoleh ke arah Arsen yang masih tertinggal di belakangnya.

Sementara Arsen berdiri di depan rumah, menatap pintu yang baru saja menelan bayangan Naya. Jemarinya mengepal, dan di dalam dadanya, kalimat itu terus bergaung… kalimat yang nyaris saja ia katakan, "Karena dia adalah anakku."

Tapi untuk sekarang… cukup. Biarlah semua tetap menjadi rahasia. Setidaknya… sampai Naya benar-benar siap tahu siapa dirinya dan siapa anak itu sebenarnya.

***

Naya melangkah pelan ke dalam kamar, lalu merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur yang terasa begitu empuk. Ia menarik selimut hingga menutupi bahunya, namun dingin tetap merayap, menggigit kulit dan menyesaki dada. Bukan karena suhu ruangan melainkan karena kegelisahan yang sejak tadi mengendap, membeku dalam hatinya.

Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Tapi pikirannya riuh, hatinya gaduh. Tenang tak juga datang.

Lalu terdengar ketukan pelan di pintu. Lembut, namun cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

“Naya.”

Suaranya berat, seperti tertahan. Suara yang terlalu ia kenal.

Naya membuka mata, menahan napas sejenak. Perlahan ia bangkit dan membuka pintu.

Arsen berdiri di sana. Tak ada amarah di wajahnya, tak ada ketegangan seperti biasanya. Hanya sepasang mata yang memandang dalam, seolah sedang mencari cara untuk mengatakan sesuatu… tapi masih memilih diam.

“Ada apa, Paman?” tanya Naya pelan, nyaris tak terdengar.

Arsen tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah masuk, lalu berdiri di hadapan Naya. Dekat. Terlalu dekat hingga Naya bisa mencium wangi parfum dari tubuhnya.

Naya mundur setengah langkah, canggung. “P-paman, kenapa malah masuk?”

“Memangnya kenapa? Gak boleh?” Arsen mengangkat alis, lalu suaranya merendah. “Kita ini suami istri, Nay. Kamu juga lagi hamil, baru keluar dari rumah sakit…”

Ia berhenti, menggantungkan kalimatnya.

Naya menatapnya, menunggu. “Jadi?”

“Jadi, karena malam ini aku nggak ada jadwal operasi dan masih cuti… aku pikir, malam ini aku akan tinggal di sini. Menemanimu.”

Ucapannya pelan, tapi ada nada kikuk di sana. Seolah ia sendiri heran dengan keberaniannya.

Naya terdiam. Bingung. Dari semua perubahan sikap Arsen belakangan ini… ini yang paling tidak bisa ia mengerti.

“T-tapi, Paman, aku…”

“Aku bisa tidur di sofa kalau kamu nggak nyaman,” potong Arsen cepat. “Aku cuma… ingin jaga kamu. Itu saja.”

Arsen menatap Naya serius. Melihat Naya tak berkata apa-apa, ia mengangguk kecil.

“Kamu diam, aku anggap setuju.” Lalu tanpa menunggu respons lagi, ia berkata singkat, “Aku mandi dulu.”

Arsen masuk ke kamar mandi, pintunya tertutup rapat.

Naya tetap berdiri di tempat, memandangi pintu kamar mandi yang kini memisahkan mereka. Ada yang aneh. Perhatian Arsen terasa berbeda lebih hangat, lebih... tulus. Seolah ada sesuatu yang mulai berubah.

Namun bukan itu yang membuat Naya gelisah. Yang membuatnya benar-benar resah… adalah dirinya sendiri, yang tanpa sadar berharap perubahan itu nyata.

Dengan cepat, Naya menggeleng. Tidak. Ini semua tidak boleh terjadi. Ia tahu siapa dirinya. Ia tahu batasnya. Dan ia juga tahu, bahwa berharap pada Arsen hanya akan membuatnya kembali terpuruk... sendirian, dengan luka yang lebih dalam dari sebelumnya.

Ia mencoba menarik napas, menenangkan diri.

Namun detik berikutnya, matanya membelalak.

Arsen keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang. Tetesan air masih mengalir dari rambutnya, menyusuri lekuk dada dan perutnya yang berotot. Pemandangan itu begitu nyata di depan mata, dan Naya membeku di tempat.

“Aku lupa bawa baju ganti,” ujar Arsen santai, berjalan ke lemari pakaian tanpa sedikit pun rasa bersalah atas penampilannya yang nyaris telanjang.

Naya buru-buru membalikkan badan, wajahnya memanas. “Pa—paman… bisa nggak pakai baju dulu? Itu… nggak sopan.”

“Kenapa? Ada yang salah,” jawab Arsen, sedikit menggoda. “Lagipula kita suami istri, kan?”

“Paman!” Nada Naya meninggi, tapi lebih terdengar gugup ketimbang marah.

Arsen tertawa kecil, rendah dan dalam, lalu mengambil baju dari dalam lemari yang entah sejak kapan tanpa Naya sadari ada di sana.

“Oke, oke,” ucapnya sambil melangkah ke arah kamar mandi lagi, “aku pakai baju dulu. Biar kamu nggak pingsan karena syok.”

Pintu kamar mandi kembali tertutup. Naya memejamkan mata, menunduk, berusaha meredakan debaran jantungnya yang berlari liar tak karuan. Tubuhnya panas, bukan karena malu semata, tapi karena ada sensasi lain yang sulit ia jelaskan. Sentuhan hawa hangat yang menjalar hingga ke kulit lehernya, mengusik nalar.

"Astaga, Naya..." bisiknya pelan, nyaris memohon pada dirinya sendiri agar tidak terlalu hanyut.

Tapi ia tahu, sejak beberapa hari terakhir, Arsen bukan lagi sosok dingin yang hanya bicara untuk menyudutkannya. Ada yang berubah. Sentuhannya waktu memapah tubuhnya keluar dari rumah sakit. Cara dia menatapnya saat menyuapkan bubur. Cara dia diam-diam mengelus perutnya tanpa sadar.

Dan itu semua… membuat pertahanannya mulai runtuh.

Pintu kamar mandi kembali terbuka. Kali ini Arsen sudah mengenakan kaus abu-abu dan celana panjang longgar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berjalan santai ke arah sofa.

“Tenang aja, aku tidur di sini,” ucapnya ringan. Tapi matanya masih sempat melirik Naya yang masih mematung di sisi ranjang.

“Aku nggak akan ganggu kamu,” tambahnya, setengah berbisik.

Naya tak menjawab. Ia kembali berbaring, membelakangi Arsen. Tapi mata tak kunjung terpejam. Detik berdetak lambat. Rasa gugup dan hangat itu tak juga pergi.

“Paman, apa Paman menggunakan sesuatu di kamar ini?” tanya Naya.

“Sesuatu apa?”

“Entahlah, aku merasa badanku tidak enak. Kayak ada semacam dorongan...? Ah... aku tidak bisa menjelaskan,” ucap Naya yang malu sendiri.

Arsen sepertinya paham dengan apa yang dikatakan Naya. Meskipun dirinya seorang dokter bedah umum, ia juga sempat membaca buku tentang kehamilan. Iya, memang tidak semua ibu hamil akan mengalami hal semacam ini, tapi mungkin Naya mengalaminya.

“Nay, kamu calon dokter, bukan?” Arsen mendekat, suaranya tenang tapi serius. “Aku bukan ingin memanfaatkan keadaan… tapi kamu tahu, hormon ibu hamil itu tentu berubah. Tidak sama lagi seperti waktu kamu masih gadis.”

Naya menggigit bibir bawahnya, tidak menjawab. Ia masih membelakangi Arsen, tapi bisa merasakan kehadirannya yang kini duduk di tepi ranjang, jaraknya terlalu dekat.

“Estrogen kamu naik, aliran darah meningkat, tubuh kamu bereaksi lebih peka. Sensitif,” lanjut Arsen pelan, seperti sedang menjelaskan hal medis, tapi nadanya terdengar terlalu lembut. “Itu normal, bukan aneh.”

Naya memejamkan mata erat. Ia tahu semua itu. Pernah membaca, pernah mencatat. Tapi sekarang tubuhnya sendiri yang mengalaminya, dan rasanya jauh lebih memalukan daripada teori di atas kertas.

“Kenapa aku merasa seperti... seperti aku bukan aku sendiri,” gumamnya.

“Karena kamu sedang menciptakan kehidupan di dalam tubuhmu,” Arsen menyentuh bahunya pelan. “Dan tubuhmu menyesuaikan. Tapi kamu tetap kamu, Nay.”

Naya membalikkan badan perlahan, menatap Arsen dengan mata berkabut kebingungan. “Lalu kenapa Paman tidak menjaga jarak? Kalau Paman paham, tolong menjauh dan jangan menggodaku.”

Arsen menarik napas panjang. Ia menatap mata Naya lama. “Baiklah, maafkan aku. Kalau aku tahu kamu akan mengalami ini, aku tidak akan menggodamu lagi.”

Keheningan jatuh. Hanya napas mereka yang terdengar, saling mencari ruang dalam malam yang terasa terlalu sempit untuk dua hati yang mulai genting.

“Aku bisa keluar kalau kamu mau,” kata Arsen akhirnya. “Tapi kalau kamu minta aku tinggal... aku akan tetap di sini. Menjagamu.”

Naya menunduk. Ia tahu, keputusan ada di tangannya sekarang. Suara hatinya terbelah dua—antara logika yang ingin menjauh, dan perasaan yang diam-diam ingin Arsen tetap tinggal.

Tangannya mengepal di balik selimut, apa yang harus dia katakan?

1
@$~~~rEmpEyEk~~k@c@Ng~~~$@
kaannn anak sama bapak sama brengseknya. cuman karna ingin menguasai harta yang bukan miliknya. ishh issshhh issshhhh jahaaatttt
@$~~~rEmpEyEk~~k@c@Ng~~~$@
roki jahaaatttt
Nur Nuy
jahat banget si rokok pengen gua sumpal mulutnya gue buang ke empang
Hayurapuji: buat makanan ikan lele ya kak
total 1 replies
partini
jahat sekali ,,
Hayurapuji: kasian ke Puput gak sih kak?
total 1 replies
Milla
next min
Nur Nuy
seru pokoknya
Nur Nuy
lanjutkan
Hayurapuji: siap kakak
total 1 replies
Anbu Hasna
1 mawar untuk Naya.
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Uswatun Kasanah
Next Thor /Rose//Rose/
Hayurapuji: siap ditunggu ya kak
total 1 replies
Hayurapuji
yang mau double up, yuks beri like, komentar dan bintangnya kakak, biar semangat autornya ikut menyala.

terimakasih
Hayurapuji: ditunggu ya kak malam ini, hehe
css: mau dong kak
total 2 replies
partini
jreng jreng
Hayurapuji: jadi apa ayo jadi apa, tolong dibantu
total 1 replies
css
next
Hayurapuji: siap kakak
total 1 replies
Anbu Hasna
Itu namanya cemburu, Om
mely
mantap....
Nifatul Masruro Hikari Masaru
kok nggak jujur aja sih arden itu
Nifatul Masruro Hikari Masaru
wah keceplosan nih
Sinta bule
dauble up thour 🙏🙏
Hayurapuji: siap kak, ditunggu masih review
total 1 replies
partini
Arsen agak Laen loh ,,, cembukur
Hayurapuji: gak sadar dia kyaknya
total 1 replies
@$~~~rEmpEyEk~~k@c@Ng~~~$@
arsen gak satset. salah paham. mulu😢😢
Hayurapuji: hehehhe iya itu kak
total 1 replies
partini
busehhhh Arsen muter muter kaya obat nyamuk deh ,,apa nunggu Naya mau wasalam baru jujur ihhh gumussss , break dulu lah esmosi bacanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!