Dilahirkan dalam keluarga kaya, Alea Lily Armstrong tumbuh dalam penolakan. Dianggap pembawa sial, ia dikucilkan dan dibenci. Luka hati mengubahnya menjadi wanita dingin. Pertemuannya dengan Alexander, ketua mafia terluka, membawanya ke dunia gelap.
Lea menjadi "Ratu Mafia Tersembunyi," menyembunyikan identitasnya. Dendam membara, menuntut pembalasan atas luka lama. Di tengah intrik mafia, Lea mencari keadilan. Akankah ia temukan kebahagiaan, ataukah dendam menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chery red, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Badai yang Menghebat
Jeritan Tiara memecah keheningan koridor pagi. "AAAAAAAAA! Tidak! Tidak mungkin!" Ia menghentakkan kakinya ke lantai keramik sekolah, wajahnya merah padam menahan amarah dan frustrasi yang membara. Matanya nanar menatap punggung Axel yang dengan santainya berjalan beriringan dengan Alea, mengabaikannya sepenuhnya.
Axel, sang 'cowo most wanted' yang selama ini mati-matian ia kejar, yang tak pernah sedikit pun meliriknya, kini justru menawarkan diri mengantarkan Alea ke kelasnya. Pemandangan itu adalah penghinaan terbesar bagi Tiara. Teman-teman Tiara yang lain hanya bisa saling pandang, tidak berani mendekat atau menenangkan Tiara yang sedang dilanda amarah.
Di lain sisi, Alea berjalan tenang di samping Axel. Ia tidak merespons ajakan Axel dengan antusiasme apa pun, tatapannya tetap datar, namun ia tidak menolak kehadiran Axel. Axel, dengan pembawaannya yang dingin, sesekali melirik Alea, mencoba membaca ekspresi di wajah gadis itu yang nyaris tanpa emosi. Ada kepuasan samar di balik tatapan mata Alea saat ia merasakan gelombang amarah Tiara yang memancar dari belakang. Ia tahu, langkahnya bersama Axel adalah pernyataan, sebuah provokasi yang disengaja.
Saat jam istirahat tiba, kantin sekolah mendadak ramai. Aroma berbagai makanan bercampur baur, diiringi riuh rendah suara para siswa yang bersenda gurau maupun yang berteriak keras memesan makanan, bergosip dengan temannya tentang kejadian tadi pagi di gerbang. Alea memilih meja di sudut, jauh dari keramaian, dan memesan semangkuk bakso. Ia hanya ingin menikmati ketenangan.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Axel, ditemani oleh ketujuh temannya yang berpengaruh—anak-anak jenderal, pengusaha, dan bangsawan—melangkah masuk ke kantin. Kehadiran mereka langsung menarik perhatian, menciptakan bisikan dan tatapan penasaran. Mata Axel langsung tertuju pada Alea yang duduk sendirian.
Dengan langkah mantap, Axel berjalan ke arah Alea. Teman-temannya yang lain dengan sigap menyingkirkan beberapa tas di meja kosong di samping Alea, seolah mempersiapkan tempat. Axel tersenyum tipis pada Alea, sebuah senyum langka yang hanya pernah dilihat oleh lingkaran dalamnya. "Sendirian?" tanyanya, suaranya lembut, mengambil tempat duduk di samping Alea.
Alea mendongak, matanya yang dingin bertemu pandang dengan Axel. "Tidak," jawabnya singkat.
"Ada botol kecap, saus, sambal dan cuka. Juga gelas minum." sambung Alea sambil menunjuk ke benda-benda yang dia sebut barusan yang ada didepannya.
"Aku temanmu, berarti tidak sendirian," balas Axel dengan santai, mengabaikan jawaban Alea. Teman-temannya yang lain mengambil tempat duduk di sekeliling meja Alea, membentuk lingkaran pelindung tak kasat mata. Mereka mulai mencoba beramah-tamah, melontarkan pertanyaan ringan, meskipun Alea hanya menjawab seadanya.
Pemandangan itu tidak luput dari perhatian Tiara. Dari kejauhan, matanya membelalak tak percaya. Axel, bersama teman-temannya yang tak tersentuh, duduk di meja Alea, bahkan mencoba berbincang dengannya. Tiara mendidih. Ini adalah kesempatan emas yang seharusnya ia miliki! Dengan langkah cepat yang dipenuhi amarah, ia menerobos kerumunan dan menghampiri meja Alea.
"Hei.. Minggir ...Itu tempatku!" teriak Tiara, menunjuk kursi di sebelah Axel, meskipun kursi itu baru saja dikosongkan oleh teman Axel untuk mereka duduk. Tanpa peringatan, ia menarik kursi yang sedang diduduki Axel, membuat Axel sedikit terkejut namun tetap tenang. "Dasar perebut! Kau pikir kau bisa merebut Axel dariku?!"
Tepat pada saat itu, David dan Devan masuk ke kantin. Melihat Tiara yang marah dan Alea yang duduk di meja yang sama dengan Axel, mereka segera menghampiri. Tanpa bertanya, David langsung mendorong tubuh Alea dengan keras.
"Dasar tidak tahu malu! Beraninya kau merebut tempat Tiara?!" bentak David.
Alea tersentak, keseimbangannya hilang. Tubuhnya tersungkur ke depan. Malang bagi Alea, dahinya terantuk ujung meja dengan keras. Rasa sakit menusuk, dan darah mulai merembes. Axel dan teman-temannya terkejut, beberapa hendak membantu, namun Alea sudah terlanjur jatuh.
Devan, mendengar aduan Tiara yang menggebu-gebu, "Dia mau merebut tempat dudukku di sebelah Axel, David! Dasar jalang!", tanpa ragu ikut melayangkan tangannya. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Alea.
"Dasar parasit! Beraninya kau mencoba membuat Tiara menangis dan mempermalukan nya didepan Axel?!" teriak Devan, wajahnya penuh amarah.
Alea merasakan pipinya panas dan nyeri, darah di dahinya mulai menetes. Namun, ia tidak menangis, tidak menjerit. Ia hanya bangkit perlahan, mengabaikan rasa sakit dan tatapan terkejut dari siswa lain yang mulai mengerumun. Matanya, bagai lubang hitam, menatap David dan Devan dengan tatapan dingin, tanpa emosi, tanpa dendam, hanya sebuah kekosongan yang menakutkan. Ia bahkan tidak membalas tatapan Axel yang penuh kekhawatiran dan amarah yang mulai terlihat.
Tanpa sepatah kata pun, Alea berbalik, meninggalkan meja kantin yang kacau itu. Makanan yang dipesannya, yang belum sempat disentuh, tetap di sana. Axel, melihat Alea pergi, segera bangkit. "Lea... Lea... Alea! Tunggu!" panggilnya, melangkah cepat, mengabaikan Tiara dan David-Devan yang masih terpaku.
Alea tidak menoleh. Ia bergegas kembali ke kelas, meraih tasnya tanpa peduli pada pandangan teman sekelasnya. Dengan dahi yang bengkak dan berdarah, ia langsung menuju ruang guru piket.
"Ibu, saya minta izin pulang," ucap Alea, suaranya tetap datar meskipun tubuhnya sedikit gemetar menahan sakit. Ia menunjukkan dahinya yang terluka.
Guru piket terkejut melihat luka Alea yang cukup parah. "Ya ampun, Alea! Ada apa ini? Mengapa dahimu terluka dan berdarah? Ayo pergi ke UKS!' perintah guru piket pada Alea. Namun Alea menggelengkan kepalanya . Menolak perintah guru piket. " Saya akan ke rumah sakit untuk mengobatinya. Kemungkinan perlu di jahit." pinta Alea.
"Tentu, tentu, segera pulang dan obati! Apa perlu Ibu panggilkan orang tua?"
"Tidak perlu, Bu. Saya bisa sendiri," jawab Alea cepat, menolak tawaran itu. Ia tidak ingin Richard atau siapa pun dari keluarganya dipanggil. Itu hanya akan memperparah masalahnya.
Mendapatkan izin, Alea segera keluar dari sekolah. Ia tak memesan ojek online. Kakinya melangkah cepat, menyusuri jalanan, menuju satu-satunya tempat yang terasa aman dan memberinya kekuatan: klinik kecil tempat Alexander dirawat selama ini.
Dokter Surya, yang sudah terbiasa dengan kedatangan Alea dengan luka-luka baru, segera mengobatinya. Ia membersihkan luka di dahi Alea dengan hati-hati, mengoleskan antiseptik, dan membalutnya. Selama proses itu, Alea tak bersuara, hanya diam dan sesekali meringis menahan pedih di lukanya.
Setelah selesai, Dokter Surya membiarkan Alea masuk ke paviliun Alexander. Alexander, yang kini sudah bisa duduk lebih lama di kursi roda, mengamati luka di dahi keponakannya. Ada kilatan amarah di matanya, namun ia menahannya.
"Duduk, Alea," perintahnya, suaranya tenang namun tegas. "Ceritakan apa yang terjadi."
Alea menceritakan insiden di kantin dengan detail, tanpa emosi. Alexander mendengarkan dengan saksama. Pancaran mata penuh amarah ketika mendengar bagaimana Devan mendorong tubuh keponakannya dan menyebabkan dahi keponakan nya terluka. Tangan Alexander yang sehat mengepal erat di atas pahanya. Namun dia mencoba memenangkan dirinya, meredam emosi di hatinya. Dia bersumpah akan membuat keluarga sialan itu membayar semua perbuatannya pada Alea.
Tak lama kemudian Alexander mulai memberikan pelajaran yang lebih dalam. Ia menjelaskan tentang negosiasi, bagaimana membaca lawan bicara, menggunakan bahasa tubuh, dan memanipulasi situasi tanpa kekerasan. Ia mengajarkan Alea tentang strategi bisnis, bagaimana aliran uang bekerja, bagaimana kekuasaan dipegang di balik layar, dan bagaimana menemukan kelemahan lawan di dunia korporasi yang kejam.
"Dunia ini adalah permainan catur, Alea," Alexander berujar, menunjuk pion dan ratu di papan catur yang kini sering mereka gunakan untuk latihan strategi. "Dan kau harus tahu bagaimana menggerakkan setiap bidak, termasuk dirimu sendiri. Jangan hanya bereaksi. Berpikir satu langkah di depan mereka. Tiga langkah. Lima langkah."
Alexander melihat pantulan tekad yang membara di mata Alea. Ia tahu, rasa sakit dan penghinaan yang terus-menerus dirasakan Alea adalah pupuk yang menyuburkan benih kekejaman dan kekuatan dalam dirinya. Sebuah senjata yang sempurna sedang diasah, langkah demi langkah, untuk menghadapi pertempuran yang jauh lebih besar di masa depan.