NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:202
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8: GEJALA YANG MENUTUP GEJALA LAIN

Reza menatapnya, bingung. "Apa maksudmu—tentu saja kamu keracunan. Ra, kamu baru saja melihat ikan terbang. Itu definisi dari halusinasi."

"Bukan," kata Rania. Suaranya rendah dan mendesak. Dia tidak melepaskan pandangannya dari pria berpayung di seberang lobi. "Za, 'Si Tuli' tidak bereaksi karena aku *bau* jamur. Dia bereaksi *kepadaku*. Dia bilang aku 'bernyanyi'. Lagu yang salah."

"Dia orang gila, Ra. Dia—"

"Dan pria itu," Rania memotong, suaranya nyaris tak terdengar. Dia mengangguk tipis ke arah mesin penjual minuman. "Dia mengawasiku."

Reza mengikuti pandangannya. Dia melihat pria biasa berpenampilan membosankan itu. Dia melihat korannya. Lalu dia melihat payung lipat hitam yang bersandar di dinding. Dia melihat tetesan air kecil yang menggenang di lantai linoleum di bawahnya.

"Oke..." kata Reza pelan, otaknya yang rasional bekerja keras. "Itu aneh. Payungnya basah. Tapi di luar tidak hujan. Mungkin dia baru turun dari mobil yang AC-nya bocor? Atau dia... pelupa?"

"Tetesannya masih segar, Za. Lantainya masih basah," bisik Rania. "Dan dia tidak sedang membaca. Dia sedang menunggu. Dia menatapku saat kita masuk."

Sebuah keheningan yang tidak nyaman menggantung di antara mereka, terpotong oleh suara parau dari interkom.

"Rania... Rania... Silakan ke Meja Triage."

Nama palsu. Reza telah mendaftarkannya dengan nama belakang yang berbeda—tindakan paranoid kecil yang tiba-tiba terasa sangat masuk akal.

Reza menghela napas, mengusap wajahnya. "Dengar. Kita *sudah* di sini. Oke? Pria itu mungkin hanya orang aneh. 'Si Tuli' memang orang gila. Tapi kamu... kamu jelas sedang tidak baik-baik saja. Kita harus menyingkirkan kemungkinan medis. Anggap saja ini *checklist*."

Rania mengangguk. Logika itu masuk akal. Satu langkah demi satu langkah.

Dia berjalan ke meja *triage*, Reza mengikutinya dari belakang seperti pengawal yang gugup.

"Gejalanya apa?" tanya perawat *triage* itu, matanya tidak pernah terangkat dari layar komputernya.

Rania berjuang untuk merangkai kata-kata yang "waras". Ini adalah ujian pertamanya: bagaimana menjelaskan yang mustahil tanpa dikurung?

"Disorientasi parah," kata Rania. Suara arsiteknya yang tenang dan analitis mengambil alih. "Pusing. Saya mengalami halusinasi visual yang jelas... pola geometris. Dan halusinasi penciuman—bau seperti ozon atau logam terbakar."

Perawat itu mengetik. "Ada kemungkinan penggunaan narkoba?"

"Tidak. Sama sekali tidak," kata Rania tegas.

"Riwayat kesehatan mental?"

"Tidak ada. Tapi," Rania menambahkan, memainkan kartu as-nya, "saya curiga saya terpapar jamur hitam beracun dalam konsentrasi tinggi sekitar... delapan belas jam yang lalu. Di bangunan tua yang ventilasinya buruk."

*Itu.*

Mata perawat itu akhirnya terangkat. Dia menatap Rania. "Jamur hitam?"

"Ya. *Stachybotrys chartarum*," kata Rania, mengutip temuan Reza.

Perawat itu mengangguk, kini mengetik dengan lebih serius. Paparan toksin adalah sesuatu yang mereka pahami. Itu adalah kotak yang bisa mereka centang.

"Baik. Tunggu di ruang tunggu. Dokter Aris akan memanggil Anda."

Mereka kembali ke kursi plastik yang keras. Pria berpayung itu masih di sana, tersembunyi di balik korannya.

Dua puluh menit—yang terasa seperti dua puluh tahun—berlalu. Setiap kali seseorang bergerak, Rania tersentak. Dia merasa terekspos di bawah cahaya neon yang kejam. Dia tidak bisa berhenti memikirkan "Si Tuli" yang menjerit. *Dia bilang aku bernyanyi.*

"Rania?"

Dokter Aris adalah seorang pria kurus, tampak kelelahan, dengan kantung mata sehitam kopi Reza. Dia adalah perwujudan dari *burnout* yang Rania takuti.

Mereka mengikutinya ke bilik pemeriksaan kecil yang dipisahkan oleh tirai tipis.

"Oke, Rania. Perawat bilang Anda curiga keracunan *mycotoxin*," kata Dokter Aris, sambil memindai catatan di tabletnya. "Itu diagnosis yang sangat spesifik. Apa yang membuat Anda berpikir begitu?"

Rania mengulangi ceritanya, versi yang telah disunting. Bangunan tua, bau apek, pusing, halusinasi pola geometris, bau ozon. Dia sengaja menghilangkan bagian "ikan", "refleksi cermin yang tersenyum", dan "langit-langit yang bocor oli hitam".

Dokter Aris mendengarkan dengan sabar. Dia mengambil senter kecil dan memeriksa pupil mata Rania. "Ikuti cahaya. Bagus." Dia mengambil stetoskop, mendengarkan pernapasannya. "Tarik napas dalam. Hembuskan." Dia memeriksa tekanan darahnya.

"Tekanan darah Anda tinggi," katanya, mencatat. "140/90. Tapi itu konsisten dengan kecemasan akut. Pernapasan Anda bersih. Tidak ada mengi. Pupil Anda reaktif terhadap cahaya. Tidak ada ruam kulit yang terlihat."

Dia meletakkan tabletnya.

"Dengar, Bu Rania," katanya dengan nada lelah yang profesional. "Tes toksikologi spesifik untuk *mycotoxin* di UGD itu... tidak ada. Itu adalah tes darah rumit yang harus dikirim ke lab khusus dan butuh waktu berhari-hari. Kami di sini untuk menangani yang akut: Apakah Anda akan mati dalam satu jam ke depan? Jawabannya, tidak."

"Tapi halusinasi itu..." Rania mendesak.

"Sangat mungkin." Dokter Aris mengangguk. "Tapi gejala yang Anda deskripsikan—pusing, disorientasi, bau aneh, melihat pola, tekanan darah tinggi—juga merupakan gejala *klasik* dari serangan panik yang parah, yang dipicu oleh kelelahan ekstrem dan stres."

Rania merasakan darahnya menjadi dingin. Ini adalah skenario yang dia takuti.

"Dokter, saya seorang arsitek. Saya tahu stres," kata Rania, suaranya menajam. "Ini bukan stres. Ada cairan hitam bocor dari langit-langit saya."

Dokter Aris menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Rania melihat tatapan itu. Bukan lagi tatapan dokter, tapi tatapan terhadap pasien *delusional*.

"Cairan... hitam," ulang Dokter Aris pelan.

"Itu mungkin bagian dari halusinasi taktil," sela Reza cepat, mencoba menyelamatkan situasi. "Racun jamur itu bisa meniru halusinasi fisik, kan?"

Dokter Aris menghela napas. Dia kembali ke mode profesionalnya. "Bisa saja. Tapi saat ini, tidak ada yang bisa saya tangani secara klinis. Anda tidak demam. Vital Anda stabil. Saya tidak bisa memberi Anda resep anti-jamur hanya berdasarkan kecurigaan."

Dia merobek selembar kertas dari buku resepnya.

"Ini resep untuk penenang ringan. Dosis rendah," katanya. "Ambil cuti tiga hari. Tidur. Sungguh-sungguh tidur. Jauhi... 'bangunan tua' itu. Jika gejalanya berlanjut setelah Anda istirahat, temui dokter umum Anda dan minta rujukan ke ahli toksikologi. Dan mungkin... seorang konselor."

Dia menyerahkan resep itu pada Rania.

Resep itu terasa seperti penghinaan. Itu adalah kertas yang menyatakan dia "gila" secara medis.

"Terima kasih, Dok," kata Reza getir, menarik Rania yang tertegun keluar dari bilik itu.

Mereka berjalan kembali melintasi lobi UGD dalam diam. Resep itu terasa berat di tangan Rania. Dunia medis, pilar logika dan sains, telah gagal total. Mereka telah menawarinya pil tidur untuk sebuah realitas yang retak.

"Dia pikir aku gila," bisik Rania, suaranya hampa.

"Dia dokter UGD yang kelelahan," geram Reza. "Dia mencari patah tulang dan serangan jantung, bukan... ini."

Rania berhenti.

Mesin penjual minuman.

Pria berpayung itu sudah pergi.

Rasa lega yang aneh dan singkat menyelimuti Rania. "Lihat? Dia pergi. Mungkin... mungkin aku salah. Mungkin itu hanya kebetulan. Mungkin aku benar-benar hanya..."

Dia tidak bisa menyelesaikan kalimat itu.

Mereka mendorong pintu kaca UGD yang berat dan melangkah keluar ke panasnya trotoar.

Pria berpayung itu ada di sana.

Dia berdiri di dekat pangkalan taksi, sekitar dua puluh meter jauhnya, membelakangi mereka. Seolah-olah dia sedang menunggu tumpangan.

Jantung Rania berdebar begitu keras hingga terasa sakit. Dia bukan halusinasi. Dia nyata. Dia *mengikuti* mereka.

"Za..." bisik Rania, mencengkeram lengan Reza.

Reza melihatnya. "Sialan," bisiknya. "Oke, tenang. Jangan tatap dia. Kita jalan saja ke arah lain—"

Saat itu, sesuatu terjadi.

Sesuatu yang kecil, cepat, dan berwarna oranye terang.

Rania melihatnya lebih dulu. Salah satu "Ikan Gema" kecil—seukuran telapak tangan—meluncur turun dari langit, berenang cepat ke arah mereka.

"Tidak, tidak, tidak..." Rania mulai panik, dia akan terlihat gila lagi di depan Reza.

Tapi pria berpayung itu bergerak.

Dengan gerakan yang tenang dan terlatih, dia membuka payung lipat hitamnya.

*Klik-hiss.*

Dia mengangkatnya ke atas kepalanya, tepat pada waktunya. Langit cerah, matahari bersinar. Itu adalah pemandangan yang absurd.

Ikan Gema oranye itu, yang terbang lurus ke arah Rania, menabrak kain nilon hitam payung itu.

*SSSSSSSSHHHH...*

Itu adalah suara yang nyata. Suara desisan yang tajam, seperti air menetes di wajan yang sangat panas. Asap tipis berwarna keperakan mengepul dari permukaan payung itu.

Dan Ikan Gema itu... lenyap. Hancur. Terhapus dari realitas.

Rania dan Reza berdiri membeku.

Pria itu, dengan ketenangan yang sama, melipat payungnya. Dia menggoyangkannya sekali, seolah-olah baru saja menepis air hujan. Dia tidak menoleh. Dia tidak berlari.

Dia memasukkan payung itu ke dalam tas kerjanya, menyeberang jalan, dan menghilang di antara kerumunan.

Keheningan.

Reza adalah yang pertama bergerak. Dia menelan ludah, suaranya serak dan penuh ketakutan.

"Ra..."

"Kamu lihat itu?" tanya Rania, suaranya gemetar.

"Aku... aku tidak melihat... ikannya," kata Reza, matanya terpaku pada tempat pria itu berdiri. "Tapi aku lihat asapnya. Aku... aku menciumnya. Bau... bau ozon. Seperti kabel terbakar."

Validasi.

Itu adalah validasi paling menakutkan yang pernah diterima Rania.

Ini bukan jamur. Ini bukan psikosis. Ini bukan halusinasi.

Itu nyata. Ikan-ikan itu nyata. Dan pria itu... pria itu *memburu* mereka. Dan dia tahu Rania bisa melihatnya.

Rania menatap resep penenang di tangannya. Dia meremas kertas itu menjadi bola kecil yang padat di telapak tangannya.

Ketakutannya tidak hilang, tetapi kini terfokus. Kemarahan yang dingin dan analitis—kemarahan seorang arsitek yang desainnya dirusak—mengambil alih.

"Dia bukan pengamat," kata Rania pelan, matanya menatap tajam ke kerumunan tempat pria itu menghilang. "Dia... pembersih. Atau pemburu."

"Ya Tuhan, Ra," Reza gemetar. "Apa... apa yang kita lakukan? Kita ke polisi?"

"Dan bilang apa?" Rania mendengus. "Kita kembali ke awal."

Dia berbalik menghadap Reza, matanya kini jernih dengan tujuan yang baru dan menakutkan.

"Kita tidak butuh dokter. Kita tidak butuh polisi. Kita butuh jawaban. Kita perlu tahu *apa* ini."

"Jawaban apa? Di mana kita mencarinya?"

Rania menatap kembali ke arah kafe mereka. Ke arah apartemennya.

"Kita kembali ke tempat di mana kamu bilang jamur itu berasal," katanya. "Kita kembali ke kafemu. Kita akan periksa ruang bawah tanah itu. Kita akan cari 'Sang Geometer'."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!