Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SRI MENGUPING
"Sam, terima kasih ya. Berkat bantuanmu, Sri tidak mencurigai diriku, heheheh. Nuwus ilakes." Karmin terkekeh.
[Nuwus \= suwun \= matur suwun \= terima kasih]
[Ilakes \= sekali]
Pria cungkring itu mendatangi rumah sahabatnya sesaat setelah warung baksonya tutup. Dia berpamitan kepada Sri apa adanya. Dia bilang bahwa dia akan ke rumah Marsam untuk meminta maaf terkait perbuatan Sri semalam, yang telah berani datang ke rumah Sulis dan mengganggu jalannya permainan antara Sulis dan Marsam.
"Terima kasih saja? Yo kecut, Min!" Marsam mencebik. "Minimal rokok satu slop, hehehe." Dia tergelak senang.
"Woiya, jelas. Jangankan satu slop, satu karton pun akan aku belikan, wekekekek." Karmin nampak mengangguk pasti.
"Sebutkan saja merek rokok yang kamu sukai, aku akan memborongnya untukmu," tandasnya.
"Oyi, Min. Oyi. Umak memang mantab!" Marsam pun manggut-manggut senang.
"Bagaimana kelanjutan semalam? Apakah Sulis mau kau garap lagi?" Karmin melanjutkan obrolan.
"Ah, dia hanya h**ot kalau mainnya bareng kamu, Min. Kalau cuma berdua dengan aku, dia nampak angot-angotan." Marsam menyulut cerutu di bibirnya lalu menyesapnya dengan khidmat.
"Aku sih cuma dijadikan semacam pelarian, hahaha. Kalau dalam permainan di masa kecil kita dulu, namanya ya Popok Bawang. Hahaha." Kawan Karmin itu tergelak.
"Mainmu kurang greng mungkin, Sam." Karmin mencebik. "Makanya, minum jamu, kasih telor bebek, hahahay," kelakarnya.
"Bukan begitu. Sulis itu sebenarnya memang hanya menyimpan rasa kepadamu, kalau kepadaku sih ... dia cuma melayani karena nafffsu dan uang. Jadi beda lah ya, dia melayanimu sepenuh hati dan melayaniku tanpa hati dan perasaan, wakakaak. Ah, ruwet," kata Marsam.
Karmin mencebik lagi. "Sebenarnya aku juga tahu sih."
"Lalu kenapa kamu mengajakku main triisyaam Cuk? Dasar aneh! Kamu punya kelainan Yo?" Sahabat Karmin itu menautkan kedua alisnya dengan lirikan tajam.
"Sebenarnya hanya untuk jaga-jaga saja, Sam. Jiaaah ... masak kamu kagak ngerti maksud aku sih? Ya kalau aku gak ngajak kamu, bisa mampus aku kalau ketahuan Sri kayak malam itu." Kini Karmin juga menyalakan cerutu di bibirnya.
"Wah, jadi aku ini hanya berfungsi untuk tameng nih." Bibir Marsam mengerucut panjang.
"Bukan, Sam. Bukan begitu maksud ayas. Kita ini kan sahabat, jadi aku minta tolong lah, heheheh. Toh kita ini sama-sama mendapatkan keniqmatan, kan?" Karmin terkekeh.
"Tapi kamu jangan mendatangi Sulis lagi lho kalau aku gak ngajak. Awas kamu kalau mengganggu dia waktu gak ada aku. Kupotong burungmu lalu kujadikan pentol, wakakak," lanjutnya lalu terbahak.
"Iya, iya. Ayas paham. Atur saja gimana enaknya asal ente bahagia lahir batin dunia akhirat!" Marsam tersenyum miring seraya menikmati kepulan asap yang menguar di wajahnya.
"Umak memang sahabat terbaiqq sepanjang sejarah kemiskinan Indonesia, wakakak."
"Hush! Lambemu! Ditembak Pak Harto lho nanti ente, Min!" Karmin terkekeh.
"Pak Harto yang mana? Itu ada Suharto penjual tempe bungkil di pasar." Karmin menimpali.
"Asu si Karmin, jadi dia mengajak ayas main triisyaam hanya demi kepentingan dia semata? Lha gimana kalau ayas tiba-tiba pengen main sama Sulis lagi? Ah, pikir mburi wae lah. Emang dia doang yang bisa bermain cerdas?" Hati Marsam berbisik sebal.
"Kok melamun, Sam?" Suara Karmin mengagetkan lamunan sahabatnya.
"Lagi mikirin gimana seandainya Sri tahu yang sebenarnya, Min? Dia kagak tahu kan kalau umak sering nge-cas di rumah Sulis?"
"Ah, gak sering, kok. Baru dua kali. Sebelumnya ya nge-cas sekali, terus bareng kamu itu, Sam."
"Gak sayang nih, umak mengajak ayas main triisyaam bareng gebetan kesayangan umak? Masa baru main sekali udah main triisyaam? Nanti gimana kalau si Sulis ket*gihan burung ayas? Wakakakak." Marsam tergelak.
"Sebenarnya yang ngasih saran main triisaam itu ya Sulis sendiri, Sam."
"Wasem! Edian! Opo iyo?"
"Iyo, Sam. Sulis bilang kalau untuk tujuan keamanan, dia mau kalau kami main triisyaam. Mungkin dia merasakan firasat buruk terkait kedatangan Sri lah ya." Karmin menjelaskan.
"Sri itu kayak hantu soalnya. Suka muncul tiba-tiba," tandasnya.
Saat itulah Karmin tidak menyadari kalau istrinya tengah merekam seluruh ucapannya dengan handphone sambil bersembunyi di balik pagar di samping rumah Marsam. Sepasang sahabat yang sedang ngopi sambil merokok dan bercengkrama itu tidak tahu kalau gerak-gerik mereka sedang diawasi.
"Kamu sudah tidak mencintai Sri tah, Min?" Marsam tiba-tiba merubah topik pembicaraan.
"Enggak."
"Blasss? Sama sekali?"
"Oyi. Blasss gak ada cinta. Sudah hambar dan seperti lebih ke rasa jijik dan geli."
"Lho? Kok gitu? Kenopo?"
"Umak lihat sendiri itu body Sri, mirip gapura selamat datang di perbatasan Kota dan Kabupaten Malang, wakaakak." Karmin tergelak hingga tersedak ludahnya sendiri.
"Owalah, Sri, Sri. Sri itu sebenarnya cantik, lho, Min. Hanya saja dia gembrot. Jadi, nampak kurang menarik, heheheh. Kasih lah uang untuk senam ke sanggar saja kalau kamu gak ada uang untuk membiayai dia fitnes ke tempat nge-gym!"
"Haaah? Buat apa ke sanggar senam atau ke tempat nge-gym? Dah lah, gembrot ya gembrot aja." Si Karmin berdecak.
"Kalau umak udah gak cinta ya buang saja lah. Umak cari istri yang cantek dan menarik! Jangan selingkuh! Nanti runyam urusannya kalau ketahuan." Marsam mencebik.
"Oh, tidak bissaa! Sri itu harus tetap jadi istri ayas, Sam. Karena ayas masih butuh dia." Karmin menyeringai.
"Umak butuh Sri karena Mbah Samijan meminta tubuh binimu yang jadi media ritual itu?" Marsam memicing.
"Yups. Dukun itu udah terlanjur suka sama t*buh gembrot si Sri, Sam. Aku ya butuh t*buh Sri untuk mendatangkan para pelanggan. Umak tahu lah berapa hutangku di Bawon." Karmin nampak mendesah panjang.
"Sri tahu gak kalau setiap pergi ke rumah Mbah Samijan dia digagahi dukun itu?"
"Sssssstttt! Jangan kenceng-kenceng, Cuk! Ya gak tahu lah. Dia kira itu ayas yang k*win sama dia. Padahal ayas mah ngopi di ruang tamu tuh dukun selama Sri digarap, wakakak." Karmin nampak tertawa puas.
DEGH!
Kedua mata Sri mendelik lebar. Dadanya terasa sesak. Jantungnya hampir berhenti berdetak. Dia gemetar hingga handphone di tangannya jatuh. Tubuhnya yang gemoy terasa lemas dan berat untuk digerakkan. Sri terkulai di bawah rerimbunan pagar di tengah malam.
"Umak benar-benar suami sinting, Min!" Marsam menggeleng heran.
"Bukan sinting, tapi ini demi kebutuhan dan masa depan. Nanti kalau hutangku sudah lunas, dan aku sudah menjadi kaya raya, aku akan membuang Sri, hehehe." Pria cungkring itu terkekeh senang.
"Kamu tahu lah, aku kecanduan main judi online gara-gara kamu. Hutang di Bawon itu ... Sri tahunya ya cuma separuh dari total yang sebenarnya. Hahahah. Jadi aku setiap hari yaaa diam-diam mengutil uang hasil jualan untuk menutupi hutang di Bawon yang tidak diketahui oleh Sri."
"Gendeng! Untung Sri bodoh. Kalau dia tahu, umak bisa dimuthyyLasi lalu dijadikan pentol jumbo, wakakak." Marsam mencibir.
Sri sudah tidak kuat mendengar semua penuturan suaminya itu. Dengan susah payah dia memaksa tubuhnya bergerak dan berdiri. Dia menyeret kakinya agar mau melangkah pergi meninggalkan rerimbunan pagar itu. Hingga pada akhirnya Sri bisa berjalan meskipun tertatih-tatih.
Tubuhnya terasa kehilangan kekuatan otot-ototnya. Tapi Sri terus memaksa berjalan. Gelapnya malam membuat penglihatannya kabur, ditambah dengan air mata yang mengembun di kedua pelupuk matanya.
KRAAAAAKKK!
Sri menginjak dahan pohon atau apalah itu. Entahlah.
"Sopo iku?" teriak Karmin dan Marsam bersamaan.