Salah masuk kamar, berujung ngamar ❌ Niat hati ingin kabur dari Juragan Agus—yang punya istri tiga. Malah ngumpet di kamar bule Russia.
Alizha Shafira—gadis yatim piatu yang mendadak dijual oleh bibinya sendiri. Alih-alih kabur dari Juragan istri tiga, Alizha malah bertemu dengan pria asing.
Arsen Mikhailovich Valensky—pria dingin yang tidak menyukai keributan, mendadak tertarik dengan kecerewetan Alizha—si gadis yang nyasar ke kamarnya.
Siapa Arsen sebenarnya? Apakah dia pria jahat yang mirip seperti mafia di dalam novel?
Dan, apakah Alizha mampu menaklukkan hati pria blasteran—yang membuatnya pusing tujuh keliling?
Welcome to cerita baper + gokil, Om Bule dan bocil tengilnya. Ikutin kisah mereka yang penuh keributan di sini👇🏻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wardha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
si bule songong
Alizha masih manyun di lantai, kedua tangannya bersedekap. "Huh! Baby goat apaan! Sukur ganteng. Kalau tidak, sudah saya tendang!"
Dia merutuk lagi sambil garuk kepala, kerudungnya sampai miring, bikin penampilannya semakin berantakan.
Si bule yang tadi pura-pura tidur, hampir ketawa sendiri mendengar gaya Alizha. Bahunya sedikit terguncang, tapi dia buru-buru membalikkan badan—menutupi wajah dengan lengannya. Senyum tipis tak bisa ia sembunyikan.
Alizha tidak sadar. Dia malah semakin heboh sendiri. "Ya Allah, kenapa sih saya dijebak sama Bibi? Harusnya jodoh saya itu mas-mas desa yang baik, bukan bule gede kayak pohon kelapa. Nasib! Nasib! Lepas dari Juragan binik tiga, malah terjebak sama bule Rusia."
Saking capeknya, akhirnya Alizha rebahan juga di lantai dengan posisi miring sambil menatap kasur. "Saya nggak sudi naik ke kasur bule songong itu. Mending tidur di lantai aja, lebih halal."
Si bule membuka matanya lagi, menatap gadis itu yang sudah mulai tertidur. Napasnya mulai teratur, seolah tertidur sambil masih manyun.
Dia menghela napas pelan, bibirnya bergumam lirih dalam bahasa Rusia, "Kambing kecil keras kepala."
Kembali si bule memejamkan mata. Malam semakin larut, mereka berdua tertidur dengan keadaan sama-sama heboh. Si bule yang cekakaran—seperti bayi yang tidak puas dengan lebarnya kasur. Sementara Alizha, meringkuk seperti Domba yang baru saja dicukur bulunya. Kedinginan dia.
***
Pagi harinya, Alizha terbangun seperti biasa. Masih gelap, tapi dia ingat harus tetap shalat Subuh. Tapi, saat dia terbangun, badannya sakit semua. Pinggang serasa ingin patah, belum lagi dinginnya lantai dan AC.
"Astaghfirullah, aku benar-benar tidur di lantai." Dia menoleh ke arah si bule. "Alamakjang! Itu orang tidurnya serakah banget! Sungguh-sungguh rugi yang jadi istri dia." Refleksi dia menepuk bibirnya sendiri. "Astaghfirullah, tidak baik berdoa begitu!"
Alizha menghela napas, masih memperhatikan gaya tidur si bule. "Beruntung sangat istri dia nanti. Tidur, tidak perlu di atas kasur. Tidur aja di atas badan dia tuh. Kasur segede itu, dia kuasai semua. Malu-maluin aja om-om bule satu ini."
Alizha ingat lagi, dia harus Subuh. "Sepertinya, aku harus kabur." Dia menoleh ke arah pintu, lalu mendekat. Saat mencoba membuka pintunya, ternyata masih terkunci.
Alhasil, Alizha mencoba menggeledah. Mulai dari meja, sampai sisi kasur yang sudah berantakan karena ulah si bule itu sendiri.
"Ya Allah, jangan buat om bule ini terbangun. Saya harus menemukan kuncinya."
Alizha merayap pelan, tangannya sibuk meraba-raba lantai dan meja kecil di samping kasur. "Kuncinya pasti disembunyikan nih, dasar bule licik," bisiknya, matanya sesekali melirik ke tubuh tinggi besar yang masih tergeletak itu.
Dia mendekat ke sisi kasur, menahan napas. "Astaghfirullah, tidurnya kok mirip gajah pingsan. Parah beuh! Suara dengkurnya aja tidak bisa bikin gentengnya hilang."
Tangannya bergerak hati-hati mengangkat bantal, berharap menemukan kunci. Tapi yang dia temukan malah dompet kulit yang tebal. Dia buru-buru menutupnya lagi. "Astaghfirullah, dosa kalau ambil dompet orang. Saya cuma butuh kuncinya doang!"
Belum menyerah, dia jongkok lagi dan mencoba meraih ke bawah ranjang. Tiba-tiba, si bule menggeliat, membalikkan badan. Kakinya yang panjang hampir mengenai kepala Alizha.
Alizha langsung melompat mundur. "Alamakjang! Hampir kena tendang. Saya mati berdiri kalau sampai ketendang gajah bule begini!"
Dia garuk kepala, bingung sendiri. Akhirnya memberanikan diri mendekat lebih dekat lagi ke tubuh pria itu. "Ya Allah, semoga dia nggak bangun. Saya cuma mau kuncinya. Janji, abis itu saya kabur, nggak usik hidup dia lagi."
Tangannya gemetar merogoh ke arah saku celana pria itu. Baru ujung jarinya menyentuh benda dingin yang terasa seperti kunci, tiba-tiba mata biru itu terbuka.
Pria itu menatapnya lekat-lekat. "What are you doing?" katanya sambil mencengkram lengan Alizha
Alizha langsung terlonjak, seketika wajahnya jadi pucat. "E-eh, Mister. Saya—saya, anu—"
Si bule langsung duduk, masih mencekal lengan Alizha erat. Sorot matanya begitu tajam, kepalanya sedikit miring. Ekspresi seperti sedang menganalisis seekor binatang yang aneh. "Ternyata kau bukan gadis biasa, hem?"
Alizha langsung menepuk jidatnya sendiri. "Astaghfirullah, Mister. No, no! Saya tidak begitu. Tidak modus, tidak begitu. Saya cuma ingin shalat Subuh. Saya harus pergi. Please, lepaskan saya."
Tapi pria itu malah semakin mengerutkan kening. "You stay here. With me."
Alizha mendelik. "Stay? Stay apaan? Mister, tolonglah, saya ini perempuan shalihah. Kepala ketutup kerudung, ya kali saya jual diri. Mau dicatat apa sama malaikat nanti kalau saya begini, hah? Dosa, Mister! Dosa besar!"
Si bule justru menatapnya semakin heran. "I pay. Expensive!" (Saya sudah membayar. Mahal)
Alizha refleks menepuk dadanya sendiri. "Astaghfirullah ya Rabbi! Dibayar katanya! Saya ini bukan barang! Mister salah paham! Saya cuma korban bibi setan itu! Bukan jualan diri!"
Dia berusaha menarik lengannya, tapi si bule tetap tak bergeming. Alizha makin panik. "Mister, kalau saya tidak shalat Subuh, saya bisa dimarahi Tuhan, tahu! Kalau kamu yang marah, saya masih bisa sembunyi. Tapi kalau Tuhan marah? Habis saya!"
Si bule terdiam sebentar, memiringkan kepalanya lagi, tampak bingung dengan kalimat panjang itu. Ujung bibirnya sedikit melengkung, seperti menahan tawa.
Si bule tiba-tiba mendecih sambil menyipitkan mata. "Baby goat!"
Alizha langsung melotot. "Apa-apaan coba! Saya dikatai kambing lagi! Mentang-mentang bule, seenaknya saja ngomong!" gerutunya dengan bahasa Indonesia full.
Satu tangannya berkacak pinggang, dia mendengus kasar. "Iya, ganteng sih, tapi mulut kayak comberan! Dasar om bule sok keren, wajah kayak pasir, tapi hatinya keras kayak tembok batako! Dasar kejam!"
Si bule hanya menatapnya, keningnya berkerut. Dia tidak paham sepatah kata pun. Tapi, melihat cara Alizha ngomel sambil tangan bergerak-gerak seperti mau ceramah, membuatnya semakin memiringkan kepala.
Sudut bibirnya terangkat pelan, hampir tertawa. "Angry goat, hem?"
Alizha makin berapi-api, berdiri sambil menuding si bule. "Kambing-kambing pala kamu! Saya doain kamu biar ketiban durian jatuh, biar kepalamu benjol tujuh hari tujuh malam! Sok banget bilang saya kambing! Kalau bukan karena saya shalihah, sudah saya banting kamu, Mister!"
Pria itu hanya mendengarkan, sama sekali tidak mengerti, tapi ekspresinya jelas-jelas menahan tawa.
Alizha masih ngos-ngosan ngomel, wajahnya sampai merah padam. Tangannya bergerak ke sana kemari seperti lagi orasi saja. "Dasar bule songong! Saya sumpahin kamu tidak akan pernah dapat jodoh yang lebih cantik dari saya! Rasain tuh!"
Si bule yang tadinya hanya menatap dengan senyum miring, tiba-tiba mengernyit kaget. Sorot matanya berubah tajam, rahangnya menegang. "Apa katamu?!" katanya dengan tegas, kali ini dengan bahasa Indonesia yang jelas dan tanpa logat.
Alizha langsung terpaku. Mulutnya terbuka lebar, matanya berkedip cepat seperti orang bingung. "An—anda? Anda bahasa Indonesia?!" suaranya tercekat, panik plus malu setengah mati.
Si bule menghela napas berat, jemarinya menekan pelipis. Lalu, matanya menatap Alizha lagi. "Lebih dari yang kamu tahu!"
Alizha langsung memelototkan mata, tangannya refleks menutup mulut sendiri. "Astaghfirullah! Ya Allah, ketahuan semua ocehan saya tadi?!" batinnya kalang kabut.
"Tidak salah saya menjulukimu anak kambing!" katanya dengan kesal.
Alizha langsung cengengesan, senyum salah tingkah. Tangannya menggaruk tengkuknya sendiri, kerudungnya jadi miring gara-gara panik. "Maaf, Mister. Saya tidak bermaksud. Lagian, kenapa anda pura-pura tidak paham sih? Kan saya jadi merasa bersalah."
Si bule menyipitkan mata, menyandarkan punggung ke dasbor tempat tidur. "Saya tidak pernah bilang tidak paham. Saya hanya ingin lihat, sampai sejauh apa mulutmu bisa berlari."
Alizha ternganga. "Astaghfirullah, jadi dari tadi anda nontonin saya kayak tontonan sirkus?!"
Sudut bibir pria itu terangkat, dia tersenyum meledek. "Dan ternyata, tontonan yang cukup menghibur."
"Ya Allah, saya dijadikan badut." Alizha menepuk jidat, wajahnya merah sendiri.
Alizha menarik napas panjang, berusaha menahan gemetar di tangan. "Mister, izinkan saya shalat Subuh sebentar saja. Setelah itu terserah anda mau bicara apa."
Si bule terdiam sejenak, lalu mendengus. "Di kamar ini saja. Kamu sudah menjadi milik saya sekarang."
Alizha mendelik. "Milik Allah dulu, Mister. Baru milik siapa pun setelahnya. Saya shalat dulu."
Tanpa peduli tatapan tajam si bule, Alizha berbalik arah. Baginya, urusan dengan Tuhannya tidak bisa ditunda.
"Wait," bisiknya kaget, lalu bangkit dengan cepat. "Apa itu?"
Alizha mengerutkan kening. "Apa?"
Jari si bule menunjuk ke bagian bawah daster Alizha. Ternyata ada bercak darah kering.
Mata biru itu membesar, wajahnya langsung pucat. "Kamu terluka?!"
Alizha menunduk, menatap dasternya sendiri. "Astaghfirullah!" Alizha ikut panik melihat bercak itu. Dia buru-buru menutup bagian bawah dasternya dengan tangan. "Ya Allah! Saya—saya datang bulan rupanya!"
Si bule mendadak terbelalak, wajahnya campur aduk antara bingung dan panik. "What?! Darah?!"
Alizha langsung gelagapan. "Bukan, bukan! Ini normal, Mister! Perempuan kalau begini, berarti datang bulan."
Si bule malah tambah bingung, ekspresinya kayak orang salah tangkap. "Kamu sakit?! Kamu butuh dokter?"
Alizha mendengus, buru-buru menoleh ke arahnya. "Mister, jangan panik begitu! Ini wajar, bukan penyakit. Allahu Akbar, dasar bule!"
Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar, masih shock. "Astaga, saya kira kamu terluka parah."
"Tidak!" Wajahnya pucat. "Ya Allah, tidak ada pembalut." Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mampus saya, gimana ini?"
"Wait here!" katanya cepat—memintanya menunggu, lalu meraih ponselnya di meja. Dia menghubungi asistennya. "Bring sanitary pads. And new clothes. Fast!" (Bawakan pembalut. Dan pakaian baru. Cepat!)
Alizha langsung mendelik, mendekat dan berusaha merebut ponselnya. "Mister! Astaghfirullah! Malu sekali! Jangan disuruh orang lain begitu dong!"
Si bule menatapnya dengan datar, jelas tidak peduli dengan protesnya. "You need it." (Kamu membutuhkannya.)
Alizha gelagapan. "Iya, tapi ... itu memalukan! Habis nanti saya dikira perempuan aneh sama asisten Mister!"
Pria itu mengedikkan bahu seenaknya. "No problem. Kamu sekarang sudah milik saya. Semua kebutuhanmu, saya yang urus."
Alizha hanya bisa menepuk jidat, wajahnya bak kepiting rebus sekarang. "Ya Allah, kenapa saya harus ketemu om-om bule ini sih?"
"Saya mendengar itu, you know?"
Alizha langsung kicep. "Sorry, hehe." Dia cengengesan. Lupa kalau si bule bisa bahasa Indonesia.