Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: RAHASIA DI BALIK CINCIN
"SIALAN!"
Umpatan kasar Gao Shan menggema di halaman belakang rumah Yaohua. Lelaki bertubuh besar itu terbaring telentang di tanah, bertelanjang dada, napasnya naik-turun berat. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya penuh luka sayatan dan gosong terbakar. Ia memandangi langit malam yang dipenuhi awan tebal, lalu terkekeh keras—tawa parau bercampur lelah.
"Hahaha! Gila… itu benar-benar seru!" katanya sambil menepuk dadanya yang lebam, masih bisa tertawa di tengah rasa sakit yang menyiksa.
Dalam pikirannya terbayang pertarungan yang baru saja berakhir. Sosok Tengu bersayap putih yang ia lawan menyerang dengan kecepatan luar biasa, pedangnya mengeluarkan pusaran angin tajam setiap kali diayunkan.
WUUUSH! WUUUSH!
Gao Shan menangkis sekuat tenaga, mengimbangi serangan itu dengan Qi Bayangan yang membentuk garis hitam di udara. Tapi ketika Tengu mengeluarkan bilah kedua yang lebih pendek—dan dari bilah itu memancar api merah membara—pertarungan berubah brutal.
BOOOM!
Kombinasi angin dan api meledak di sekeliling mereka, membuat langit malam terang sesaat. Api membakar pohon, angin memotong tanah seperti pisau raksasa. Gao Shan terlempar berkali-kali tapi tetap bertahan, tertawa di antara percikan bara.
Sekarang, di sisa kekuatannya, ia masih bisa mengumpat puas. "Tch… kalau bukan karena si sayap putih itu kabur duluan, aku sudah mematahkan lehernya sendiri!"
Tak jauh darinya, Gao Shui berlutut dengan susah payah, berpegang pada pedangnya agar tidak tumbang. Napasnya memburu, kakinya bergetar hebat. Darah menetes dari pelipisnya, membasahi kerah bajunya.
Dalam hati ia menggeram pelan, 'Kuchisake-onna bajingan… ditebas berkali-kali tetap saja muncul lagi. Mereka seharusnya sudah sirna, tapi terus muncul kembali seperti kabut terkutuk yang tak bisa dimusnahkan.'
TAP... TAP... TAP...
Langkah pelan terdengar mendekat di antara sisa reruntuhan. Mo Long muncul dari balik bayangan dengan wajah dingin, hanfunya robek di beberapa bagian, pedangnya tergantung di tangan kanan. Sorot matanya masih waspada meski wajahnya tampak tenang.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya datar, menatap Gao Shui yang berlutut dengan napas tersengal.
Gao Shui menelan ludah dengan susah payah sebelum menjawab, "Baru saja aku melawan tiga roh wanita—Kuchisake-onna. Seharusnya mereka roh kelas menengah yang mudah dibasmi, tapi… Tao yang memanggil mereka memberi suplai Qi terus-menerus. Mereka tidak hancur meski ditebas berkali-kali. Seolah ada sumber tenaga yang tak habis-habisnya."
Dari ujung pagar yang hancur, suara tawa kasar terdengar. "Hah! Tiga hantu perempuan itu?" Gao Shan duduk sambil menahan perutnya yang berdarah, menatap sinis. "Kalau aku yang lawan, mereka sudah kupotong tanpa berkeringat! Hantu buruk rupa begitu sangat lemah! Hahaha!"
"Apa katamu?!" Gao Shui mendengus marah, bangkit dengan sisa tenaga, pedangnya diacungkan dengan gemetar.
"Kau tuli ya?!" balas Gao Shan, menatapnya penuh provokasi. Ia menyeringai lebar meski wajahnya pucat. "Yang kau lawan cuma bayangan perempuan menangis, aku lawan monster bersayap dengan dua pedang sekaligus! Kau pikir kita selevel?!"
"Katakan sekali lagi, kau—!"
"Cukup."
Suara Mo Long memotong mereka dengan tajam seperti bilah pedang. Tatapannya dingin membuat keduanya terdiam seketika, walau masih sama-sama mendengus kesal.
"Di mana makhluk-makhluk itu sekarang? Apa kalian berhasil mengalahkannya?" tanya Mo Long dengan nada menuntut.
Keduanya saling pandang, lalu terdiam beberapa saat dengan wajah bingung. Gao Shui menjawab pelan, "Entahlah. Di tengah pertarungan, mereka… menghilang begitu saja seperti kabut yang tertiup angin."
"Benar," tambah Gao Shan, kali ini dengan nada bingung namun lantang. "Tengu sialan yang kulawan kabur dengan ekornya terselip. Pasti ketakutan setelah merasakan kekuatanku yang sesungguhnya!"
Sebelum egonya makin membuncah, Yaohua muncul dari dalam rumah dengan langkah pelan dan tertatih. Ia memapah Hu Wei yang wajahnya pucat seperti mayat, darah menodai bajunya di mana-mana. Mereka berdua tampak sangat kelelahan.
"Cukup, Gao Shan," ujar Yaohua lirih tapi tegas. Suaranya bergetar. "Tao yang memanggil mereka pasti sudah kehabisan Qi. Memanggil empat makhluk roh kelas menengah dan mempertahankan mereka selama ini… hanya orang gila atau Tao level tinggi yang mampu melakukannya."
Ia menurunkan Hu Wei perlahan, menyandarkannya di tembok rumah yang separuh runtuh. Tangannya yang halus namun gemetar mengeluarkan botol kecil dari lengan bajunya, lalu menuangkan cairan hijau pekat ke gelas kayu.
"Minumlah," katanya lembut sambil menyodorkan gelas itu ke bibir Hu Wei.
Hu Wei meneguk ramuan itu dengan susah payah, lalu menarik napas panjang. Wajahnya sedikit membaik. Suaranya serak, nyaris seperti bisikan, namun jelas terdengar oleh semuanya di halaman itu.
"Harimau itu…" katanya pelan sambil menatap tanah. "Harimau jadi-jadian yang menyerangku tadi… adalah Hiroshi, kepala Balai Hukum Long Ya."
DEGH!
Seketika keheningan menyelimuti halaman. Semua mata membulat shock, termasuk Mo Long yang biasanya tenang.
"Apa kau yakin?" tanya Mo Long perlahan, suaranya menurun satu oktaf.
Hu Wei mengangguk lemah namun pasti. "Aku tak salah. Aku melihat wajahnya. Dari langkah kakinya dan gaya jurus cakarnya—Cakar Harimau Putih— dia dari Klan Laohu. Tapi yang aneh… dia mengenakan cincin merah yang memancarkan Qi mengerikan. Saat cincin itu menyala dengan cahaya darah, tubuhnya berubah… menjadi monster setengah harimau. Ototnya membesar dua kali lipat, wajahnya—benar-benar berubah menjadi kepala harimau."
Gao Shan berseru dengan mata melebar, "Hah! Jadi itu pria bertopeng yang kulawan di awal tadi! Aku sempat mendengar ledakan energi besar dan raungan harimau saat kau bertarung dengannya. Hiroshi… dia lawan yang mengerikan!”
Hu Wei menatapnya tajam lalu melanjutkan dengan napas berat, "Dia membantu pria berjenggot yang dikendalikan pikirannya untuk menyerangku. Aku yakin… Hiroshi bekerja di bawah perintah Haikun sejak awal. Dan cincin itu…"
Hu Wei mengatur napas yang makin berat, tangannya memegang dadanya. "Cincin itu pasti pemberian Haikun sendiri. Tidak ada artifak seperti itu di Long Ya."
Mendengar nama itu, udara seakan sesak. Yaohua tampak terpaku, wajahnya menegang, memikirkan sesuatu dengan napas tertahan.
"Cincin merah…" bisiknya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia memejamkan mata dengan erat, memutar kembali kenangan masa lalu yang tak ingin diingat.
Kemudian matanya terbuka lebar, napasnya tertahan.
"Aku tahu…" katanya pelan dengan suara bergetar. Semua mata menatapnya dengan waspada.
"Sepertinya aku tahu siapa Tao yang memanggil roh-roh itu malam ini."
Suara angin malam meniup sisa abu pertempuran, membuat lentera di teras bergoyang pelan. Wajah Yaohua tampak kelam, tapi di matanya muncul sinar tajam penuh dendam dan keyakinan yang menyakitkan.
"Orang itu… bukanlah orang asing bagiku."
"Siapa?" suara Mo Long terdengar datar namun menuntut.
Semua mata menatap ke arah Yaohua, yang berdiri di dekat tembok retak dengan wajah muram seperti orang yang kehilangan sesuatu.
Ia terdiam sejenak, seolah menimbang apakah kata-katanya pantas diucapkan. Tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Lalu perlahan ia menjawab, "Aku kenal seseorang… yang mengenakan cincin merah di jarinya."
Matanya menatap kosong ke tanah yang gelap, suaranya semakin pelan. "Beberapa kali, saat malam, aku melihatnya duduk sendiri di serambi rumahnya, mengelus cincin itu sambil merapal mantra yang tak kumengerti. Dari cincin itu, aku merasakan aura gelap… samar, tapi menakutkan. Qi yang sama seperti yang dulu kurasakan saat Haikun pertama kali belajar menjadi seorang Tao."
Mo Long menatapnya lekat-lekat dengan mata tajam. "Siapa orang itu?"
"Tabib Yuto," jawab Yaohua pelan, suaranya hampir pecah. "Tabib tua yang menjadi guruku… orang yang paling aku percayai di dunia ini."
Kata itu jatuh seperti petir di udara malam.
Gao Shui menegang, sementara Gao Shan yang baru saja berdiri tegak langsung melotot tak percaya.
"Tabib itu?" serunya keras sambil menunjuk ke arah rumah Yuto di kejauhan. "Tidak mungkin! Dia tabib terkenal di seluruh kota Long Ya! Orang-orang datang dari jauh hanya untuk berobat padanya! Bahkan anak-anak yatim dan pengemis sering dia rawat tanpa meminta bayaran sesen pun!"
Yaohua tersenyum pahit, matanya berkaca-kaca. "Itu juga yang kupikirkan. Dia sangat baik padaku… bahkan lebih baik dari ayah kandungku sendiri. Aku selalu menganggapnya sebagai keluarga." Ia menarik napas panjang, suaranya bergetar di ujung. "Tapi ternyata… dialah yang mengawasiku selama ini. Dialah yang membunuh setiap pria yang berani mendekatiku dengan racun dan kendali pikiran."
Air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Ia teringat akan semua nasihat, pengajaran, hingga uang yang ia terima dari Yuto.
'Bodohnya aku baru tahu sekarang… Pantas saja dia banyak tahu soal Tao dan teknik kendali pikiran.'
Keheningan menebal seperti kabut. Angin malam berhembus lembut membawa bau darah yang menyengat dan debu dari reruntuhan rumah.
Tiba-tiba—
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki cepat mendekat dari arah jalan belakang. Dari kegelapan, muncul tiga orang lelaki membawa obor kecil yang bergoyang, wajah mereka muram dan tegang.
"Yaohua!" seru lelaki tua berjanggut putih di depan dengan napas tersengal. "Kami mendengar keributan hebat dari sini. Dinding rumahku bergetar seperti gempa, api sempat terlihat dari jauh. Apa yang sebenarnya terjadi malam ini?!"
Pria gemuk berkumis lebat di sampingnya langsung menyahut dengan nada marah penuh emosi. "Aku sudah bilang dari dulu, perempuan ini pembawa sial! Suaminya gila membunuh orang, dia juga gila, sekarang lihat!" Ia menunjuk paviliunnya yang retak dan berlubang dengan tangan gemetar. "Tembokku hancur, genteng berjatuhan, pohonku terbakar! Kau pikir aku tak akan menuntutmu, Yaohua?! Kau harus membayar semuanya!"
Sebelum Yaohua sempat menjawab dengan wajah lelah dan terluka, Mo Long melangkah maju dengan tenang namun mengintimidasi. "Aku akan menggantinya, Tuan," ucapnya dingin namun sopan.
Namun pria berkumis itu justru semakin menggila. "Siapa lagi kau ini, hah? Kekasih barunya?! Untung saja kau tak terbunuh juga! Sekarang bawa wanita jalang ini pergi dari—"
Ucapannya terputus mendadak.
SHING!
Sesuatu yang dingin menyentuh kulit lehernya—tajam, memotong napas.
Pedang melengkung berkilat di bawah cahaya obor, ujungnya tepat di tenggorokan.
"—Jaga ucapanmu, Tuan…" suara Mo Long datar seperti es, tapi tatapan matanya menusuk dalam seperti pisau yang perlahan dipuntir. "Aku akan mengganti kerusakanmu berkali lipat. Tapi jika mulutmu masih bergerak sembarangan, aku tak menjamin kepalamu tetap menempel di tubuhmu besok pagi."
Peluh dingin langsung menetes deras dari dahi pria itu. Wajahnya pucat. Ia menelan ludah dengan susah payah, menunduk cepat sambil bergumam terbata-bata dengan suara gemetar, "M-maaf… maaf, anak muda, aku—aku hanya terbawa emosi… tidak bermaksud…"
Pria berjanggut putih buru-buru menengahi dengan wajah panik, "Tuan, tolong, tenangkan dirimu! Kami semua hanya khawatir, bukan mencari masalah! Tolong turunkan pedangmu!"
Mo Long menatap mereka beberapa detik dengan tatapan membunuh, lalu perlahan menurunkan pedangnya.
SRAK.
Pedang itu kembali ke sarungnya.
Sementara mereka menenangkan keadaan dengan napas lega, lelaki ketiga yang sejak tadi diam di belakang akhirnya melangkah maju dengan hati-hati. Ia jauh lebih muda—sekitar dua puluh lima tahun—dan sikapnya sopan tidak seperti kedua rekannya.
Ia menunduk dalam-dalam sambil melakukan salam gongshou yang hormat.
"Tuan Mo Long," katanya dengan suara hormat dan penuh kekaguman. "Aku melihatmu dalam ujian kelayakan pendekar beberapa hari lalu. Saat itu, jurusmu membuat semua orang di arena terdiam kagum. Tapi malam ini…" Ia melirik reruntuhan rumah di sekelilingnya, lubang-lubang di tanah, bekas ledakan Qi di mana-mana. "…melihat semua kerusakan ini, aku semakin yakin—kau memang pendekar sejati level tinggi."
Ia menatap Mo Long lebih serius, lalu mendekat setapak dengan wajah penuh hormat. "Tuan, izinkan aku menyampaikan sesuatu penting. Dalam perjalanan ke sini, aku melihat seseorang berjalan tertatih dengan langkah goyah, bersimbah darah dari kepala hingga kaki. Aku mengenalinya—dia Tabib Yuto. Ia tampak terluka parah, tapi terus melangkah ke arah timur dengan susah payah, menuju hutan. Aku ingin menolong, tapi… aku takut masih ada musuh bersembunyi di jalan."
DEGH!
Semua orang terdiam. Hanya suara api dari obor yang berderak pelan.
Mo Long menatap pria itu tajam dengan mata menyipit. "Di mana tepatnya kau melihatnya?"
"Di gang sempit utara, tidak jauh dari jembatan bambu," jawab pria itu dengan cepat. "Sepertinya… dia menuju arah Gunung Mayat di hutan utara."
Sudut bibir Mo Long perlahan terangkat tipis. Tatapannya berubah, seolah sesuatu yang ia tunggu sejak awal akhirnya datang. Matanya berkilat berbahaya di bawah cahaya bulan.
'Inilah kesempatanku,' pikirnya dengan senyum dalam yang dingin. ‘Pendekar berjanggut terlalu kuat. Aku buru-buru membunuhnya sebelum aku sempat bertanya lokasi Haikun. Sekarang, langit memberiku kesempatan, aku harus menyeret tabib itu!’
Ia menoleh pada Yaohua. Pandangan mereka bertemu hanya sesaat, namun cukup bagi keduanya untuk saling memahami tanpa sepatah kata pun—ada percakapan diam di antara tatapan itu. Yaohua mengangguk pelan dengan mata yang masih berkaca-kaca.
"Baiklah," ujar Mo Long, suaranya tenang tapi mengandung makna tajam. Ia menyentuh gagang pedangnya dan menatap ke arah timur dengan sorot mata berbahaya. "Kalau begitu… aku akan 'menolong'nya."
Namun di balik senyum tipisnya, ada sesuatu yang lain—tatapan mata yang tajam dan dingin, berkilat seperti permukaan air di malam yang gelap.
Bukan tatapan orang yang hendak menyelamatkan seorang tabib terluka…
Melainkan tatapan seorang pemburu yang akhirnya menemukan jejak mangsa yang telah lama ditunggu—dan kali ini, mangsa itu terluka, lemah, dan sendirian.
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁