NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: Berhasil kabur

Klik.

Sebuah bunyi denting halus terdengar, dan pintu terbuka perlahan. Tanpa ragu, Nayara menarik gagang pintu dan melangkah keluar dengan hati-hati, seolah ingin meninggalkan semua tekanan yang menyesakkan di balik pintu itu.

Baru beberapa langkah ia berjalan di koridor mewah itu, matanya langsung menangkap dua sosok yang sangat dikenalnya—Razka dan Vina.

Seketika itu juga, Nayara berlari kecil dan memeluk keduanya erat, seperti seseorang yang baru saja lolos dari badai besar.

"Akhirnya..." ucap Vina, suaranya nyaris berbisik namun sarat dengan kelegaan. Razka juga memeluk Nayara erat, keduanya terlibat dalam pelukan hangat yang singkat namun penuh emosi. Sekilas, mereka terdiam dalam keharuan—tiga sahabat yang kembali bersatu di tengah situasi yang rumit.

Tak ingin membuang waktu, mereka segera memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Awalnya, Nayara berencana langsung menuju kampus. Namun, pikirannya cepat dipenuhi oleh kemungkinan terburuk—jika Zevian mendatanginya di kampus hari ini. Dan dengan begitu, rencana kaburnya bisa berantakan.

Karena itulah, Nayara memutuskan sesuatu yang lebih aman. Dia memilih tempat lain, tempat yang membuatnya merasa lebih tenang, lebih terlindungi dari bayang-bayang lelaki misterius yang telah mengacaukan hidupnya dalam waktu singkat.

Ketiganya langsung turun menggunakan private lift. Interior lift yang mewah dengan lampu gantung kristal kecil di atas kepala membuat suasana terasa senyap namun mencekam dalam pikiran Nayara. Tak butuh waktu lama, akhirnya lift pun berhenti di lantai dasar dengan denting halus yang membuat jantung Naya berdetak semakin cepat.

Mereka berjalan bersamaan, langkah kaki terdengar tergesa di atas lantai marmer yang bergema. Naya terus menunduk, berharap tak akan bertemu lagi dengan Zevian di lorong itu. Bayangan pria itu saja sudah cukup membuat jantungnya tercekik oleh rasa takut.

Namun, karena terlalu fokus pada arah jalan dan pikiran yang masih bercampur aduk, Razka tidak sengaja menabrak seorang wanita yang sedang berjalan dari arah berlawanan sambil menatap layar tablet-nya. Perempuan itu menjerit pelan saat benda berlogo apel tergigit itu hampir terlepas dari tangannya.

Untungnya, dengan refleks cepat, Razka berhasil menangkap tablet tersebut sebelum benar-benar jatuh dan membentur lantai.

“Aduhhh! Hati-hati dong, Mas, kalau jalan!” ucap wanita itu dengan nada tinggi. Wajahnya memerah karena kaget dan kesal, mata tajamnya menatap Razka tanpa ampun.

“Maaf, Mbak, saya tidak sengaja,” ujar Razka dengan nada tulus, membungkukkan sedikit badannya sebagai bentuk permintaan maaf. Dia menunduk, tak ingin memperpanjang situasi.

Wanita itu hanya mendengus pelan, kemudian langsung melangkah masuk ke dalam lift yang tadi mereka gunakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia menekan tombol lantai atas dan pintu pun menutup dengan bunyi denting tajam. Razka menoleh cepat dan langsung berlari menyusul Nayara dan Vina yang sudah berjalan lebih dulu menuju area parkir, tempat mobil mereka terparkir rapi di sudut lorong bawah yang diterangi cahaya remang.

"Lama sekali?" gerutu Vina dengan nada setengah kesal saat Razka menutup pintu mobil. Raut wajahnya memperlihatkan rasa tidak sabar yang dibalut kelelahan, sementara keringat tipis mulai terlihat di pelipisnya karena terik matahari siang.

"Maaf, tadi aku tidak sengaja menabrak seseorang," jawab Razka sambil menyalakan mesin mobil. Suara mesin berdengung pelan seiring kendaraan itu mulai melaju keluar dari kawasan apartemen yang bergaya modern, dikelilingi taman rapi dan deretan mobil mewah terparkir rapi di sisi kanan jalan.

"Huh, Razka… lain kali berjalanlah dengan mata, bukan dengan sandal," ucap Vina sembari memutar tubuh ke arahnya, memasang ekspresi gemas namun masih menyiratkan kekesalan. Cahaya matahari menembus kaca mobil, membuat rambut Vina yang terurai tampak berkilau, menambahkan kesan dramatis pada ucapannya.

Dari kursi belakang, Nayara hanya terkekeh pelan. Ia menyandarkan tubuhnya pada jok empuk, mencoba menikmati hembusan pendingin mobil yang menyentuh wajahnya, berusaha menetralisir detak jantungnya yang sejak tadi tidak kunjung tenang.

"Namanya juga tidak disengaja," ucap Razka sambil sesekali melirik kaca spion, memastikan lalu lintas di belakang. Suaranya terdengar santai, berusaha mencairkan suasana. Ia kemudian melanjutkan dengan nada bertanya.

"Jadi, kalian ingin diantar ke mana? Tidak mungkin pulang ke rumah, bukan? Apa kamu ingin ke kampus hari ini?" Tanya nya yang membuat Nayara menggeleng pelan, kedua tangannya meremas bagian bawah bajunya yang longgar. Pandangannya kosong, menerobos kaca jendela sambil mengikuti gerak lalu lintas yang padat dan suara klakson samar terdengar dari kejauhan.

"Aku rasa aku tidak akan ke kampus dulu. Dia pasti akan kembali ke sana setelah tahu aku pergi, dan untuk pulang ke rumah… aku belum ingin bertemu dengan Papa. Dia terlalu menyebalkan." ucapnya lirih. Nada suaranya datar, tetapi mata beningnya menyimpan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Vina yang duduk di sebelah Razka langsung menoleh, sorot matanya berubah lebih serius, nada suaranya penuh penasaran.

"Siapa sebenarnya pria itu, Nay?" Tanya nya yang membuat Nayara mengerutkan kening, sedikit bingung.

"Siapa?" Ulang nya.

"Pria yang kamu maksud tadi," jelas Vina lagi, kini dengan suara lebih pelan, seperti takut jika pembicaraan mereka terdengar orang lain.

"Aku tidak tahu pasti… Tapi semua orang menyebutnya Zevian. Bahkan para pekerjanya pun terlihat begitu takut padanya," ujar Nayara. Suaranya hampir seperti bisikan, dipenuhi ketegangan yang perlahan merayap masuk ke dalam dadanya. Razka yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. Tangannya tetap menggenggam kemudi, tetapi nada bicaranya berubah, terdengar lebih dalam dan serius.

"Dia Zevian Aldric Rayford Steel. Putra pertama dari keluarga Steel," ungkapnya. Ucapannya mengambang di udara, seolah menyimpan beban sejarah yang belum mereka ketahui.

Nayara dan Vina saling berpandangan. Tak ada yang berbicara, namun dari tatapan mata keduanya, jelas tersirat bahwa nama itu bukan sekadar identitas. Ia adalah awal dari babak baru yang perlahan membuka diri dalam kehidupan Nayara—babak yang penuh tanda tanya dan kemungkinan tak terduga.

"Itu benar-benar dia? Dari mana kamu tahu?" tanya Vina, suaranya dipenuhi rasa penasaran, matanya sedikit membelalak, mencari penjelasan lebih lanjut. Razka menoleh sekilas ke arah Vina, sebelum kembali fokus pada jalan di depannya.

"Daddy, dia kan bekerja sama dengan perusahaan Emily Steel. Jadi, aku sering mendengar namanya. Saat Naya tadi bilang kalau namanya Zevian, siapa lagi kalau bukan Zevian putra Steel… apartemen itu kan milik keluarga Steel," jelas Razka dengan tenang, tetapi ada nada tegas di suaranya.

Mereka tahu Razka memang mengetahui banyak hal tentang dunia korporat, berkat koneksi ayahnya dengan perusahaan Emily Steel corp. Meskipun ia belum pernah bertemu langsung dengan Zevian, ia tahu sedikit tentangnya. Bagaimanapun, semua orang yang bekerja sama dengan Emily Steel corporation tahu betul bahwa hanya beberapa orang yang bisa bertemu dengan Zevian secara langsung. Selebihnya, mereka akan digantikan oleh sekretaris atau asisten yang selalu menjaga jarak.

Vina masih terlihat penasaran, tetapi ia tak ingin memaksa. Namun, dorongan rasa ingin tahu tetap tak bisa ditahannya.

"Kamu pernah bertemu dengan dia?" tanyanya lagi, suaranya lembut namun penuh tanya.

"No, I know of him, but I’ve never met him." jawab Razka singkat, tetap menjaga nada bicaranya yang datar, seolah tidak ingin terlalu membicarakan pria tersebut lebih jauh. Vina mengangguk pelan, menyadari bahwa informasi yang mereka dapatkan sejauh ini hanya dari cerita-cerita dan rumor.

"Oh, aku kira… berarti beruntunglah kamu, Nay. Kamu bisa bertemu, bahkan tinggal dengan seorang tuan muda Steel," kata Vina, mencoba meringankan suasana dengan tawa ringan, meski nada suaranya sedikit menaruh harapan.

"Tidak ada untungnya," Nayara menjawab datar, suaranya terdengar lelah, tubuhnya merosot lebih dalam ke sandaran jok mobil. Dia menyandarkan kepalanya pada kaca jendela, menatap kosong ke luar, seolah mencoba menenangkan dirinya dari kebingungannya. "Justru aku menyesali semuanya," lanjut Nayara, dengan nada yang lebih rendah, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. Vina menoleh, terlihat khawatir namun masih penasaran.

"Apa yang dia kasar, nay?" tanyanya lagi, nadanya kini lebih lembut, namun jelas ingin menggali lebih dalam.

"Ya begitulah, Vin," Nayara menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan, merasa seolah beban yang terlalu berat untuk dipikul. "Kalian juga tahu, aku tidak suka orang kasar. Menurutku Zevian itu kasar sekali. Dia suka membentak-bentak, meskipun awalnya aku tahu ini salahku, karena aku minta tolong padanya. Tapi tetap saja, bukan kah balas budi itu ada caranya? Tidak seperti ini, dia seperti menguntitku. Kalian tahu, dia bahkan tahu semua informasi pribadi ku." Nayara meremas tangan di pangkuannya, seolah berusaha menahan emosi yang meluap. Jelas di wajahnya terlihat ketegangan, ketidaknyamanan yang terus menghantuinya.

Vina menyimak dengan seksama, menatap sahabatnya dengan khawatir. Lalu ia mengajukan sebuah pertanyaan yang sedikit menggelitik namun masih disertai rasa penasaran.

"Itu benar… mungkin dia suka padamu?" Balas nya yang membuat pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Nayara terdiam sejenak. Matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah memikirkan kemungkinan yang baru saja dikatakan Vina. Mungkin saja... Namun, Nayara menepisnya begitu saja di dalam hati. Bagaimana bisa seseorang seperti Zevian menyukai dirinya? Itu terdengar seperti lelucon. Namun, perasaan tidak nyaman itu tetap ada—menggerayangi pikiran dan perasaan Nayara.

"Mana mungkin ada orang yang bisa langsung jatuh cinta dalam sekali lihat?" tanya Nayara, mengernyit heran. Nada suaranya penuh logika, tapi ada sedikit nada jengah di ujung kalimatnya.

"Itu benar juga. Tapi, terkadang cinta memang tidak mengenal waktu," jawab Vina sambil mengangkat bahu, wajahnya dihiasi senyum menggoda. Mendengar itu, Razka ikut terkekeh pelan. Ia menoleh sedikit ke arah kaca spion, memandangi Nayara di kursi belakang.

"Atau mungkin... bukan hanya soal waktu, Nay, tapi karena pesonamu yang tak bisa diabaikan," ucapnya, menyisipkan nada bercanda dalam ucapannya.

"Benar, Nay. Mungkin saja dia jatuh cinta karena sikapmu yang keras kepala tapi manis di saat yang tak terduga." Jawab Vina ikut tertawa kecil.

Nayara mendengus pelan, lalu membuang pandangan ke luar jendela. Sinar matahari menyilaukan, namun tidak mampu menghangatkan perasaan jengkel yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya. Ia menghela napas panjang, berusaha tetap tenang.

"Kalian ini… bisa tidak, sekali saja, tidak menyimpulkan sesuatu seenaknya?" balasnya datar. Wajahnya tetap tenang, tetapi jelas dari sorot matanya bahwa ia tidak sedang menikmati pembicaraan ini. Razka hanya tersenyum simpul.

"Maaf, maaf… kami hanya mencoba membuatmu sedikit rileks." Jawab nya.

"Kalau begitu, coba dengan cara lain. Jangan dengan candaan tak masuk akal," balas Nayara, masih enggan menoleh.

Vina dan Razka saling melirik, lalu tertawa kecil, menyadari bahwa sahabat mereka itu memang sulit untuk diajak bercanda soal perasaan. Namun, justru sikap itulah yang membuat Nayara berbeda—keras di luar, namun siapa tahu, mungkin sedang rapuh di dalam.

"Oke, berhenti menggoda Nayara. Jadi, sekarang apa keputusanmu, Nay? Mau bagaimana? Pulang ke rumah orang tuamu atau ikut dengan Vina?" tanya Razka, menoleh sejenak dengan pandangan serius namun lembut. Suasana di dalam mobil mendadak lebih hening. Hanya suara samar deru kendaraan lain yang terdengar dari luar jendela, menyatu dengan bunyi AC yang menderu pelan.

"Ke Bogor bisa, tidak? Antarkan aku ke vila orang tuaku," ujar Nayara tiba-tiba. Ucapannya membuat Vina dan Razka refleks saling berpandangan. Wajah mereka sama-sama terkejut, seakan mendengar permintaan yang tak mereka sangka akan keluar dari mulut Nayara.

"Serius? Kamu… tidak apa-apa?" tanya Razka dengan nada hati-hati. Pandangannya penuh kekhawatiran. Ia dan Vina tahu benar bahwa selama ini Nayara enggan—bahkan menolak keras—untuk kembali ke tempat itu. Di vila itulah sang ibu meninggal dunia setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya. Sejak saat itu, bangunan megah yang dikelilingi pepohonan rindang itu bukan lagi rumah baginya, melainkan luka yang tak kunjung sembuh, bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.

"Aku serius... Kalian tidak apa-apa?" balas Nayara, meskipun nadanya mulai meredup, tak setegas sebelumnya. Seolah keraguan mulai merayapi keyakinan yang baru saja ia ucapkan.

"Kami tidak apa-apa jika harus mengantarmu, bahkan jika itu sampai ke alam lain kami akan ikut. Masalahnya itu ada di kamu. Kamu yakin ingin ke sana? Apa tidak sebaiknya menginap di rumah Vina saja? Itu akan jauh lebih aman," Razka kembali memastikan, kali ini dengan nada lebih lembut namun tegas.

"Aku pulang ke vila saja, Ka..." ucap Nayara lirih. Ia menyandarkan tubuhnya, lalu menutup mata perlahan. Tubuhnya masih terasa lemas. Pagi tadi ia hanya sempat menelan beberapa suap bubur sebelum semuanya terjadi—dan kini, energi itu sudah menguap bersama beban di benaknya.

"Baiklah. Istirahatlah, kami akan mengantarmu ke sana," ujar Razka sambil memfokuskan pandangan ke jalan. Namun Vina tiba-tiba menyela, suaranya terdengar sedikit sungkan.

"Bisa tidak, antarkan aku ke kampus terlebih dahulu? Aku ada kelas siang ini… aku sudah terlalu sering tidak masuk." Tanya nya yang membuat Razka mengangguk memahami.

"Ah, baiklah..." Ujar nya.

"Maaf ya, Nay. Aku tidak bisa mengantarmu. Aku… sudah terlalu sering absen," ujar Vina, menoleh ke belakang. Ada rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya.

"Tidak masalah, aku mengerti. Maaf juga, ya, Razka. Aku jadi merepotkanmu," balas Nayara pelan dengan mata terpejam. Matanya terasa berat, bukan hanya karena kantuk, tapi juga karena emosi yang ia tahan sejak pagi.

"Aku memang suka direpotkan," sahut Razka sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana.

Mobil mereka terus melaju membelah jalanan ibu kota yang siang itu cukup lengang. Udara panas menekan dari luar, seolah AC di dalam mobil tak cukup untuk menghalaunya. Sinar matahari memantul di permukaan jalan, menciptakan kilatan-kilatan menyilaukan. Di balik kaca mobil yang buram, tiga hati tengah berjuang dengan beban masing-masing—dan di antara semuanya, Nayara yang paling dalam luka dan sunyinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!