Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Malam itu, Anisa pulang ke apartemen dengan tubuh lelah dan pikiran penuh. Setelah seharian bekerja keras di kantor Millanoz Group, yang ia inginkan hanya satu yaitu mandi air hangat dan tidur dalam ketenangan. Tapi kedamaian itu tampaknya bukan miliknya malam ini.
Begitu Anisa membuka pintu apartemen, aroma parfum menyengat langsung menyeruak. Ruang tamu berantakan, pakaian Luna berserakan di sofa, dan televisi menyala dengan volume keras. Luna duduk dengan santai, mengenakan daster sutra, menatap Anisa dengan tatapan sinis.
“Akhirnya lo pulang juga,” sindir Luna, memainkan rambutnya," Gue lapar. Buatkan gue makan malam.”
Anisa meletakkan tasnya perlahan.
“Aku baru pulang kerja, Mbak. Badanku pegal sekali, kenapa mbak gak pesan gofood aja? Di kulkas juga masih ada bahan makanan, mbak bisa.....”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Luna sudah bangkit dan menatapnya garang.
“Lo pikir lo siapa di rumah ini? Istri sah? Jangan mimpi! lo cuma numpang, ngerti? Selama lo masih tinggal di sini, lo harus ikut aturan gue!”
Anisa menatapnya tenang tapi tegas.
"Aku tahu posisiku. Tapi aku juga manusia, Mbak. Aku capek, aku baru pulang kerja. Kalau lmbak lapar, masaklah sendiri. Aku bukan pembantu disini.”
Kata-kata itu membuat wajah Luna menegang. Amarahnya naik ke ubun-ubun. Ia mengambil gelas di meja dan melemparkannya ke arah Anisa.
Gelas itu pecah di lantai, pecahannya nyaris mengenai kaki Anisa.
“Berani lo lawan gue, hah?! Dasar wanita murahan yang cuma bisa ngerebut simpati orang!” teriak Luna dengan suara tinggi.
Anisa berbalik hendak pergi ke kamarnya, tak ingin memperpanjang masalah. Tapi belum sempat langkahnya menjauh, Luna menarik tangannya dengan kasar. Pertengkaran kecil berubah menjadi dorong-dorongan hingga Anisa kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh menabrak meja.
Luna tahu Bima akan pulang sebentar lagi dan otaknya yang licik langsung bekerja. Ia menatap meja kaca di sampingnya, lalu tanpa ragu membenturkan kepalanya sendiri ke ujung meja.
Suara benturan keras terdengar, disusul jeritan Luna.
Darah segar mengalir di pelipisnya.
“AAAAHHH! Nisaaa! Sakit! lo dorong gue ya! Dasar perempuan gila!” teriak Luna keras, memastikan suaranya terdengar sampai pintu masuk.
Dan benar saja, beberapa detik kemudian, pintu apartemen terbuka keras.
Bima berdiri di sana dengan wajah tegang, melihat Luna terkapar di lantai dengan darah di pelipis.
“HON!!”
Ia segera menghampiri kekasihnya dan menatap Anisa dengan pandangan membunuh.
“APA YANG LO LAKUKAN?! GILA YA LO?!”
“Aku tidak....”
“Tutup mulut lo!” bentak Bima keras. “gue udah capek dengan drama lo setiap hari! Kalau lo nggak bisa berperan jadi istri dengan baik, keluar aja dari sini! Dasar SAMPAH!!”
PLAAAK...
Tamparan keras mendarat di pipi Anisa. Tubuhnya terhuyung dan jatuh menabrak dinding.
Matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak menangis.
Kali ini tidak.
Ia hanya menatap Bima dan Luna yang kini berpelukan di lantai, pasangan yang bahkan tidak tahu arti cinta sejati.
Dengan suara serak, Anisa berkata lirih,
“Aku kasihan sama kamu, Mas. Bukan karena kamu kasar padaku… tapi karena kamu nggak tahu siapa sebenarnya yang kamu bela. Kamu terlalu dibutakan oleh cinta.”
Bima menatapnya tajam.
“Pergi lo dari hadapan gue sebelum gue benar-benar kehilangan kendali!”
Anisa bangkit perlahan, pipinya memerah dan sudut bibirnya berdarah. Ia tidak menjawab lagi. Hanya menatap Luna satu kali tatapan yang tenang tapi menusuk.
“Cepat atau lambat, kebenaran akan datang, Mbak. Dan saat waktu itu tiba, semoga kamu siap menanggung semuanya. Semoga kamu mendapatkan karma dari perbuatan kamu sendiri.”
"Dan untuk kamu mas, ini terakhir kalinya kamu mukul aku. Kamu sudah melanggar kontrak dan kesepakatan kita. Lain kali aku gak akan diam saja di perlakukan seperti ini. Kalau mas mau ceraikan aku sekarang, SILAHKAN!!." ucap Nisa dengan tatapan nyalang yang berhasil membuat Bima terkejut.
Lalu ia melangkah masuk ke kamarnya, mengunci pintu rapat-rapat, dan bersandar di dinding sambil memegangi dadanya yang sesak.
Air matanya jatuh membasahi pipinya, bukan karena sakit fisik, tapi karena ia sadar, kesabaran, dan kebaikannya selama ini, hanya dibalas penghinaan dan kekerasan.
Namun di balik tangis itu, ada api kecil yang mulai menyala. Sebuah tekad untuk bebas.
Bahwa kali ini, Anisa tidak akan tinggal diam. Ia akan bangkit, membuktikan bahwa seorang perempuan yang disakiti bukan untuk dikasihani, tapi untuk dihormati.
Pagi itu di ruang kerja Jovan Millanoz.
Langit Jakarta tampak mendung, tapi suasana di dalam ruangan lebih gelap daripada cuaca di luar. Damian berdiri di depan meja kerja besar berlapis kayu oak, sementara Jovan bersandar di kursinya dengan wajah dingin, matanya fokus menatap map hitam di hadapannya.
Damian menelan ludah, lalu mulai berbicara.
“Semua data tentang Anisa sudah gue temukan, Bos.”
“Bicaralah,” ucap Jovan singkat. Suaranya tenang, tapi nada di baliknya membuat siapa pun segan.
Damian membuka map itu perlahan, memperlihatkan beberapa foto dan dokumen.
“Anisa Putri… bukan berasal dari keluarga berada seperti yang dikira orang-orang. Ia ditemukan di depan sebuah panti asuhan dua puluh satu tahun yang lalu oleh pengurus panti bernama Asih. Dari kecil ia dibesarkan di sana, dan dikenal sebagai anak yang pintar dan berperilaku baik.”
Jovan mengangguk pelan, jarinya mengetuk meja.
“Lanjut.”
“Sayangnya, tiga bulan lalu panti tempat dia tinggal disita oleh negara karena masalah lahan. Semua anak panti dipindahkan ke tempat lain. Ia kehilangan tempat tinggal, dan di tengah kondisi itu… datanglah sepasang suami istri yaitu Amar Pratama dan Istinya bernama Ratna, seorang pengusaha properti besar, yang menawarkan pernikahan dengan putranya, dan pernah menjanjikan memberikan Villanya untuk dijadikan panti asuhan.”
“Menawarkan?” dahi Jovan berkerut.
Damian mengangguk.
“Ya, Bos. Tapi setelah saya telusuri, pernikahan mereka tidak tercatat di catatan sipil. Tidak ada dokumen resmi sama sekali. Jadi secara hukum, mereka tidak menikah.”
“Apa maksudmu?” suara Jovan menurun, tapi aura amarahnya meningkat.
“Maksud saya… itu hanya nikah kontrak, Bos. Anisa mungkin sudah buat kesepakatan dengan Bima tanpa sepengetahuan Amar dan Ratna . Dan yang lebih buruk lagi…” Damian menarik napas panjang, lalu menatap Jovan dengan serius.
“Bima sampai sekarang masih tinggal serumah dengan kekasih lamanya, seorang wanita bernama Luna. Dan dari bukti yang saya dapat… luka di pipi Anisa kemarin bukan kecelakaan. Itu akibat ulah Luna.”
Jovan diam.
Hening menyelimuti ruangan beberapa detik.
Suara jarum jam terdengar sangat jelas.
Kemudian, Jovan berdiri perlahan.
Gerakannya tenang, tapi rahangnya mengeras. Matanya berubah tajam seperti bilah pisau.
“Dia dipukul?” suaranya dalam dan berat.
“Ya, Bos. Luna melukainya dan Bima membiarkan. Bahkan ada laporan dari satpam apartemen yang mendengar pertengkaran mereka malam itu.”
Jovan mengepalkan tangan kuat-kuat di sisi tubuhnya.
“Jadi selama ini gadis itu hidup dalam penindasan… sementara aku—” ia berhenti, menatap jendela besar di belakang meja, menahan gejolak emosi yang nyaris meledak.
Damian menunduk, menunggu instruksi berikutnya.
Jovan akhirnya berbalik, suaranya tegas namun penuh amarah tertahan.
“Damian.”
“Ya, Bos.”
“Awasi terus mereka. Aku ingin tahu setiap gerakan Bima dan Luna. Jika mereka berani menyentuh Anisa lagi, aku tidak akan diam saja.”
“Baik, Bos.”
“Dan satu lagi…” Jovan menatap Damian tajam.
“Siapkan pengacara. Aku ingin tahu celah hukum untuk menjerat pria itu dan pastikan Anisa dilindungi. Mulai hari ini, siapa pun yang menyakiti dia… akan berurusan langsung denganku.”
Damian mengangguk mantap, lalu meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup, Jovan menunduk sambil menatap foto Anisa di berkas itu. Wajah gadis itu lembut tapi menyimpan banyak luka.
“Bagaimana bisa seseorang sebaik dia harus melalui semua ini…,” gumamnya pelan.
“Aku tidak akan biarkan dia disakiti lagi.”