Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Loyalitas yang Runtuh
Sasha tidak menjawab. Ia hanya menatap Hadi, membiarkan ancaman itu menggantung di udara lobi yang dingin dan steril, seperti gema di dalam mausoleum. Matanya, yang beberapa jam lalu basah oleh air mata, kini kering dan keras seperti obsidian. Ia berbalik, melangkah melewati pintu kaca otomatis yang terbuka tanpa suara, seolah mempersilakan kepergian seorang ratu dari istananya yang terkepung.
Rama tergopoh-gopoh menyusul di belakangnya, nyaris menabrak pintu yang kembali menutup. "Bu Sasha… apa yang harus saya lakukan?"
"Panggil semua kepala divisi. Semua anggota dewan yang bisa dihubungi," kata Sasha tanpa menoleh, suaranya rata dan tanpa emosi. "Ruang rapat utama. Tiga puluh menit dari sekarang. Tidak ada pengecualian."
"Tiga puluh menit? Tapi, Bu… sebagian besar dari mereka masih di rumah duka atau baru saja pulang."
"Kalau begitu, mereka punya alasan lebih untuk datang. Katakan ini rapat darurat mengenai kelangsungan hidup DigiRaya. Gunakan kata-kata itu, Rama. Kelangsungan hidup."
*****
Tiga puluh menit kemudian, ruang rapat utama terasa pengap. Udara dipenuhi aroma kopi basi dan ketegangan yang pekat. Dua belas orang duduk mengelilingi meja mahoni raksasa, wajah-wajah mereka adalah topeng keseriusan profesional yang menyembunyikan rasa ingin tahu dan ketakutan. Sasha duduk di kursi utama, kursi Bara, punggungnya lurus sempurna. Di seberang meja, Hadi Wibowo duduk dengan tenang, jemarinya bertaut di atas meja, seolah ia yang memimpin pertemuan ini.
"Terima kasih sudah datang dalam waktu sesingkat ini," Hadi membuka suara, nadanya penuh simpati palsu. "Saya tahu ini hari yang berat bagi kita semua, terutama bagi Sasha. Itulah mengapa saya mengambil inisiatif untuk mempercepat proses yang tak terhindarkan ini, demi melindungi perusahaan yang kita cintai."
"Inisiatif?" suara Sasha memotong, tajam seperti pecahan kaca. "Anda menyebut gugatan hukum yang licik sebagai sebuah inisiatif, Paman?"
Seorang anggota dewan tua berdeham. "Sasha, mungkin kita bisa menjaga nada bicara tetap profesional."
"Profesional?" Sasha menatap pria itu, Tirtayasa, sekutu tertua Hadi. "Apakah profesional jika surat panggilan sidang tiba sebelum bunga di pusara mengering? Apakah profesional menyerang kondisi mental saya sebagai dasar untuk merebut kendali perusahaan?"
Hadi mengangkat tangannya, menenangkan. "Sasha, Nak, jangan salah paham. Ini bukan serangan pribadi. Ini adalah tindakan perlindungan. Dewan ini, para investor, dan ribuan karyawan kita membutuhkan kepastian. Mereka tidak bisa dipimpin oleh duka. Keputusan yang didasari emosi akan menghancurkan warisan Bara dalam hitungan minggu."
"Anda bicara tentang warisan Bara?" Sasha tertawa sinis. "Warisan Bara ada di layar itu." Ia menunjuk proyektor di belakangnya. Rama, yang berdiri gugup di sudut, menekan sebuah tombol. Grafik dan angka memenuhi layar.
"Ini adalah data kinerja kuartal terakhir di bawah kepemimpinan operasional saya," lanjut Sasha, suaranya kini mantap dan berwibawa. "Peningkatan laba bersih dua belas persen. Efisiensi operasional naik delapan persen. Proyek 'Nusantara-Net' yang saya pimpin secara pribadi, melampaui target akuisisi pengguna sebesar dua puluh persen. Angka-angka ini tidak berduka, Hadi. Angka-angka ini tidak emosional. Angka-angka ini adalah fakta."
"Fakta yang impresif, saya akui," balas Hadi dengan senyum meremehkan. "Tapi itu semua di bawah pengawasan dan visi besar Bara. Siapa yang akan memberikan visi itu sekarang? Seorang wanita muda yang hatinya baru saja hancur?"
"Visi itu tidak mati bersamanya!" Suara Sasha meninggi, menggema di ruangan yang hening. "Visi itu ada di dalam diri saya. Visi itu ada di setiap baris kode yang ia tulis, di setiap strategi yang kami rancang bersama di apartemen kami sampai jam tiga pagi! Anda pikir saya hanya tunangannya? Saya adalah mitranya."
"Seorang mitra junior, mungkin," celetuk Tirtayasa.
"Mitra yang menandatangani kontrak terbesar dalam sejarah perusahaan ini tiga bulan lalu saat Bara berada di Jenewa," sahut Sasha cepat, matanya berkilat menantang. "Mitra yang merestrukturisasi divisi cloud computing kita hingga menjadi yang paling profitabel di Asia Tenggara. Apakah Anda ingin saya melanjutkan, Pak Tirtayasa? Saya punya datanya."
Seorang wanita di ujung meja, Bu Ratna, kepala divisi keuangan, angkat bicara. "Data yang disajikan Bu Sasha memang akurat. Secara operasional, perusahaan berada di tangan yang sangat kompeten."
Hadi tersenyum tipis. "Kompetensi operasional adalah satu hal, Bu Ratna. Kepemimpinan di masa krisis adalah hal lain. Pasar modal bereaksi terhadap sentimen, bukan hanya angka. Berita tentang gugatan ini sudah mulai bocor. Saham kita turun tiga persen dalam satu jam terakhir."
"Itu karena gugatan Anda!" sergah Sasha. "Anda sengaja menciptakan krisis ini untuk membenarkan pengambilalihan Anda!"
"Saya hanya mengantisipasi badai yang akan datang," kata Hadi tenang. "Bayangkan apa kata media besok: 'Pewaris Berduka Memegang Kendali Raksasa Teknologi'. Investor akan lari. Kita butuh wajah yang stabil, wajah yang berpengalaman. Wajah saya."
Keheningan melanda. Beberapa kepala menunduk, menghindari tatapan Sasha. Ia bisa merasakan loyalitas di ruangan itu retak, terbelah antara logika dingin Hadi dan pembelaannya yang penuh gairah. Ia tahu angka saja tidak cukup. Ia harus menyentuh sesuatu yang lebih dalam.
"Pengalaman?" Sasha berdiri perlahan, kedua tangannya menekan meja. "Anda benar. Saya tidak punya pengalaman puluhan tahun seperti Anda. Saya tidak punya pengalaman memanipulasi dewan direksi atau memanfaatkan tragedi keluarga untuk keuntungan pribadi."
Napas Hadi tertahan. Wajahnya mengeras.
"Tapi saya punya sesuatu yang Anda tidak punya," lanjut Sasha, suaranya kini lebih pelan, tetapi setiap katanya berbobot. Ia menatap satu per satu wajah di sekeliling meja. "Saya tahu mengapa DigiRaya didirikan. Bukan untuk memuaskan ego segelintir orang di ruangan ini. Bara membangun perusahaan ini karena ia percaya teknologi bisa menjadi jembatan, bukan tembok. Ia percaya setiap anak di pelosok negeri ini berhak mendapatkan akses internet yang sama dengan anak seorang konglomerat. Itulah janjinya. Itulah visi yang Anda sebut telah mati."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
"Saya tidak akan membiarkan visi itu mati. Saya tidak akan membiarkan DigiRaya menjadi sekadar mesin pencetak uang yang dingin dan tanpa jiwa di bawah kendali Anda. Jika Anda memilih Hadi, Anda memilih stabilitas yang semu. Stabilitas kuburan. Jika Anda berdiri bersama saya, saya tidak menjanjikan jalan yang mudah. Akan ada pertempuran. Tapi saya berjanji kita akan terus memperjuangkan mimpi pendiri kita. Kita akan menghormati warisan Bara dengan cara membangunnya menjadi lebih besar, bukan dengan menjualnya kepada penawar tertinggi."
Ia kembali duduk. Ruangan itu sunyi senyap. Bu Ratna menatap Sasha dengan ekspresi baru, campuran antara kekaguman dan perhitungan. Beberapa manajer muda yang direkrut langsung oleh Bara tampak menegakkan punggung mereka. Retakan loyalitas itu mulai membentuk garis baru.
Hadi bertepuk tangan pelan, sarkasme menetes dari setiap tepukan. "Pidato yang sangat menyentuh. Sangat… emosional. Anda baru saja membuktikan poin saya. Terima kasih, Sasha."
"Poin Anda tidak relevan lagi, Hadi," sahut Bu Ratna tiba-tiba, suaranya tegas. "Saya mengusulkan penundaan RUPS luar biasa. Beri Bu Sasha waktu satu bulan untuk membuktikan kepemimpinannya secara de facto. Biarkan pasar melihat stabilitas, bukan pertikaian internal."
"Saya setuju," kata kepala divisi riset, seorang pemuda brilian bernama Gilang. "Visi Bara adalah napas perusahaan ini. Hanya Bu Sasha yang memahaminya."
Wajah Hadi menggelap saat ia melihat tiga, kemudian empat orang lagi mengangguk setuju. Ia belum kalah, tapi ia juga tidak menang mutlak. Pertarungan ini akan lebih sulit dari yang ia bayangkan.
"Baiklah," desis Hadi, berdiri dari kursinya. "Satu bulan. Tapi setiap kesalahan kecil, setiap penurunan saham, akan menjadi tanggung jawabmu sepenuhnya. Rapat selesai."
Satu per satu anggota dewan meninggalkan ruangan, sebagian menepuk bahu Sasha dengan canggung, sebagian lagi bergegas keluar tanpa kontak mata. Dalam beberapa menit, hanya Sasha dan Rama yang tersisa di ruangan yang terasa luas dan kosong itu. Kelelahan yang luar biasa akhirnya menerpanya, membuatnya bersandar di kursi. Ia berhasil memenangkan pertempuran pertama, tetapi perang baru saja dimulai.
Malam itu, di kantor Bara yang kini menjadi miliknya, Sasha menatap layar monitor yang menampilkan pergerakan saham DigiRaya yang bergejolak seperti grafik detak jantung pasien kritis. Ia sendirian, dikelilingi oleh hantu kenangan dan beban masa depan yang terasa mustahil. Ponselnya, yang tergeletak di meja, tiba-tiba bergetar dan menyala. Sebuah notifikasi pesan dari nomor tak dikenal. Jantungnya berdebar kencang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pesan itu. Hanya ada dua kata singkat
"AWASI HADI!"