Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Bayangan di Balik Jendela"
Senja menempel di langit Jakarta, memberi warna jingga pada lorong sempit rumah tua Alya. Suara kipas angin yang berdecit bercampur dengan aroma bensin dari bengkel tetangga. Semua terasa biasa bagi mata orang luar, tapi bagi Alya, itu adalah perangkap yang selalu menunggu untuk menutup.
Di ruang tengah, ayahnya duduk di kursi kayu, wajahnya keras dan tak tersentuh. Di meja, beberapa lembar kertas terlihat—nota hutang, tagihan listrik, tanda terima pinjaman.
“Ini satu-satunya cara, Alya,” suara ayahnya serak, namun tegas. “Kalau kau bekerja di bar itu, kita bisa lunasi semuanya!. Semua utang ini, tidak ada penolakan ayah akan mengirim mu besok”
Alya menatapnya, tangan terkepal. “Jadi ayah ingin aku… menjadi pelayan bar? Seperti… seperti apa yang mereka inginkan?” Suaranya bergetar, tapi matanya menahan air mata.
Ayahnya menunduk sebentar, kemudian menatap lurus. “tidak punya pilihan. Kau tahu sendiri, Utang menumpuk, orang-orang tidak sabar menunggu.”
Alya menggeleng cepat. “Aku… aku tidak bisa. Aku… aku tidak akan melakukannya!” Ia berbalik dan berlari keluar rumah, menembus lorong sempit dengan langkah panik.
Hujan sore mulai menetes di atap, tapi Alya tak peduli. Hatinya berpacu, pikirannya kosong kecuali satu hal: kabur. Ia harus menjauh, walau hanya sebentar, dari semua keputusasaan ini.
Namun, tak sampai lima menit, bayangan besar menutup jalannya. Ayahnya berdiri di depan, napasnya berat, tapi matanya tak ada setitik amarah—hanya keteguhan yang menakutkan.
“Aku bilang, Alya,” suaranya rendah, seperti gemuruh yang menahan badai. “Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu. Tidak sekarang. Tidak pernah.”
Alya menatapnya, takut tapi juga marah. “Aku bukan benda, Ayah! Kau tidak bisa… tidak bisa menjualku seperti ini!”
Ayahnya melangkah lebih dekat, tangannya meraih pundaknya. “Aku tidak menjualmu, nak. Aku berusaha menyelamatkan kita. Tapi kau harus mengerti… dunia ini tidak menunggu orang lemah.”
Alya menunduk, dada bergetar. Hatinya berteriak, tapi mulutnya terkunci. Ia ingin menjerit, ingin memukul, ingin lari lagi. Tapi kekuatan ayahnya, kekakuan kata-katanya, dan rasa takut yang menempel di kulitnya membuatnya diam.
“Besok, kau harus pergi,” kata ayahnya akhirnya, suara berat tapi dingin. “Tidak ada alasan lagi.”
Alya menatap hujan yang menetes di kaca jendela. Dunia di luar begitu luas, tapi jalannya terasa sempit. Hatinya bercampur aduk—marah, takut, dan malu karena ia merasa tak berdaya.
Ia ingin menangis, tapi air mata tak keluar. Sebaliknya, amarahnya menggelegak, sebuah energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Suara hatinya berbisik, tajam: *Aku tidak akan menyerah. Tidak akan.*
Ayahnya melepaskan pundaknya, menatap wajah Alya sekali lagi. Ada penyesalan samar, tapi ia tetap teguh. “Tidurlah sekarang. Besok pagi, semuanya akan berbeda.”
Alya duduk di lantai, menatap kakinya sendiri, merasakan dunia yang berputar tanpa ia kendalikan. Namun di balik semua ketakutan itu, ada sesuatu yang tumbuh: keberanian kecil, cerdas, dan diam-diam siap memberontak.
Dan Alya tahu, besok, perjalanannya baru benar-benar dimulai.
Keesokan harinya, pagi datang dengan sinar yang lembut menembus tirai kamar Alya. Tapi bagi Alya, cahaya itu terasa seperti peringatan—seolah matahari sendiri ingin mengingatkannya akan kenyataan yang menunggu. Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang, dan menatap lantai kayu yang dingin.
“Tidak,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tidak bisa. Aku tidak akan pergi ke sana.”
Dengan cepat, ia mulai merencanakan pelarian. Tas kecilnya sudah ia siapkan malam sebelumnya—beberapa pakaian, dompet tipis, dan kunci sepeda motor yang selama ini ia sembunyikan. Hatinya berdebar kencang, tapi di balik rasa takut itu, ada semangat yang menyala. Ia ingin merasakan kebebasan, meski hanya sebentar.
Ketika ayahnya keluar untuk mengambil sarapan, Alya meluncur keluar dari jendela belakang kamar, hati-hati agar tidak membuat suara. Ia merunduk, menahan napas, dan melangkah ke gang sempit di belakang rumah. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya, tapi ia tak peduli. Setiap langkah adalah kemenangan kecil.
Ia menaiki sepeda motornya, menyalakan mesin, dan melaju meninggalkan gang dengan kecepatan sedang, menahan napas setiap kali melewati tikungan yang mungkin dipantau. Hatinya berdebar seperti gendang perang. Di kepalanya, bayangan bar itu—dan wajah ayahnya yang menatap dingin semalam—mengusik setiap pikiran.
Alya menundukkan kepala, menahan rasa bersalah, menahan air mata, dan memacu motor melewati jalan-jalan kosong. Ia merasa bebas, untuk pertama kalinya sejak lama. Kota di sekelilingnya bergerak lambat, seolah memberinya ruang, seolah berkata, “Ini milikmu.”
Namun, kebebasan itu hanya sementara.
Tak jauh dari rumahnya, sebuah motor hitam muncul dari balik persimpangan, bergerak sejalan dengannya. Hati Alya tersentak. Motor itu tidak asing—ayahnya. Tatapan dinginnya sudah ia kenal, dan aura keteguhan yang menempel padanya membuat jantung Alya seperti ingin meledak.
Ia mencoba berbelok ke gang lain, berusaha memutar jalan. Tapi ayahnya selalu selangkah di depannya, seperti bayangan yang tak bisa dihilangkan. Rasa putus asa mulai merayap.
“Tidak! Aku tidak akan menyerah!” bisik Alya sambil memutar setang motor. Ia mencoba menembus jalan kecil, berharap bisa kehilangan ayahnya di antara keramaian pagi.
Namun ayahnya tidak memberi celah. Dengan tenang tapi pasti, ia menyalip Alya, menutup jalannya, dan menghentikan motor tepat di depannya. Tubuh Alya bergetar, matanya membesar menatap sosok itu.
Ayahnya turun dari motor, wajahnya dingin. “Alya,” katanya, suara rendah tapi tegas. “Aku tidak ingin melakukan ini. Tapi kau tidak punya pilihan.”
Alya menatapnya, napas terengah, air mata mulai menitik. “Kau tidak bisa… tidak bisa menyeretku seperti ini! Aku… aku bukan mainanmu!”
Ayahnya menggeleng pelan, tidak membalas kemarahan itu. Ia hanya menatapnya, mata tajam, tangan menahan motor Alya agar tidak bergerak. “Kau pikir aku ingin melakukan ini? Aku hanya ingin menyelamatkan kita. Segera kita bisa lunasi semua utang ini… tapi kau harus ikut.”
Alya menunduk, tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu amarahnya tidak cukup untuk mengubah kenyataan. Ia mencoba menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya gemetar—antara takut dan marah, antara benci dan keputusasaan.
Ayahnya mengangkat tas kecil Alya, menaruhnya di motornya sendiri, lalu menggenggam tangannya dengan lembut tapi kuat. “Maafkan aku, nak. Ini untuk kita.”
Alya menarik tangannya sekuat tenaga, tapi ayahnya lebih kuat. Ia terseret ke motor, duduk di belakangnya, tubuhnya menempel rapat, panas dari tubuh ayahnya dan getaran mesin membuat jantungnya makin kacau.
Motor melaju, meninggalkan jalan-jalan sempit yang ia kenal, menuju kota yang menjanjikan malam panjang dan bar yang menunggu. Hati Alya hancur, tapi di dalamnya ada bara kecil—keberanian yang belum mati. Ia tahu, walau malam itu akan menjadi malam yang sulit, ia akan menemukan cara untuk bertahan.
“Besok,” bisiknya di dalam hatinya. “Besok aku akan bebas. Aku tidak akan menyerah.”
Dan begitu mereka memasuki jalan besar menuju bar itu, Alya menatap ke depan, menatap dunia yang seolah menantangnya untuk tetap tegar.
Hujan mulai turun tipis, membasahi helmnya. Tapi di dalam hati Alya, api kecil itu tetap menyala. Ia mungkin dibawa ke tempat yang tak diinginkannya, tapi perlawanan itu… baru saja dimulai.