NovelToon NovelToon
Sumpah Raja Duri

Sumpah Raja Duri

Status: tamat
Genre:Fantasi Isekai / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno / Tamat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Elara, seorang ahli herbal desa dengan sihir kehidupan yang sederhana, tidak pernah menyangka takdirnya akan berakhir di Shadowfall—kerajaan kelabu yang dipimpin oleh raja monster. Sebagai "upeti" terakhir, Elara memiliki satu tugas mustahil: menyembuhkan Raja Kaelen dalam waktu satu bulan, atau mati di tangan sang raja sendiri.
​Kaelen bukan sekadar raja yang dingin; ia adalah tawanan dari kutukan yang perlahan mengubah tubuhnya menjadi batu obsidian dan duri mematikan. Ia telah menutup hatinya, yakin bahwa sentuhannya hanya membawa kematian. Namun, kehadiran Elara yang keras kepala dan penuh cahaya mulai meretakkan dinding pertahanan Kaelen, mengungkap sisi heroik di balik wujud monsternya.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Pengakuan

​Pesta "Musim Semi Palsu" berjalan dengan kesempurnaan yang mengerikan.

​Lampu gantung kristal memancarkan cahaya keemasan yang hangat, musik orkestra mengalun lembut, dan meja-meja dipenuhi hidangan eksotis. Namun bagi Elara, rasanya seperti berjalan di atas tali tipis di atas jurang yang penuh buaya.

​Kaelen—yang berada di bawah pengaruh ramuan Numbskull—berperan dengan sangat baik. Terlalu baik, malah.

​Dia tersenyum pada para duta besar. Dia tertawa pada lelucon hambar para Baron. Dia menjabat tangan para pejabat tanpa ragu, cengkeramannya kuat dan stabil. Tidak ada tanda-tanda rasa sakit. Tidak ada tanda-tanda monster pemarah yang biasanya.

​"Dia tampak... berbeda," bisik Lady Seraphina kepada temannya di balik kipas bulu, matanya tak lepas dari Raja yang sedang berbincang santai.

​"Mereka bilang kutukannya hilang," bisik temannya kembali. "Lihat? Dia bahkan membiarkan anak kecil menyentuh jubahnya tadi."

​Elara berdiri di samping Kaelen, lengannya melingkar posesif di lengan Kaelen. Tangannya meremas lengan itu setiap beberapa menit sekali—kode rahasia mereka.

​Satu remasan: Kau baik-baik saja?

Dua remasan: Tarik napas.

Tiga remasan: Kita harus pergi.

​Kaelen tidak pernah membalas remasan itu. Tubuhnya masih mati rasa.

​"Ah, keponakanku yang 'sembuh'."

​Kerumunan membelah. Duke Vane muncul. Wajahnya pucat, senyum ularnya terlihat dipaksakan. Matanya yang hijau licik menatap Kaelen dengan intensitas yang mencoba menembus fasad itu.

​"Paman," sapa Kaelen. Suaranya datar, tenang, tanpa nada permusuhan yang biasanya meledak-ledak. "Kau datang. Senang melihatmu."

​Vane berkedip, terkejut dengan sambutan sopan itu. Dia melirik tangan kanan Kaelen yang tertutup sarung tangan kulit.

​"Aku mendengar rumor luar biasa," kata Vane, melangkah mendekat. "Bahwa 'penyakit' lamamu telah... diangkat?"

​"Berkat Nona Elara," jawab Kaelen, menoleh pada Elara dengan senyum kaku yang telah dilatih. "Dia menemukan metode pengobatan kuno yang sangat efektif."

​"Benarkah?" Vane mendengus skeptis.

​Tanpa peringatan, Vane mengangkat tangannya dan menepuk keras bahu kanan Kaelen—tepat di atas titik di mana duri kristal tumbuh paling tajam di balik lapisan baju tebal itu.

​Itu adalah tepukan yang disengaja. Jika Kaelen masih kesakitan, tepukan itu akan membuatnya menjerit atau setidaknya meringis.

​Bugh.

​Elara menahan napas.

​Kaelen tidak bergeming. Wajahnya tetap datar. Dia bahkan tidak berkedip. Ramuan Numbskull bekerja sempurna; sarafnya mati total.

​Mata Vane membelalak. Sedikit ketakutan mulai merembes ke wajahnya. Tidak mungkin, pikir Vane. Racun itu tidak ada obatnya.

​"Kau terlihat tegang, Paman," kata Kaelen, menepis tangan Vane dari bahunya dengan gerakan santai. "Apa kau sakit? Mungkin Elara bisa meracikkan obat untukmu juga."

​Vane menarik tangannya seolah tersengat listrik. Dia tertawa gugup. "Tidak, tidak. Aku hanya... terkejut. Ini keajaiban. Sungguh."

​"Keajaiban memang ada," kata Elara, memberanikan diri menyela. Dia menatap Vane tajam. "Terutama bagi mereka yang hatinya bersih."

​Rahang Vane mengeras. Dia tahu dia kalah ronde ini. Dia membungkuk kaku. "Kalau begitu, nikmatilah pestamu, Yang Mulia. Aku akan... mengambil minum."

​Vane berbalik dan menghilang ke dalam kerumunan dengan langkah cepat. Dia panik. Rencananya berantakan.

​Elara menghembuskan napas lega. "Kita berhasil," bisiknya pada Kaelen. "Dia percaya."

​Namun, Kaelen tidak menjawab.

​Tiba-tiba, tubuh Kaelen tersentak.

​"Kaelen?"

​Kaelen menunduk. Keringat dingin sebesar biji jagung muncul di pelipisnya. Wajahnya yang tadinya datar kini berkerut.

​"Obatnya..." desis Kaelen lewat gigi yang terkatup rapat. "Habis."

​Elara melihat jam saku yang tergantung di pinggangnya. Baru tiga jam. Seharusnya ramuan itu bertahan empat jam!

​"Metabolisme kutukanku... membakar obatnya lebih cepat," erang Kaelen.

​Tangannya mencengkeram lengan Elara. Kali ini bukan remasan kode. Ini cengkeraman kesakitan.

​"Sakit sekali... rasanya seperti... ditusuk ribuan pisau panas..."

​Kaki Kaelen goyah.

​"Kita harus pergi. Sekarang," bisik Elara panik.

​Dia berbalik menghadap kerumunan, memasang senyum manis palsu. "Maaf semuanya! Raja sedikit lelah setelah masa pemulihan. Kami akan beristirahat sebentar!"

​Tanpa menunggu jawaban, Elara menarik Kaelen keluar dari aula, melewati pintu samping menuju taman dalam yang sepi.

​Begitu pintu tertutup di belakang mereka dan suara musik meredup, Kaelen ambruk.

​Dia jatuh berlutut di atas rumput. Napasnya memburu kasar, terdengar seperti isak tangis tertahan.

​"Argh!" Kaelen merobek kerah bajunya yang ketat.

​Rasa sakit yang tertahan selama tiga jam kini menyerang balik dengan kekuatan sepuluh kali lipat. Tubuhnya mengejang. Duri-duri di balik bajunya bergesekan dengan kain, menciptakan rasa perih yang tak terbayangkan.

​"Kaelen!" Elara berlutut, mencoba memegangnya. "Bertahanlah! Aku punya ramuan penenang dosis rendah di kamar!"

​"Jangan sentuh aku!" bentak Kaelen, mendorong Elara menjauh.

​Kaelen merangkak mundur, menjauh dari Elara. Matanya kembali merah menyala, liar karena rasa sakit.

​"Pergi, Elara! Aku tidak bisa mengendalikan ini! Aku akan melukaimu!"

​"Aku tidak peduli!" teriak Elara.

​Dia tidak mundur. Dia justru maju, menangkap wajah Kaelen dengan kedua tangannya, memaksanya menatap matanya.

​"Lihat aku, Kaelen! Lihat aku!"

​Kaelen mencoba memalingkan wajah, tapi Elara menahannya kuat.

​"Sakitnya ada di kepalamu!" kata Elara, meski dia tahu itu bohong, tapi dia butuh Kaelen fokus. "Fokus pada suaraku. Fokus padaku."

​"Kenapa?" bisik Kaelen, air mata kesakitan mengalir di wajah batunya. "Kenapa kau selalu kembali? Kenapa kau tidak lari saat aku menyuruhmu lari? Aku monster, Elara! Vane benar, aku hanya akan membawamu ke neraka!"

​"Karena aku mencintaimu, bodoh!"

​Teriakan itu memecah malam.

​Angin berhenti berhembus. Jangkrik berhenti mengerik. Bahkan rasa sakit di tubuh Kaelen seolah berhenti sejenak karena terkejut.

​Elara terengah-engah, matanya lebar. Dia baru saja mengatakannya. Kata-kata yang selama ini dia telan kembali setiap kali melihat punggung kesepian pria itu.

​Kaelen menatapnya, terpaku. "Apa... apa katamu?"

​"Aku mencintaimu," ulang Elara, suaranya kini lebih pelan tapi lebih tegas. Air mata mengalir di pipinya. "Aku mencintai sisi manusiamu yang canggung. Aku mencintai sisi monstermu yang kesepian. Aku mencintai caramu mencoba melindungiku dengan mengusirku."

​Dia mendekatkan wajahnya.

​"Jadi jangan berani-berani menyuruhku pergi lagi. Karena neraka bersamamu lebih baik daripada surga tanpamu."

​Kaelen gemetar.

Seluruh pertahanannya hancur. Bukan karena rasa sakit fisik, tapi karena hantaman emosi yang begitu murni.

​Dia tidak pernah dicintai. Tidak seperti ini. Dia dicintai sebagai raja, ditakuti sebagai monster, dikasihani sebagai korban. Tapi dicintai sebagai Kaelen? Pria yang rusak dan penuh cacat?

​"Kau akan menyesalinya," bisik Kaelen, suaranya parau.

​"Biar aku yang menanggung penyesalan itu," jawab Elara.

​Kaelen mengerang, suara yang merupakan campuran antara rasa sakit dan kerinduan yang tak tertahankan.

​Dia tidak lagi mendorong Elara menjauh. Tangan manusianya melingkar di pinggang Elara, menariknya mendekat dengan putus asa. Tangan batunya—yang tajam dan berbahaya—terangkat di udara, menjauh agar tidak melukai gadis itu.

​Kaelen menunduk dan menciumnya.

​Itu bukan ciuman manis seperti di dongeng. Itu ciuman yang kasar, mendesak, dan penuh rasa putus asa. Rasanya seperti darah dan air mata. Rasanya seperti badai.

​Elara membalas ciuman itu dengan sama kuatnya, melingkarkan lengannya di leher Kaelen, menariknya lebih dalam. Dia menyalurkan sihir kehidupannya lewat bibir mereka, bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk menenangkan.

​Di bawah sinar bulan, di taman yang sunyi, Raja dan Tabibnya saling melahap satu sama lain, mencari pegangan di tengah dunia yang runtuh.

​Saat ciuman itu terlepas, keduanya terengah-engah, kening mereka bersatu.

​Napas Kaelen masih berat, tapi matanya sudah kembali jernih. Warna merah gilanya meredup menjadi abu-abu hangat. Rasa sakit fisiknya masih ada, tapi kini dia punya sesuatu yang lebih kuat daripada obat bius mana pun untuk melawannya.

​"Elara," bisik Kaelen di bibir gadis itu. "Aku bersumpah demi sisa nyawaku... jika kita selamat dari ini... aku akan memberikan dunia ini padamu."

​"Aku tidak butuh dunia," jawab Elara, menyeka keringat di wajah Kaelen. "Aku cuma butuh kau sembuh."

​Tiba-tiba, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari arah lorong. Suara logam beradu.

​Mereka menoleh serentak.

​Vorian muncul dari balik semak-semak, pedangnya terhunus, wajahnya pucat pasi di balik topeng yang penyok.

​"Yang Mulia! Nona Elara!" seru Vorian napasnya tersengal. "Kita punya masalah besar."

​Kaelen bangkit berdiri, menyembunyikan Elara di belakang punggungnya secara instan. "Vane?"

​"Lebih buruk," kata Vorian. "Vane baru saja meninggalkan istana dengan tergesa-gesa. Tapi sebelum pergi... dia melepaskan sesuatu di penjara bawah tanah."

​Tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan. Terdengar auman mengerikan dari perut bumi—suara yang jauh lebih purba dan lapar daripada Void Walker biasa.

​"Apa yang dia lepaskan?" tanya Elara.

​Vorian menelan ludah.

​"The Behemoth. Monster peliharaan leluhur yang dikurung seratus tahun lalu. Dan dia lapar."

​Kaelen memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. Kali ini tidak ada ketakutan. Hanya ada ketenangan dingin dari seorang pria yang baru saja mendapatkan alasan untuk hidup.

​Dia menoleh pada Elara, menggenggam tangannya erat.

​"Malam ini belum berakhir, Cintaku," kata Kaelen. "Siap untuk ronde kedua?"

​Elara mengambil tas obat dari balik semak tempat dia menyembunyikannya tadi (selalu siaga). Dia tersenyum, meski lututnya gemetar.

​"Selalu siap, Rajaku."

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
Alona Luna
wahhh akhirnya happy ending ☺️
Alona Luna: wahhhh ok. baik
total 2 replies
Alona Luna
semangat next kak☺️
Alona Luna: sama-sama kak.☺️
total 2 replies
Alona Luna
next kak.. makin seru ceritanya
Ara putri
semangat kak, jgn lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB
tanty rahayu: semangat juga ya ka.... wah kayanya seru tuh 😍nanti aku mampir baca ya
total 1 replies
Alona Luna
ceritanya bagus kak. next
Alona Luna: aku tunggu kak☺️
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!