Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Crazy One
Tatapan mata kecoklatan itu kosong, pikirannya saat ini berusaha untuk menyatukan titik-titik kebenaran dari informasi yang ia terima. Dia terkejut, sangat shock, setelah diseret oleh Rendra ke hadapan penghulu, setelah mendengar ancaman Rendra, ia masih tidak mengerti mengapa takdir malah mempermainkan dirinya, dan saat ini ia harus duduk di samping Rendra dan mendengarkan kata per kata akad yang diucapkan oleh pria yang lama dikenalnya itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Vanya Anantari binti Almarhum Abhimanyu Mahendra dengan mas kawin sebuah rumah dan lima ratus gram emas dibayar tunai."
"Bagaimana saksi, sah?"
"SAH!!!"
Sah? Begitukah? Apakah sekarang dirinya bukan lagi seorang lajang? Sekarang dirinya adalah seorang istri? Istri dari Rendra Adiatmaharaja? Vanya ingin memberontak, tangannya mengepal kuat di atas pahanya, matanya mulai memanas, ia ingin menangis tapi ditahannya kuat-kuat. Ini tidak adil. Dirinya tidak bisa nangis di sini, tidak sekarang. Ini memang bukan keinginannya, dan dalam hidupnya ini adalah pertama kalinya dirinya harus melakukan sesuatu di luar keinginannya.
"Maaf, Nak. Karena kelalaianku kamu harus menggantikan posisi Alessia." Suara Harun menyeruak ke telinga Vanya, memaksa gadis itu menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh kekecewaan.
Air mata yang sejak tadi ditahan oleh Vanya pun jatuh ke pangkuannya, menetes di atas punggung tangannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ayah? Kenapa ada peristiwa seperti ini dan aku tidak mengetahuinya?" Vanya mengepalkan tangannya semakin kuat, gemuruh di dadanya berusaha untuk meluap. "Apa yang ayah lakukan sampai harus mengorbankan Alessia?" Vanya mencecar dan Harun terdiam.
"Ini adalah kesepakatan kerja sama kami, Vanya." Suara lain menyahut, Vanya tak sudi menoleh ke pemilik suara itu. Meski saat ini statusnya adalah suami Vanya.
"Ayah bisa menceritakannya padaku, kita bisa mencari solusinya bersama." Vanya masih tidak menyerah untuk menyudutkan Harun. Jika tidak mengingat bahwa Harun telah berbaik hati mengadopsinya sebagai anaknya dan memberikan beasiswa padanya, Vanya jelas tidak akan menerima pernikahan ini.
Itupun jika ini layak dikatakan sebagai pernikahan karena nyatanya saat akad nikah berlangsung hanya ada Harun, Mahesa, pria bermata sipit, penghulu, dan Rendra yang berpakaian layaknya pengantin pria dengan setelan serba putih gading dan songkoknya. Sementara Vanya sama sekali tidak menggunakan pakaian khas pengantin, ia hanya menggunakan pakaian casualnya, tanpa riasan, dan yang harus diingat, Vanya duduk di samping Rendra karena ancaman dari pria itu.
Vanya masih tidak tahu, apa sebenarnya masalah yang membuat Harun begitu saja menyerahkan masa depan anaknya kepada Rendra. Dan saat ini masa depan menjadi istri Rendra itu jadi miliknya.
"Anggap saja ini sebagai balas budimu kepada keluarga kami karena telah mengangkatmu sebagai anak," terang suara lain yang begitu lantang, padahal sebelumnya pemilik suara ini menghilang dan tak ditemukan di manapun. Semua orang menoleh ke arah orang itu, Ibu Miranda, terlihat masih cantik dengan riasannya, berjalan ke arah ruang akad.
"Miranda, jangan ikut campur!" Harun memeringatkan. "Vanya, kamu jangan dengarkan Ibumu, Nak. Ini semua salah kami sebagai orang tua."
"Kenapa? Toh aku benar kan? Selama ini dia sudah menjadi bagian keluarga kita, sedikit membantu tidak akan masalah. Aku justru sangat berterimakasih padanya karena rela mengorbankan diri untuk keluarga kita. Tapi lihat dirimu, Harun. Kamu malah berusaha merenggut kebahagiaan Alessia!"
"Diam!" Harun berdiri dari tempatnya. "Aku peringatkan kamu sekali lagi, jangan ikut campur atau kamu akan menyesal." Sorotnya tajam menusuk pada raut cantik Miranda.
Vanya menghela nafasnya, bukannya mendapat pencerahan ia malah harus menyaksikan perdebatan orang tuanya. Meski tidak rela dengan haknya yang direnggut, Vanya berusaha menerima kenyataan bahwa dia harus menggantikan Alessia.
"Sudah, Ibu, Ayah, sudah cukup. Semua sudah terjadi, tidak perlu diperdebatkan." Vanya berusaha untuk menghentikan perdebatan yang mungkin akan berlangsung menjadi pertengkaran.
"Memang," sahut Rendra, sedari tadi dirinya diam mengamati drama keluarga ini dan merasa cukup terhibur. "Sekarang, kamu ikut saya." Jelas kalimat itu tertuju kepada Vanya, sejak awal Rendra tak pernah melepaskan pandangannya dari Vanya.
"Nggak! Kenapa aku harus ikut kamu mas?" Vanya berontak, pikirnya cukup pernikahan mereka saja yang tak masuk akal bagi pikirannya, dia tidak akan menuruti pria itu lagi.
Vanya merasakan kursinya digeser, kini ia berhadapan dengan Rendra yang duduk di sebelahnya. Debaran aneh mulai bergemuruh di dalam dadanya, Vanya menatap Rendra penuh kebencian.
Dirinya memang tidak begitu mengenal Rendra Adiatmaharaja, tapi ia sudah tidak asing dengan pria itu sejak usianya masih tujuh tahun. Rendra adalah sahabat kakak kandung dan suaminya, Miray dan Saga. Karena jarak usia mereka yang begitu jauh, mereka hampir tidak pernah berinteraksi, adapun jika Vanya tak salah ingat, ia bertemu dengan Rendra di pernikahan kakaknya beberapa tahun lalu. Itu pun hanya sebatas saling sapa, siapa yang menyangka jika dirinya akan sering bertemu dengan Rendra di pengadilan dan sekarang pria itu malah jadi suaminya.
"You are my wife now, what do you expect? Live separated from me?" Rendra mengulurkan tangan untuk menyentuh dagu Vanya dan mengangkatnya hingga Vanya tak punya pilihan lain selain menatapnya.
"Kamu bilang hanya menikahimu, bukan berarti aku mau tinggal sama kamu ya, Mas!"
"Nak—" Harun ingin mengatakan sesuatu tapi satu tangan Rendra yang bebas terangkat untuk menghentikannya, tanpa melepaskan pandangannya ke arah Vanya.
"Hidupmu sekarang adalah milik saya, Vanya Anantari. You are my wife." Raut wajah Rendra sangat tenang, tapi jelas sekali di matanya ada bara api yang siap untuk membakar apapun. "Kamu wanita cerdas, saya tidak perlu mengingatkanmu dua kali jikakelangsungan keluarga Murya ada di tangan saya."
Vanya tercekat, ingin menjawab tapi lidahnya kelu. Ya, dia tidak lupa jika kesediaannya duduk di samping Rendra dan menikah dengan pria itu bukan semata-mata menyelamatkan Alessia tapi seluruh keluarga Murya.
"Jadilah gadis yang penurut." Rendra melepaskan dagu Vanya, gadis itu tampak terguncang. Meski berusaha menutupi perasaannya, siapapun akan tahu dengan pasti jika gadis itu sangat terpukul.
"Vanya ... nak," Miranda menghampiri Vanya yang masih terpaku di tempatnya. Ia meraih tangan Vanya yang mengepal kuat dan berlutut di depan Vanya. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih."
Vanya sudah terlalu lelah hingga ia tidak bisa berbasa-basi dan meminta Miranda untuk berdiri, jadi dirinya diam saja mendengarkan, pikirannya saat ini sedang kalut.
"Vanya, aku tahu kamu adalah anak yang baik. keluarga kami sangat beruntung memilikimu. Kami akan selalu berhutang budi padamu."
Tidak. Bukan itu yang dikatakan oleh Miranda tadi, bukankah Miranda tadi mengatakan bahwa ini adalah cara Vanya untuk membayar kebaikan keluarga mereka. Sekarang mereka impas. Itu pikiran picik Vanya, tapi hati nuraninya selalu memiliki niat lain, niat yang selalu menolak pikiran-pikiran piciknya.
"Tidak, ibu. Vanya melakukan ini demi keluarga ini bukan agar ibu berhutang budi." Vanya akhirnya menarik perlahan lengan Miranda dan membawanya bangkit dari lututnya. "Jangan bicara seperti itu, kita adalah keluarga," imbuh Vanya datar, tampaknya segala emosi yang dia rasakan seperti menguap. Karena apapun yang dia rasakan saat ini pun percuma saja dan selalu terbentur dengan niat awalnya yaitu menjadi penyelamat Alessia, dan benar saja dia suda menyelamatkan Alessia.
Rendra tiba-tiba bangun dari kursinya, "Ayo."
Kali ini Vanya menurut, ia bangkit dari kursinya dan memeluk Miranda yang terisak. Setelahnya ia menghampiri Harun yang sejak tadi tak berucap sama sekali, pria itu benar-benar merasa tak berdaya.
"Maafkan ketidakmapuanku, Nak."
"Lebih baik sekarang ayah hubungi Alessia untuk kembali." Vanya membalas datar, ia kemudian mengikuti Rendra yang keluar dari rumah ini.
Harun dan Miranda mengantarkan mereka sampai di pintu depan, tak ada lagi kata yang bisa Vanya ucapkan, ia belum sepenuhnya menerima, tapi ia juga tidak sepenuhnya membenci takdir yang kini jadi miliknya, karena takdir itu menyelamatkan keluarga yang sudah membantunya.
...***...
"Aku ingin ke rumah kakak." Keheningan selama beberapa saat di mobil itu akhirnya terpecahkan setelah Vanya membuka mulutnya untuk meminta sesuatu kepada Rendra.
"Saya bisa menjemput Miray dan mengantarkannya padamu besok," balas pria itu datar.
Vanya menoleh tegas ke arah Rendra, matanya menyipit tak suka pada keputusan Rendra.
"Kenapa harus menunggu besok, aku ingin memberitahu kakakku tentang pernikahan kita. Dia harus tahu dari mulutku sendiri dan itu sekarang."
Rendra menghembuskan nafas datar, dia tahu jika istrinya adalah perempuan yang sulit untuk ditangani. Tak sembarang orang bisa menghandle perempuan cerdas dan keras kepala yang memiliki banyak akal seperti Vanya.
"Kakakku sedang hamil, aku tidak ingin dia bepergian jauh. jadi—" belum selesai Vanya mengutarakan keinginannya, Rendra sudah menyela.
"Souta, kita ke Kemang. Ke rumah Saga." Perintahnya dengan nada tegas yang terdengar lebih singkat, lebih padat, ketimbang jika bicara dengan Vanya.
"Terima kasih, tapi tetap saja itu tidak membenarkan perbuatanmu, Mas."
Tidak ada balasan dari Rendra, tapi setidaknya pria itu sudah mengabulkan permohonannya. Pada akhirnya, mereka melakukan perjalanan dalam keheningan yang menyesakkan. Souta yang biasanya sering bicara pun hanya bisa diam merasakan ketegangan di antara dua insan yang baru saja menjadi pengantin baru di belakangnya.
...***...
Mobil berhenti tepat di depan rumah yang dihuni oleh Miray dan Saga, itu adalah kompleks perumahan militer. Vanya hendak membuka pintu tapi ia mengurungkan niatnya lalu menoleh ke arah Rendra.
"Kamu harus turun, Mas. Kamu yang harus jelaskan situasi ini kepada kakakku." Vanya meminta, jelas dia tidak ingin dianggap bercanda saat menjelaskan pernikahan dadakan yang terjadi. Apalagi menikahnya dengan orang yang dikenal oleh Miray dan suaminya itu, bukan hanya kenal mereka adalah sahabat.
"Ya." Singkat, jelas, dan sangat padat. Rendra akhirnya turun dari mobil dan di susul oleh Vanya.
Keduanya lantas masuk ke pekarangan rumah itu, tepat di depan pintu rumah, Vanya mengulurkan tangan untuk memencet bel, bersamaan dengan tangan Rendra. Seketika itu, Vanya menarik lagi tangannya. Dia memilih untuk melatih senyumannya saat akan bertemu dengan kakaknya. Setidaknya ia harus bersikap bahwa pernikahan ini adalah keinginan mereka berdua, bukan paksaan.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Rendra, rupanya pria itu mengamati Vanya sejak tadi.
"Kita harus bersikap natural, seolah-olah kita memang jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah."
Lihat, bahkan Rendra saja tidak terpikir ke arah sana. Dia tidak memiliki pemikiran untuk berpura-pura jatuh cinta dengan Vanya dan mereka menikah atas kemauannya sendiri. Dia tidak ingin repot, tapi Vanya malah memiliki akal bulus seperti itu.
"Kenapa diam aja, Mas? Apa kamu mau kakakku terkejut setelah tahu pernikahan kita yang dadakan ini karena paksaan dari kamu."
"Saya tidak memaksa."
"Ya, kamu mengancam."
"Itu tidak sama, Anantari."
"Jangan panggil begitu, nggak ada yang manggil aku begitu. tapi bukan itu intinya." Vanya menghela nafasnya. "Kamu memaksaku dengan ancaman, itu kronologinya," terangnya.
"Kalau memang itu yang kamu pikirkan, baiklah, tidak ada ruginya untuk saya." Rendra menjawab enteng sembari memasukkan tangan ke dalam saku celananya.
"Jadi, intinya gini ... kita menjalin hubungan setelah bertemu di pernikahan Kakak, lalu memutuskan untuk menikah. Oke?"
Tak ada kata yang keluar dari mulut Rendra, hanya anggukan samar yang dianggap oleh Vanya adalah tanda persetujuan dari pria itu.
Merasa lama tak ada yang membuka pintu, Vanya kemudian memencet bel pintu lagi. Kali ini tak butuh waktu lama hingga pintu itu dibuka, dan muncul sosok perempuan cantik dengan perut buncit dan berambut panjang tergerai dari balik pintu.
Vanya menghambur begitu saja memeluk Miray yang perutnya sudah membuncit, rasanya ingin sekali ia menumpahkan semua perasaannya saat itu. Ia ingin menangis dan mengadu pada kakaknya, sayangnya kondisi Miray tak memungkinkan untuk menerima segala macam keluh kesah Vanya saat ini. Jadi, Vanya memilih untuk tersenyum dan menarik kembali air mata yang sudah siap untuk terjun bebas.
"Wow. Kapan kamu ke sini? Aku melihatmu di TV, kok bisa tiba-tiba kemari?" Miray tampak bingung, ia menatap Rendra yang tak pernah dia duga akan datang ke rumahnya bersama sang adik. Miray membalas pelukan erat Vanya.
Tak lama setelah agak puas memeluk kakaknya, Vanya mengendurkan pelukannya dan memberikan senyuman terbaiknya. Hal itu tak luput dari perhatian Rendra, ia baru tahu jika Vanya bisa berakting seperti ini.
"Aku sengaja mau buat kejutan buat kakak, iya 'kan, Mas?" Vanya mencari dukungan Rendra.
"Masuk dulu, ya ampun, aku bener-bener kaget." Miray menuntun Vanya masuk ke dalam rumahnya dan diikuti oleh Rendra dari belakang. "Saga lagi nggak di rumah juga, dia pasti kesenengen kalo tahu Rendra ke sini," ujarnya sambil menoleh ke arah Rendra dengan tatapan yang sedikit curiga.
Mereka bertiga lantas duduk di sofa tamu dengan Vanya yang masih menempel pada Miray, seolah sedang mencari perlindungan.
"Kalian mau minum apa?"
"Nggak usah kak, kita nggak lama kok."
"Loh kok nggak lama, gimana sih? Kapan kamu ke sini?" tanya Miray lagi, ia menatap adiknya lalu mengalihkan pandangannya pada Rendra. "Kemarin aku masih lihat berita kalian di pengadilan. Sekarang kamu sudah di sini aja."
"Kami baru saja menikah."
Rendra baru saja menjatuhkan bomnya, karena setelah ucapannya yang begitu datar dan tenang itu menghadirkan kejutan yang luar biasa untuk Miray. Vanya pun langsung dan melotot pada Rendra, kenapa tak bisa menunggunya untuk bicara lebih dulu.
"Apa sih, jangan bercanda. Orang kalian kemaren masih di pengadilan kok sekarang udah nikah. Mana ada nikah secepet itu." Miray mencoba menolak informasi, ia menatap adiknya untuk mengonfirmasi bahwa itu hanya lelucon belaka, tapi Vanya hanya terdiam.
"Nikah siri."
"Lo gila ya, Ren?"
"Mas!"
"Jangan main-main sama Vanya! Lo nggak bisa semena-mena sama Vanya begini! Dan kalo ini cuma bercanda, sama sekali nggak lucu!"
"Gue cinta sama adek lo udah lama, kita juga LDRan selama tiga tahun ini. Gue cemburu karena Vanya selalu deket sama temen kantornya, siapa itu namanya? Henggar? Betul?"
Vanya terdiam mencerna informasi bahwa Rendra tahu nama teman kantornya. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu tapi tak ada yang keluar dari sana, ia hanya menatap Rendra antara percaya atau tidak.
"Gue minta dia balik ke jakarta, kita nikah siri satu jam yang lalu." Rendra terus bicara dengan nada kesal yang tak dimengerti oleh Vanya. "Kamu nggak perlu khawatir, aku akan urus semua surat nikah kami secepatnya."
"Vanya, bilang sesuatu, jelaskan."
Vanya memandang Rendra kesal lalu beralih pada kakaknya. "Ya kenyataannya memang gitu, Kak."
"Kalian berdua emang gila."
...*bersambung*...
semangat nulisnyaa yaaaa