NovelToon NovelToon
MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

MANTAN TENTARA BAYARAN: IDENTITAS ASLINYA SEORANG MILIARDER

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mata-mata/Agen / Trauma masa lalu / Action / Romantis / Crazy Rich/Konglomerat
Popularitas:10.7k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Mereka memanggilnya Reaper.

Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.

Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.

Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.

Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.

Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.

Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:

“Itu adalah misi terakhirmu.”

Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

James menundukkan kepala sedikit kepada Kapten Ruild yang sedang membungkuk. “Kapten,” ucapnya tenang namun berwibawa, “kau tidak perlu meminta maaf. Tanggung jawabmu sudah terlihat jelas.” Dengan gerakan mantap, James membantu sang Kapten berdiri. “Yang melampaui batas adalah anak buahmu, dan kau datang untuk memperbaikinya. Itu cukup menunjukkan bagaimana seorang pemimpin sejati.”

Kapten Ruild menatap James, ada kelegaan dan hormat di wajahnya. Lalu dia menoleh ke arah perwira kedua yang berdiri pucat di samping rekannya yang sedang dirawat oleh paramedis.

Melihat pandangan tajam sang Kapten, perwira kedua itu segera maju ke arah Sophie, menunduk dalam-dalam. “Nyonya... aku... aku benar-benar minta maaf. Aku tidak pantas berbicara padamu seperti itu. Tolong... maafkan aku.” Ucapannya terburu-buru, tanpa ketulusan yang bisa dirasakan Sophie.

Sophie menatapnya lama. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya tajam. “Seragammu melambangkan tekad untuk melayani dan melindungi, bukan untuk menakuti dan merendahkan mereka yang seharusnya kau bantu,” katanya pelan. “Menyalahgunakan wewenangmu, apalagi di depan anak-anakku, itu tidak bisa diterima. Kuharap kau mengingatnya.” Tidak ada amarah, hanya kekecewaan mendalam. Dia lalu menoleh ke anak-anaknya, memastikan mereka baik-baik saja.

James melangkah sedikit ke depan, menatap Kapten Ruild. "Kapten,” ujarnya tenang, “tagihan yang tertunda sudah dilunasi. Aku percaya tidak akan ada lagi masalah.” Nada suaranya membuat tak seorang pun berani membantah.

Kapten Ruild mengangguk cepat. “Mengerti, Jenderal. Kami tidak akan mengganggu Nyonya itu lagi.” dia memberi isyarat kepada anak buahnya, lalu para polisi kembali ke kendaraan mereka. Sirene perlahan menjauh, meninggalkan jalanan yang kembali sunyi.

Cahaya merah dan biru memudar di tikungan. Saat sirene berhenti, lingkungan itu seperti menghela napas panjang—melepaskan ketegangan yang sempat menggantung.

Keheningan turun.

Dan dalam keheningan itu, James berbalik.

Perlahan.

Gerakannya seolah-olah membawa beban bertahun-tahun yang tak pernah benar-benar pergi.

Sophie menahan napas.

Dia hanya beberapa langkah darinya, tapi ketika akhirnya berhadapan, waktu seakan berhenti—berusaha menyatukan kembali apa yang dulu terpisah.

Kini ia melihatnya.

Anak laki-laki yang pernah ia dekap, cium, dan cari di setiap mimpi, bukan lagi anak-anak. Dia berdiri tegak, seorang pria yang ditempa oleh perang dan kehilangan. Wajahnya tirus, rahangnya tegas. Matanya... terlalu tenang. Bukan ketenangan damai, tapi ketenangan seseorang yang sudah terlalu lama bertahan.

Namun bukan itu yang menghancurkannya.

Wajahnya—begitu mirip Simon.

Tulang pipi yang sama, tatapan yang sama, bahkan bayangan kesedihan yang sama. Seolah-olah dia menatap hantu—lelaki yang telah dikuburnya bertahun-tahun lalu.

Kini keduanya berdiri di hadapannya—dalam wajah putranya.

Air mata memenuhi matanya saat ia berbisik dengan suara bergetar, "James…”

James tak segera menjawab. Da hanya menatap, seolah-olah nama itu baru saja membangunkannya dari tidur panjang. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata keluar. Hingga akhirnya dia berlutut, seolah kenyataan itu terlalu berat untuk berdiri.

“Mama...” suaranya pecah.

Sophie langsung menjatuhkan diri, memeluknya. Jemarinya menyentuh wajah yang kasar dan basah oleh air mata. “Anakku...” isaknya, “kau di sini... kau hidup...”

James menunduk, dahinya bersentuhan dengan dahi ibunya. "Aku tidak bisa menemukan jalan pulang..."

"Aku minta maaf, Mama. Maaf untuk semuanya. Untuk setiap malam kau menangis. Untuk setiap ulang tahun yang kau lewati sendiri. Untuk setiap pelukan yang tidak bisa kuberikan…”

Sophie memeluknya erat. “Aku merindukanmu... setiap hari...”

Dan akhirnya, setelah semua rasa sakit, keheningan, dan tahun-tahun yang hilang, James menangis.

Bukan air mata seorang tentara.

Bukan air mata seorang pembunuh.

Tapi sebagai anak yang akhirnya bisa kembali pulang.

Clara berdiri beberapa langkah di belakang. Dia menatap keduanya dalam diam, dada terasa sesak. Antara kagum dan pedih. Ia baru mengenal James, tapi kini melihat sisi lain darinya—anak kecil di balik ketegasan yang menakutkan.

Dia menunduk pelan. “Dia pulang,” bisiknya.

Sophie menyeka air matanya, menoleh ke arah anak kembarnya. “Chloe, Felix,” panggilnya lembut.

Dua sosok kecil muncul dari balik trotoar, menatap penasaran. Hope melangkah lebih dulu, sementara Asher mengikuti sambil menggenggam gambar kusut dan kotak jus.

Sophie berlutut di samping mereka. "Kalian ingat cerita yang Mama ceritakan? Tentang kakak kalian—yang pemberani dan selalu Mama harap suatu saat nanti kalian akan bertemu dengannya?”

Keduanya mengangguk pelan.

Sophie tersenyum di tengah air mata. "Dia di sini. Ini dia. Ini James.”

Hope terkejut begitu keras hingga suaranya bergema di jalan. "Ini kakak superhero itu?!”

Asher mengerutkan dahi. “Tapi dia tid—eh, tidak menggunakan kostum superhero...”

James tertawa kecil. “Tidak ada kostum superhero. Tapi pelukanku terbaik di kota.”

Hope langsung berlari, menjatuhkan tasnya di trotoar dan menabraknya dengan semangat anak enam tahun.

"KAKAAA!!!"

Dia menabraknya, tertawa, dan Asher, dengan usaha menjaga wibawa, menyusul di belakang.

"Aku hanya memeluk supaya dia tidak memelukmu terlalu keras," katanya, tapi genggamannya erat.

James memeluk keduanya erat, lengannya melingkari tubuh kecil mereka, jantungnya berdetak cepat. Ia menenggelamkan wajah di rambut mereka—yang satu berbau krayon, yang satu seperti susu cokelat dan sinar matahari.

James tertawa lagi. “Aku menunggu seumur hidup untuk memeluk kalian.”

Hope tersenyum lebar. "Nanti saat sampai dirumah kami akan menggambar kostum superhero untukmu!”

Asher mengangguk serius. "Dan kau juga harus lihat koleksi dinosaurusku. Itu sangat penting.”

Sophie berdiri di belakang mereka, menutup mulut menahan tangis bahagia. Di bawah cahaya senja, James menemukan kembali sesuatu yang selama ini hilang—keluarga.

James memeluk Hope dan Asher, lalu menatap ibunya. “Mama, aku tahu semuanya sekarang... dari surat-surat itu. Clara yang memberikannya.”

Sophie tertegun, tangannya menyentuh dada. “Dia menyimpannya?”

James mengangguk. "Semuanya. Kau tidak pernah berhenti mencariku. Sekarang aku tahu itu.”

Dia tersenyum kecil pada si kembar. “Ayo. Saatnya menemui ayah kalian.”

Hope menatapnya bersemangat. “Kita ke rumah sakit?! Seperti di film?!”

"Asal aku boleh pakai sarung tangan dan pencet tombol," Asher menimpali antusias.

James tertawa kecil. "Boleh. Tapi jangan pencet tombol merah besar.”

Lalu dia mengeluarkan ponsel dan menelepon.

"Lukas," katanya tenang, "bawa mobil ke tikungan. Sekarang."

Beberapa saat kemudian, Clara melangkah dari kejauhan dengan tangan terlipat.

Dia mengangguk lembut pada James lalu menatap Sophie dengan senyum hangat.

"Kau sudah mendapatkan anakmu kembali," katanya tulus. "Aku bahagia untuk kalian semua."

Sophie meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Terima kasih, Clara... untuk semuanya."

Clara menatap si kembar dan tersenyum. "Hei, bocah kecil. Berperilakulah dengan baik, ya. Dan ceritakan pada ayah kalian tentang kakak superhero kalian."

"Kami akan melakukannya!" seru Hope. "Aku akan ceritakan semuanya! Bahkan saat Asher tersangkut di lemari!"

"Tidak juga!" protes Asher.

Clara melambaikan tangan sambil melangkah pergi, memberi ruang bagi keluarga itu.

Tak lama kemudian, sebuah SUV hitam elegan berbelok di tikungan, ban berdesir lembut di jalan. Mobil berhenti di depan mereka.

Lukas keluar dan membuka pintu. “Tuan,”

James membalas mengangguk. “Terima kasih, Lukas. Ayo kita berangkat.”

Si kembar bersorak melihat interior mobil yang mengkilap.

"Wow!" seru Hope. "Ada layarnya!"

Asher menyusul, matanya tertuju pada tombol-tombol di sandaran tangan. "Kursinya bisa bergerak? Tunggu—bisa pijat?!"

James tersenyum kecil, membantu Sophie masuk sebelum duduk bersama mereka.

Saat pintu tertutup dan SUV melaju, suasana hening melingkupi kabin. Hope bersandar pada James, kakinya berayun, sementara Asher menatap keluar jendela penuh rasa ingin tahu.

Sophie menggenggam tangan putranya erat, lalu bertanya. “Kau mengatur semua ini?”

James tersenyum lembut. "Aku mendapatkan bantuan," katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut. "Seorang teman mengaturnya.”

Sophie hanya mengangguk, matanya kembali menatap si kembar yang kini berdebat siapa yang duduk lebih dekat pada James.

Mereka terdiam, menikmati keheningan yang baru terasa seperti rumah.

"Julian... dia selalu kuat," katanya, menatap jalanan. "Bahkan ketika kami tidak memiliki apa-apa, dia tidak pernah menunjukkannya. Dia tidak pernah mencoba menggantikan ayahmu, James. Dia hanya... berusaha menjadi sandaran bagi kami. Untuk anak-anak ini.”

James mendengarkan dalam diam, masih menggenggam tangannya.

"Dia sudah koma hampir setahun," lanjutnya, suaranya bergetar. "Infeksi langka yang tidak bisa dijelaskan dokter. Aku duduk di sisinya setiap minggu, bertanya-tanya apakah dia bisa mendengar tawa anak-anak lagi. Apakah dia tahu kami belum menyerah.”

Dia menatap putranya dan kembali berkata. "Aku hancur saat kehilanganmu. Dan hampir hancur lagi saat hampir kehilangan dia…”

James menggenggam tangannya. “Kau wanita terkuat yang aku kenal, Mama.”

Sophie tersenyum di sela tangis. “Aku hanya bertahan. Satu hari demi satu hari.”

Hope menyelip ke sisi James. "Mama mengatakan kalau Ayah seperti pahlawan tidur.”

Asher menambahkan, "Dan kalau dia bangun, dia akan mengajak kami berkemping dan mengajarkan cara memancing!”

Sophie tersenyum di tengah air mata. "Itu yang selalu mereka bicarakan.”

James menatap si kembar, lalu ibunya. "Mari pastikan dia mendengar rencana itu.”

SUV hitam itu berhenti di depan Rumah Sakit Regional Crestent Bay—rumah sakit terbesar di kota, dikenal karena menangani kasus dan keadaan darurat paling sulit.

Di dalam, suasana penuh ketegangan. Para perawat dan staf bergegas di lorong. Mesin-mesin berbunyi, monitor berkedip. Dokter Calvin dan tim medis elitnya sudah ada di sana, bergerak cepat dan tegas—memeriksa peralatan dan berdiskusi.

James turun dari mobil dan segera melihat Dr. Calvin melangkah cepat ke arahnya.

"Halo, Bos," sapa Calvin dengan senyum langka. "Bagaimana keadaanmu?”

James mengangguk. “Lebih baik sekarang. Bagaimana dia?”

"Aku sudah memeriksanya," kata Calvin. "Keadaannya rumit, tapi kita belum kehabisan cara." Dia menoleh ke belakang, lalu memberi isyarat. "Mari kita bicarakan lebih lanjut di ruang pribadi.”

Pemilik rumah sakit, pria tua dengan tangan gemetar dan wajah cemas, berdiri di belakang Calvin, tampak gugup dengan kehadiran James. Dia segera melangkah ke depan.

"Silahkan lewat sini," katanya gugup.

James, Sophie, Hope, dan Asher mengikuti tanpa suara, menuju ruang pribadi tempat Julian terbaring.

Di dalam, Julian terbaring tenang di ranjang, tubuhnya lemah tapi masih bernapas. Mesin di sekelilingnya memantau detak kehidupan yang tersisa.

James menatapnya lama. “Bagaimana kondisinya?”

Wajah Calvin mengeras. "Aku sudah menganalisis semuanya — hasil darah, riwayat obat, tanda vital. Bos... kondisinya tidak alami. Ini akibat Racun yang dimasukkan ke tubuhnya. Para dokter di sini bingung, mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi.”

Sophie terkejut, menutup mulut. "Apa... Racun jenis apa? Bagaimana seseorang bisa melakukan ini padanya?"

Rahang James mengeras, tinjunya menggenggam di sisi tubuhnya dan bertanya. "Siapa yang melakukan ini? Kenapa?"

Dia menoleh pada Sophie, suaranya lebih lembut tapi tegas. "Mama, Dia akan baik-baik saja. Calvin adalah dokter yang terbaik. Kami akan menanganinya."

Calvin mengangguk, melangkah mendekat. "Bos, kami sudah mengambil alih kendali rumah sakit ini sekarang. Kau tidak perlu khawatir tentang apapun yang terjadi. Paula sudah melacak sumber racun itu — kami akan menemukan siapa yang melakukannya, dan kami akan pastikan Julian mendapat setiap kesempatan untuk sembuh."

James menghela napas perlahan, ketegangan di tubuhnya sedikit mereda saat kata-kata Calvin menenangkan pikirannya.

Sophie meraih tangan James, menggenggamnya erat.

~ ~ ~

Di sebuah ruangan remang-remang yang dipenuhi asap di pinggiran kota, bayangan menari di dinding yang retak. Seorang pria gugup berbicara terburu-buru kepada sosok yang duduk dalam kegelapan — tuannya.

"Tuan... seseorang mengganggu kita ketika para petugas sedang membawa Sophie ke sini," bisik pria itu, suaranya gemetar.

"Siapa?" Tanyanya.

"Aku tidak tahu, Tuan," jawab pria itu dengan takut. "Aku melihat dari jauh... tapi dia kuat, kejam bahkan. Membuat kekacauan total pada para petugas itu. Jelas dia sangat dekat dengan Sophie dan keluarganya."

Mata sang tuan berkilat di dalam bayangan. "Cari tahu siapa dia. Dan segala sesuatu tentangnya. Jangan ada kesalahan."

Pria itu ragu sejenak. "Juga... semua tagihan rumah sakit dan para penagih hutang... sudah dibayar. Seseorang menanggung biayanya — tanpa bisa dilacak."

Bibir sang tuan melengkung membentuk senyum tipis yang penuh arti. "Menarik. Itu mengubah segalanya. Terus awasi. Permainan ini masih jauh dari selesai."

Pria itu mengangguk cepat.

1
Zandri Saekoko
author
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
Rocky
Ternyata ini misi terakhir secara tersirat yang dimaksudkan Sang Komandan..
Zandri Saekoko
mantap author
lanjutkan
Zandri Saekoko
mantap author
king polo
up
king polo
update Thor
king polo
up
king polo
update
july
up
july
update
Afifah Ghaliyati
up
Afifah Ghaliyati
lanjutt thorr semakin penasaran nihh
eva
lanjut thor
eva
up
2IB02_Octavianus wisang widagdo
upp lagi broo💪
Zandri Saekoko
lanjut thor
Wulan Sari
lanjut Thor semangat 💪👍❤️🙂🙏
Coffemilk
up
Coffemilk
seruu
sarjanahukum
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!