Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pertolongan pertama Kapten Ryan...
Ruang rapat kecil di lantai dua kantor maskapai terasa dingin dan kaku.
Beberapa staf manajemen sudah duduk melingkar, termasuk Supervisor awak kabin, Kepala operasional bandara, dan seorang wanita elegan berusia sekitar empat puluhan, ia adalah Bu Clara, istri dari petinggi bandara sekaligus ibu mertua Devanka.
Asmara duduk di ujung meja, tangannya bergetar di atas pangkuan. Ia mencoba tegar, meski jantungnya berdegup kencang. Tatapan orang-orang di ruangan itu membuatnya sesak.
Sang Supervisor memulai pembicaraan. “Asmara, kami mendapat laporan dari beberapa staf bahwa kamu terlihat bersama Pak Devanka di area parkir beberapa hari yang lalu. Kami ingin mendengar penjelasanmu langsung.”
Asmara menarik napas dalam sebelum menjawab.
“Benar, saya bertemu Pak Devanka di parkiran. Tapi bukan saya yang mencari dia, Pak. Dia yang menghadang saya ketika saya hendak bersiap terbang. Saya bahkan sempat meminta dia pergi.”
Bu Clara menatap asamara tajam. “Kamu mau bilang, menantuku menemuimu tanpa alasan? Jangan main-main, Asmara. Orang-orang melihatmu berbicara dengannya begitu intens dan dekat. Kamu tau kan Devanka itu pria sudah beristri, Itu bukan sikap pramugari profesional.”
Asmara menunduk, berusaha menahan air mata.
“Saya mohon, Ibu… saya tidak pernah berniat melanggar etika. Semua itu hanya salah paham.”
Suasana ruangan menegang, sampai pintu tiba-tiba terbuka.
Ryan masuk dengan langkah tegap, masih mengenakan seragam pilotnya. Semua kepala menoleh ke arahnya.
“Maaf saya terlambat. Saya dengar kalian sedang membicarakan awak kabin saya.”
Kepala operasional mengerutkan dahi.
“Kapten Ryan, ini bukan urusan penerbangan, ini masalah personal salah satu pramugari.”
Ryan berdiri di samping Asmara, menatap semua yang hadir dengan tenang tapi tegas.
“Maaf, tapi ini juga urusan saya. Hari itu, saya yang datang membantu Asmara ketika Devanka mencoba menahannya di parkiran.”
Suara riuh kecil terdengar dari ujung meja.
Supervisor menyahut cepat, “Jadi... Anda ada di tempat kejadian?”
“Ya. Dan saya saksi bahwa Asmara tidak bersalah. Justru dia yang berusaha menjauh dari Devanka.”
Bu Clara menyahut dengan nada sinis. “Kamu mau bilang menantuku yang salah?”
Ryan menatapnya Clara lurus. “Saya bicara berdasarkan fakta, Bu. Saya lihat sendiri Devanka menahan tangan Asmara. Kalau saya tidak datang, entah apa yang terjadi. Jadi, tolong hentikan semua gosip yang mencemarkan namanya.”
Suasana ruangan berubah sunyi. Asmara menatap Ryan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Supervisor kembali memberi spekulasi. “Kalau begitu, kami akan mencatat keterangan Kapten Ryan sebagai saksi. Tapi gosip sudah terlanjur menyebar. Ini bisa berdampak pada reputasi maskapai.”
Ryan mengangguk pelan, suaranya dalam dan tegas.
“Kalau reputasi yang kalian khawatirkan, maka seharusnya kalian lindungi kebenaran, bukan mempercayai gosip murahan.”
Kata-kata itu membuat beberapa staf saling pandang.
Bu Clara tampak tak senang, tapi ia tak bisa membantah.
“Baiklah, kita lihat saja nanti. Tapi ingat, Kapten Ryan… membela orang seperti dia bisa menyeret nama kamu juga.” kata Bu Clara dingin.
Ryan tersenyum tipis.
“Kalau membela orang yang tidak bersalah itu salah, maka saya rela diseret bersamanya.”
Asmara menunduk, air matanya akhirnya jatuh.
Bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya, seseorang benar-benar berdiri untuknya.
Rapat berakhir dengan keputusan menggantung. Gosip akan diklarifikasi, tapi reputasi Asmara tetap menjadi bahan pembicaraan.
Begitu pintu ruangan terbuka, Ryan langsung melangkah keluar tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya cepat, penuh ketegasan khas seorang pilot, tapi kali ini ada sesuatu yang lain, jarak yang begitu dingin.
Asmara yang masih duduk terdiam menatap punggung Ryan, hatinya terasa sesak. Ia berdiri dan segera menyusulnya ke koridor panjang menuju ruang pilot.
“Kapten Ryan… tunggu!”
Ryan menghentikan langkahnya sebentar, tapi tidak berbalik.
Asmara akhirnya berlari kecil, sampai berdiri di depannya. Nafasnya terengah pelan.
“Saya...Saya cuma mau bilang… terima kasih. Karena anda sudah menolong saya di depan manajemen tadi. Jujur Saya nggak tahu harus gimana kalau Kapten tidak datang, mereka tidak mempercayai penjelasan saya.”
Ryan menatapnya sekilas dengan wajah datar, lalu menoleh ke arah jendela.
“Kamu nggak perlu berterima kasih. saya cuma bicara yang sebenarnya.”
Asmara mengernyit, sedikit bingung dengan nada acuhnya.
“Tapi tetap aja, Kapten Ryan. Anda berani hadapi Bu Clara, dan itu bukan hal kecil. Saya benar-benar—”
Ryan memotong, suaranya datar tapi menusuk.
“Kenapa kamu nggak berpikir dulu waktu saya minta tolong jadi pacar pura-pura saya ? Padahal sekarang kamu tahu sendiri merasakan gimana rasanya diserang gosip dan fitnahan.”
Asmara terdiam, matanya membulat kecil.
“Kapten… kenapa kapten masih bahas soal itu?”
“Tentu. Saya nggak akan lupa, dengan penolakan tegas kamu itu, Kamu bilang nggak mau terlibat masalah, kan?”
Ia menyilangkan tangan, nada suaranya dingin, nyaris sarkastik.
“Asmara, kamu harusnya paham jika dari awal saya sudah berusaha membantumu, tapi kamu langsung menolak mentah-mentah, dan sekarang kamu justru tenggelam di tengah gosip yang lebih parah, ketakutan kamu terhadap tawaran saya, tak ada apa-apanya dari apa yang sudah terjadi sekarang.”
Asmara menggigit bibir bawahnya, merasa tersindir tapi juga tertohok oleh kebenaran kata-kata itu.
“Saya nggak tahu kalau bakal begini, Kapten Ryan. Saya cuma… pengen hidup tenang.”
“Tenang? Dunia kita nggak pernah tenang, Asmara. Di langit, kita kerja di antara risiko hidup dan mati. Di darat, kita hidup di antara orang-orang yang penuh asumsi buruk.”
Asmara menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.
“Maaf Kapten, tapi saya tetap berterima kasih… walau kapten mau marah sekalipun.”
Ryan menatap wajahnya sejenak, lalu menghela napas pelan. Tatapannya melembut, tapi hanya sesaat.
“Kalau kamu bener-bener mau lepas dari tuduhan itu… tawaranku masih berlaku.”
Asmara menatapnya ragu.
“Maksud kapten... jadi pacar pura-pura?”
“Ya. Kali ini bukan cuma buat aku, tapi juga buat kamu. Dunia bakal berhenti bicara hal yang buruk tentang kamu kalau mereka tahu kamu udah punya seseorang yang jelas. Saya bukan suami orang, saya masih single. Gak ada yang bisa melarang dan menyalahkan jika kita menjalin hubungan.”
Asmara menatapnya dalam diam. Ada jeda hening panjang di antara mereka, hanya suara langkah staf dan speaker bandara yang terdengar samar.
“Pikirkan baik-baik, Asmara. Aku nggak selalu bisa datang dua kali buat nolong kamu.” kata Ryan sebelum benar-benar melangkah pergi.
Ryan akhirnya melangkah pergi, meninggalkannya dengan senyum penuh arti.
Asmara berdiri di sana, menatap punggung Ryan yang semakin menjauh.
Entah kenapa, kata-kata dingin itu justru berputar terus di kepalanya, bersamaan dengan rasa hangat aneh yang tumbuh di dadanya, antara kagum, takut, dan... mungkin tersentuh.
...✈️...
...✈️...
...✈️...
^^^Bersambung^^^
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara