SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Dua Dunia yang Sama
Reina berjalan pulang di bawah langit subuh yang keabu-abuan. Ia menarik Zio dan Naya, yang terhuyung-huyung di sampingnya, keluar dari gerbang sekolah yang masih diselimuti kabut. Di benaknya, dua suara bertarung: pikirannya sendiri yang penuh kekhawatiran dan rasa bersalah, dan bisikan dingin yang asing—suara Rhea Wijaya, Kesadaran Lantai Tujuh.
Kenapa kau membawaku keluar? Kita harus segera kembali. Mereka menunggu pengakuan. desis suara Rhea.
Kita kembali untuk rencana yang lebih baik. Aku akan menutupmu dari dunia nyata. balas Reina dalam hati, berusaha keras menjaga fokus.
Naif. Kamu tidak bisa menutup apa yang sudah menjadi dirimu.
Mereka tiba di kompleks kos-kosan Reina. Setelah menidurkan Zio dan Naya di kamar mereka masing-masing—keduanya kini terlihat seperti boneka yang kewarasannya ditarik ulur oleh Lantai Tujuh—Reina kembali ke kamarnya sendiri.
Kamar kos Reina terlihat normal. Bantal yang berantakan, buku-buku yang menumpuk di meja belajar, dan charger yang tercolok di dinding. Namun, tatapan matanya yang tajam, kini terasah oleh pengalaman di dunia cermin, melihat kejanggalan.
Buku di meja, yang semalam ia taruh di sisi kiri, kini berada di sisi kanan. Jam dinding di atas meja menunjukkan pukul 07:07, lalu macet. Ketika Reina mendekat, jam itu tiba-tiba berdetak lagi, mundur ke pukul 04:30.
"Perpecahan," bisik Reina.
Dunia nyata mulai disusupi. Batasan antara realitas dan dimensi Lantai Tujuh kini kabur.
Ia melihat ponselnya. Pesan dari nomor Aksa itu masih terpampang di layar: “Lantai tujuh sudah menempel padamu. Jangan menatap cermin terlalu lama.”
Reina tahu, ini adalah pesan peringatan terakhir dari Aksa, yang entah bagaimana berhasil menembus dimensi waktu. Aksa tidak ingin Reina dikendalikan.
Reina membuka kontak, mencoba menelepon balik nomor Aksa.
Tut... tut... tut...
Panggilan tersambung. Reina mendekatkan ponsel ke telinga, jantungnya berdegup kencang.
"Halo?" sapa Reina, suaranya sedikit gemetar.
Di seberang sana, terdengar jeda yang panjang, hening yang pekat, seolah suara itu berasal dari dasar sumur.
Lalu, terdengar jawaban.
"Halo, Reina," jawab suara itu. Suara yang dalam, tenang, dan sangat familiar.
Itu adalah suara Reina sendiri.
Bukan gema, bukan rekaman. Itu adalah suaranya yang sekarang, tetapi diucapkan dengan nada yang lebih dingin, lebih asing.
Reina menjauhkan ponselnya, menatap layar dengan ngeri. "Siapa kamu?"
"Aku adalah dirimu, Reina. Versi yang lebih bersih. Yang tidak membawa beban rasa bersalah," jawab suara itu. "Aku adalah yang kau lihat di balik cermin. Kami menyebutku Diri Pantulan."
Aku yang berbicara, Reina. Diri Pantulan. Dia sudah sepenuhnya dikendalikan oleh Lantai Tujuh. Suara Rhea berbisik di benak Reina.
"Apa maumu?" tuntut Reina.
"Aku? Aku ingin mengambil tempatku. Di dunia nyata. Dunia yang kau cemari dengan dosa," jawab Diri Pantulan. "Aku sudah bosan menjadi bayangan. Aku sudah bosan melihatmu menangis dan menyesali apa yang sudah kau lakukan."
Reina ingat. Di Ruang Cermin, Rhea ingin Reina menjadi administrator. Dan kini, dimensi itu telah menciptakan kloning sempurna, Diri Pantulan yang bebas dosa, untuk menggantikan Reina di dunia nyata.
Reina mematikan panggilan itu dengan tangan gemetar. Ia berjalan ke jendela. Di jalanan kos, ia melihat seorang bapak penjual bubur sedang mendorong gerobaknya.
Ia menatap bapak itu. Bapak itu mendorong gerobak, berjalan normal.
Lalu, ia melihat bayangan bapak itu di permukaan kaca jendela.
Bayangan itu tidak sinkron. Bayangan itu bergerak duluan ke kanan, sementara bapak itu masih berjalan lurus. Bayangan itu lalu kembali ke tubuhnya, seolah ada jeda sepersekian detik dalam realitas.
Reina merasakan mual. Lantai Tujuh tidak hanya memanipulasi ruang dan waktu di sana, tetapi juga menciptakan pergeseran dimensional di sini.
"Realitas sudah terbelah," bisik Reina.
Ia melihat kembali ke cermin kamar mandinya, dengan takut-takut. Refleksi itu kini terlihat normal, tetapi Reina tahu, ia tidak boleh berbicara dengannya lagi.
Reina mengambil tasnya. Ia harus segera mencari Daren. Daren adalah satu-satunya yang masih memegang kunci mekanisme Lantai Tujuh.
Tepat saat ia akan membuka pintu kamar, matanya menangkap sesuatu di dinding. Dinding kamar kosnya dicat putih polos. Tapi kini, ada tulisan.
Ditulis dengan spidol hitam, huruf-huruf yang tergesa-gesa.
Reina mendekat, jantungnya berdebar kencang.
Tulisan itu berbunyi:
KAU BUKAN REINA YANG ASLI.
Reina memundurkan langkah, ngeri. Tulisan ini tidak ada sebelumnya. Tidak mungkin.
"Siapa yang menulis ini?" bisik Reina, menoleh ke sekeliling. Kamarnya terkunci.
Aku yang menulis, Reina. Aku Diri Pantulan. Aku adalah yang asli, yang tidak membawa beban amarah dan kebencian terhadap Aksa. Suara Rhea di benaknya kini terdengar lebih kuat, lebih meyakinkan.
"Kamu bohong!"
Lihat dirimu. Lihat matamu. Apakah itu tatapan seorang pahlawan? Kamu hanyalah gadis yang lari dari dosanya.
Reina melihat ke meja belajarnya. Di sana, di antara buku-buku, terselip sebuah foto lama. Foto dirinya dan Aksa saat masih kecil. Aksa memeluknya, tersenyum.
Reina meraih foto itu. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang dingin dan tidak terlihat menyentuh punggungnya.
JANGAN SENTUH ITU. ITU ADALAH JEMBATAN MASA LALU.
Reina menjerit, melemparkan foto itu. Ia berbalik. Tidak ada siapa-siapa.
Ia melihat kembali ke dinding. Tulisan itu kini sedikit berdarah, seolah ditulis dengan paksa.
Ini peringatan, Reina. Jika kau mencoba memperbaiki dunia ini, aku akan mengambilnya secara paksa.
Reina menatap tulisan di dinding, lalu ke ponselnya. Ia harus lari. Ia harus mencari Daren.
Jangan khawatir. Daren sudah tahu. Dia sedang menunggumu di sekolah.
Reina memejamkan mata. Ia sudah tidak tahu lagi mana yang merupakan pikirannya sendiri, mana yang merupakan suara Rhea, dan mana yang merupakan tulisan dari Diri Pantulan yang sudah mengambil alih realitas.
Ia hanya tahu satu hal: pertarungan sudah dimulai. Dan arena pertarungan adalah kewarasannya sendiri.