‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 : Dia suami dari wanita lain
Amran meninju belakang jok mobil, perasaannya kacau balau, dia sendiri tidak mengerti tentang gejolak hatinya.
Pria dewasa itu terbiasa menjadi pusat perhatian sang istri pertama. Masira sangat memanjakannya, terlebih bila ada maunya. Dan Amran selalu mengabulkan setiap keinginan wanita yang dinikahi bukan karena perjodohan, tak pula disebabkan saling jatuh cinta.
Dua insan itu menikah dengan alasan, sudah sama-sama dewasa. Si pria malas menjalin hubungan asmara, waktunya habis untuk bekerja. Sementara sang wanita – ingin memiliki suami mapan, tampan, dan hartawan.
Pertemuan pertama mereka terjadi di pesta pernikahan salah satu kolega Amran, yang ternyata mempelai wanitanya teman Masira – itulah awal perkenalan biasa, berlanjut pada tahap serius. Tanpa tunangan langsung memutuskan untuk menikah.
Dia tidak munafik, tak pula menampik kalau kini sudah memiliki rasa cinta kepada istri pertamanya. Rasa itu datang seiring berjalannya waktu, terbiasa bersama, menghabiskan hari dengan bercerita dan bercinta.
Kini pria dewasa itu kesulitan menerka apa yang sedang melanda hatinya. Cinta? Sepertinya masih terlalu dini, dan sangat cepat.
Sehingga Amran langsung menepis praduga itu, dia membutuhkan waktu tak sebentar untuk belajar mencintai Masira – masa dengan Dahayu seperti sekejap mata saja hati terpaut, mustahil rasanya.
“Kata Nelli kau diantar suamimu, apa betul Yu?” tanya Mak Rita, dia duduk di bawah pohon mangga besar yang dikelilingi pot semen.
Dahayu merespon dengan mengangguk, lalu menatap sang ibu yang main balon sabun bersama Nelli.
Pak Jefri berdiri ketika seorang pria mengulurkan tangannya.
“Saya Amran, suaminya Dahayu.” Pria tampan itu tidak risih menjabat tangan sosok pekerja kasar di perkebunannya.
“Saya Jefri, Ayahnya Dahayu dan Nelli, Pak.” Dia tidak tahu kalau yang sedang bersalaman dengannya bukanlah sosok biasa.
Mak Rita mengamati penampilan suaminya Dahayu, walaupun tidak paham tentang barang murah, dan mahal – dalam hati meyakini pria dihadapannya ini, bukan seperti para pemuda pekerja di lapangan. Pakaiannya rapi, bersih, dan wangi parfumnya tidak membuat mual dan menyengat hidung.
Amran pun menyalami Mak Rita, lalu berkenalan dengan Nelli yang tadi belum sempat dilakukan karena celetukan bu Warni.
“Tuan, eh Bapak.” Randu menunduk. Dalam hati merutuk, dia kelepasan memanggil. Padahal sudah diberitahu tidak boleh menyebut Tuan.
“Mari masuk, dokternya sudah menunggu!” Dia berjalan duluan, lalu diikuti oleh pak Jefri serta lainnya.
Dahayu menggandeng tangan ibunya. Dia berhenti sebentar saat mereka tidak masuk lewat bagian depan, tapi samping yang biasanya tidak boleh dilewati oleh pengunjung.
“Yu, tadi kalau tak salah – nama belakang suamimu, Tabariq ‘kan?” Nelli berbisik. Langkah kakinya seirama dengan sang sahabat, dan juga ibunya sendiri.
“Iya.” Dayu mengangguk, dia dan ibunya memasuki pintu yang sedang ditahan oleh seorang security.
“Perkebunan tempat kita kerja, namanya PT Tabariq – apa kau tak curiga, Yu? Jangan-jangan, itu milik suamimu.”
“Terima kasih.”
Dahayu dan Nelli bersamaan mengucapkan terima kasih kepada sosok berseragam navi.
“Kalaupun iya, apa gunanya bagiku?”
“Bodohnya kau ini!” Ia tarik lengan Dayu, langkah mereka pun terhenti. “Ya bisa dirimu manfaatin. Pamerin ke Fiya, bilang kalau suamimu bukan tua bangka, malah sepertinya kaya raya, mana ganteng, dan berwibawa – aroma duitnya kecium dari jarak seratus meter. Biar kejang-kejang si mentel itu!”
Dayu mendorong kening Nelli menggunakan jari telunjuknya. “Hiduplah sesuai isi dompetmu. Jangan berkhayal terlalu tinggi, sebab kalau terjatuh bukan main sakitnya. Berharap lah pada sesuatu yang sudah pasti, agar bila kenyataan tak sesuai harapan, rasa kecewa mu dapat teratasi.”
“Untuk apa repot-repot menunjukkan sesuatu yang sifatnya cuma sementara. Senangnya hanya sesaat – rasa malunya tertinggal hingga akhir hayat. Ayok!” Kembali Dahayu melangkah dan menuntun sang ibu.
‘Dia suami dari wanita lain – yang kalau aku tak melakukan protes, cuma akan dinikahi secara siri. Lantas, apa yang bisa dibanggakan?’
“Ayah, kenapa ke sini?” Dayu mendekati pak Jefri. Matanya menatap plakat kayu bertuliskan; Juwita SpKJ (Spesialis Kedokteran Jiwa).
Amran mendekati ibu mertuanya. “Buk, ayo kenalan dengan teman baru. Baik dan ramah orangnya, juga suka makan agar-agar.”
Bu Warni bergeming, ada raut cemas pada wajahnya. Dia belum pernah masuk ke ruangan yang terlihat bagus, selain ruangan dokter umum.
"Kalau kau tak mau kenalan, biar aku saja, War! Nanti jatah jajanmu, untukku semua.” Mak Rita memanasi sahabatnya, dia mengetuk pintu yang sudah terbuka.
Tanpa ragu bu Warni mengekor, menarik ujung baju tetangga rasa saudara.
“Wah, ini ternyata teman barunya, mari masuk. Ayo kita mengakrabkan diri, supaya bisa jadi teman dan sering jalan-jalan ala-ala anak muda meskipun umur sudah tua ya, Jeng.” Sosok wanita berpenampilan menarik, raut wajah ramah, senyum menenangkan – mendekati pasiennya.
Mak Rita terlebih dahulu menyambut jabat tangan, lalu disusul Bu Warni yang ragu-ragu.
"Namanya siapa, Jeng?” tanya dokter Juwita.
“Warni.”
“Saya panggil Rani saja, mau tidak? Biar kelihatan lebih muda dengan nama kekinian. Lagipula memang masih seperti gadis belia,” candanya, tetapi matanya sangat cepat menelisik, menilai, mencoba mengukur seberapa buruk penyakit mental pasiennya.
Sebenarnya hari ini dokter Juwita libur. Jam kerjanya cuma dari hari Senin - Jumat. Namun, khusus permintaan pemilik rumah sakit – dia diminta menangani pasien VIP.
Seseorang menyembunyikan jatuhnya air mata. Dahayu mengintip lewat sela pintu yang sengaja tidak tertutup rapat. Ibunya terlihat nyaman, duduk di sebelah Mak Rita. Sangat antusias menceritakan hobinya main kartu, mandi di sungai, sampai mengatakan kalau tidak suka makan telur.
'Seharusnya sedari dulu aku bawa ibu kesini, bukan cuma memberinya obat penenang setiap kali tanda-tanda penyakit epilepsinya mau kambuh,’ ia didera rasa bersalah. Ketidakmampuan nya memberikan yang terbaik – adalah hal menyakitkan.
Dahayu merasa gagal menjadi seorang anak. Uang hasil kerjanya habis untuk makan sehari-hari, adapun tabungan tidak seberapa nilainya.
Sementara kartu kesehatan – tidak mencakup semua biaya perawatan. Ada vitamin harian wajib diminum bu Warni, susu untuk kesehatan tulang, belum lagi wanita itu suka sekali makan udang, dan ikan laut. Tentu saja Dahayu menyanggupi tanpa sedikitpun mengeluh, dia ikhlas merawat ibunya.
"Mau masuk tidak?" Amran menunduk sedikit membungkuk, posisinya sangat dekat hingga dagunya nyaris bertumpu di pucuk kepala Dahayu.
"Tidak, sepertinya ibu mulai nyaman. Kalau aku masuk, takutnya malah menganggu," bisiknya lirih, belum menyadari bila yang berbicara bukan Nelli.
"Ada bodoh-bodohnya si Dahayu ya, Yah? Kalau sudah menyangkut tentang ibunya, mana bisa dia membedakan mana betina dan jantan." Nelli menatap geli sahabatnya.
"Astaghfirullah, Nak. Kapan kau berubahnya Nelli?" pak Jefri beristighfar, putrinya ini memang luar biasa.
"Sepertinya Ibuk masih lama diajak mengobrol nya, lebih baik kita cari makan dulu di kantin." Amran menggenggam tangan istrinya.
Seperti dihipnotis dikarenakan hatinya masih terbawa suasana haru, dan bahagia. Dahayu menurut, melangkah beriringan seraya bergandengan tangan. Pun, ketika melewati Nelli, sahabatnya itu seperti makhluk tidak kasat mata.
.
.
"Itu Dahayu 'kan? Sama siapa dia?"
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍