Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Serena meringis menahan sakit, tapi matanya tetap menatap pria itu dengan tatapan tak gentar, meski jantungnya berdebar hebat. Di antara dentuman napas dan ketegangan yang menyelimuti ruangan itu, hanya satu hal yang jelas—batas antara kebencian dan ketertarikan di antara mereka kian menipis, nyaris tak terlihat.
“Sudah berapa kali aku harus mengatakan kepadamu,” suara Nicholas meninggi, setiap katanya terdengar seperti cambuk yang menghantam udara, “bahwa aku sama sekali tidak memiliki niat ataupun trik apa pun untuk menjatuhkan anak ingusan itu!”
Tatapan matanya tajam, menusuk seperti bilah pisau. “Aku bahkan tidak tahu bagaimana bisa kau bisa naik ke ranjangku malam itu—kecuali ….” Nicholas berhenti sejenak, mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya kini menurun namun jauh lebih berbahaya, “…. Kau memang melakukannya demi uang.”
Serena terpaku. Kedua matanya melebar, wajahnya memucat. Ia hendak membantah, namun suaranya seakan lenyap di tenggorokan. Tatapan Nicholas yang gelap dan penuh kecurigaan membuat napasnya terasa berat, seperti dicekik oleh udara di sekitarnya.
“Dan satu hal lagi,” lanjut Nicholas, kali ini suaranya lebih dingin, lebih mengancam. “Kau harus tahu… aku hanya tahu bahwa kau memohon padaku, dan aku membantumu. Bukankah seharusnya kau berterima kasih? Setidaknya, menjaga sikapmu terhadap orang yang sudah menolongmu?”
Tangan Nicholas terulur cepat, mencengkeram rahang Serena dengan kuat. Jemarinya yang keras menekan kulit lembut di wajah wanita itu, membuatnya meringis kesakitan. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya menetes tanpa bisa dicegah.
“Tu–Tuan… maafkan aku,” ucap Serena dengan suara bergetar, matanya menatap memohon. “Aku tidak bermaksud berkata kasar… aku hanya—”
“Diam!” bentak Nicholas, matanya berkilat tajam. Ia semakin mengencangkan cengkeramannya, hingga rahangnya sendiri menegang karena menahan emosi. Lalu, dengan kasar ia melepaskan dan mendorong wajah Serena menjauh hingga tubuh wanita itu sedikit tersentak ke belakang.
“Cepat habiskan makananmu!” ucap Nicholas tajam. “Begitu selesai, kita akan bicara serius.”
Tanpa menunggu tanggapan, Nicholas berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Pintu berderit keras ketika tertutup, meninggalkan Serena sendirian dalam keheningan yang mencekam.
Serena menunduk, menatap piring di depannya yang kini terasa asing. Nafsu makannya lenyap sepenuhnya. Tangannya gemetar, air matanya jatuh membasahi ujung serbet di pangkuannya. Ia tahu, jika tetap di sini, mungkin nyawanya yang akan menjadi taruhannya.
Dengan langkah perlahan, Serena bangkit dari kursi. Setiap gerakan terasa berat, tubuhnya masih lemah, namun tekadnya jauh lebih kuat dari rasa sakitnya. Ia menahan napas, berjalan keluar menuju pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Ketika memastikan keadaan di luar sepi, Serena segera menyelinap keluar, menutup pintu pelan tanpa suara. Jantungnya berdegup kencang, kakinya bergetar, tapi ia terus melangkah sampai berhasil keluar dari pintu apartemen, dia berjalan menelusuri lorong pendek yang tampak sunyi, menuju pintu lift.
Sementara itu, di ruang kerja, Nicholas tengah duduk di kursinya dengan rahang mengeras dan napas memburu. Ia mencoba menenangkan diri, menyalakan sebatang rokok namun tak jadi menyalakannya. Tangannya lalu meraih telepon di atas meja.
“Deo,” ucap Nicholas dingin begitu sambungan tersambung, “hadiah apa yang Papa berikan padaku?”
Dari seberang, terdengar suara Deo yang terdengar santai. “Kenapa masih bertanya, Nak? Bukankah hadiahnya sudah kau lihat di ruang tamu?”
Alis Nicholas berkerut. Ia berdiri, berjalan cepat keluar dari ruang kerjanya sambil tetap menggenggam ponsel di telinga. “Ruang tamu?” gumamnya rendah. Ia menuruni beberapa anak tangga dengan langkah besar, matanya menelusuri setiap sudut ruangan.
Sampai akhirnya, pandangannya tertuju pada sebuah kotak berukuran sedang di atas meja. Ia mendekat, membuka tutupnya, dan menemukan selembar sertifikat dengan bingkai berwarna hitam elegan sudah resmi menjadi miliknya.
“Ini… sertifikat perusahaan?” tanya Nicholas rendah, nyaris seperti bicara pada diri sendiri.
“Ya, tentu saja,” jawab Deo dari seberang. “Apa lagi yang kamu inginkan, Nak? Aku bisa menyampaikannya jika ada permintaan lain.”
Namun, Nicholas tidak menjawab. Ia menatap dokumen itu dengan pandangan kosong, pikirannya terlempar ke ucapan Serena yang menuduhnya melakukan semuanya demi dendam.
Wajahnya mengeras. Tiba-tiba, matanya menangkap sesuatu—pintu apartemen yang tidak tertutup rapat. Napasnya tertahan. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. Nampak sepi. .
Ponsel di tangannya masih tersambung, namun Nicholas langsung mematikannya tanpa bicara apa pun. Ia berlari ke kamar dengan langkah tergesa. Saat pintu kamar dibuka, ruangan itu kosong. Tirai berayun pelan tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka.
“F**k!” teriak Nicholas parau, napasnya memburu. Nicholas menatap ruangan kosong itu dengan mata membara.
*
*
“Ya ampun, Se! Kamu di mana sekarang? Kenapa aku susah sekali menghubungi kamu?” suara Gaby terdengar panik dari seberang telepon, nyaris bergetar karena cemas. “Kamu tidak tahu apa, aku hampir gila mencari kamu semalaman! Semua orang panik, Serena! Kamu tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar!”
Serena menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan gemetar. Matanya memanas, dadanya sesak. Suara sahabatnya yang begitu tulus itu membuat pertahanannya runtuh. Air matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah begitu saja, mengalir deras di pipinya yang pucat.
“Gab…” suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Hening sejenak di seberang sambungan, sebelum suara Gaby kembali terdengar, kini lebih lembut, penuh kekhawatiran. “Ya Tuhan, Serena! Kamu kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi padamu? Tolong, jangan buat aku menebak-nebak! Sekarang… kirimkan lokasimu. Aku akan ke sana, sekarang juga!”
Serena menatap keluar jendela taksi yang melaju pelan di bawah cahaya pagi yang suram. Jalanan tampak kabur oleh genangan air mata di matanya. Suaranya lirih, nyaris hancur.
“Panjang ceritanya, Gab… sangat panjang. Aku—aku tidak tahu harus mulai dari mana. Sekarang aku sedang di jalan, menuju ke tempatmu.”
“Kamu tidak pulang?” tanya Gaby, kali ini nadanya berubah serius.
Serena menggeleng pelan, meski sahabatnya tentu tidak bisa melihat gerakannya. “Aku tidak berani pulang, Gab,” katanya lirih, suaranya pecah di akhir kalimat.
Gaby menarik napas panjang dari seberang, terdengar suara langkah-langkah terburu seolah ia tengah bersiap-siap keluar rumah. “Baik. Kalau begitu, aku tunggu kamu di sini. Jangan kemana-mana lagi, Se, tolong… cukup datang padaku. Dan kabari begitu kamu sampai, ya?”
Serena mengangguk lemah. “Iya,” jawabnya pelan, sebelum menekan tombol untuk memutus sambungan telepon.
Begitu suara Gaby menghilang, dunia terasa sunyi kembali. Hanya suara mesin taksi yang terdengar samar, bercampur dengan deru hujan gerimis yang mulai turun di luar sana. Serena menatap pantulan wajahnya di kaca jendela—mata bengkak, wajah pucat, bibir gemetar. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri.
Tangannya menggenggam erat ujung tas kecil di pangkuannya, seolah benda itu satu-satunya yang bisa memberinya kekuatan. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena ketakutan yang belum juga reda.
“Bagaimana nanti aku menjelaskan semua ini kepada Gabriel?” pikirnya dengan hati kalut. “Bagaimana aku bisa menatapnya lagi setelah apa yang terjadi? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan Paman dan Bibi tanpa menghancurkan mereka dengan kebenaran ini?”
Satu tetes air mata jatuh di punggung tangannya, disusul yang lain, dan yang lain lagi.
Sopir taksi sempat melirik dari kaca spion, namun tidak berani berkata apa pun. Ia hanya melanjutkan perjalanan dengan tenang, membiarkan penumpangnya larut dalam kesedihan yang bahkan udara di dalam mobil pun tak sanggup menenangkan.
Serena menunduk, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan isakannya yang makin mengguncang dada. Setiap kali mengedip, wajah Nicholas terlintas di kepalanya—tatapan tajam itu, nada suaranya yang keras, dan genggaman tangannya yang menyakitkan. Semua masih terasa begitu nyata.
“Ya Tuhan …,” bisiknya pelan, suaranya nyaris hilang. “Kenapa semua ini harus terjadi padaku?”
Mobil terus melaju di bawah langit yang mulai mendung. Dan di antara gemericik hujan yang turun perlahan, perjalanan menuju tempat Gaby terasa lama.