NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:409
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiba-tiba datang

Oline terdiam memandangi wajah pria di depannya, keraguan jelas terpancar dari sorot mata indahnya.

“Kenapa Kau masih ragu? Cepat kemasi barangmu! Lagi pula untuk apa kamu masih berada di kota ini?” Oline terdiam, apa yang dikatakan orang di hadapannya ini ada benarnya.

“Baiklah ....” jawabnya kemudian setelah mempertimbangkan semua hal.

“Kamu tidak seperti ayahku,” kata Oline sambil menghampirinya.

Semua barang yang diperlukan sudah berada di dalam koper dan juga beberapa tas nya.

“Tentu saja, aku lebih tampan dari ayahmu, 'kan?”

Oline tak menjawab, dia memandang pria itu dengan jengah.

“Aku harap ayahmu memberi tahu siapa namaku, meski kita berpisah tepat setelah tujuh hari kelahiranmu.”

“Bara. Nama paman Bara, ‘kan?”

“Bagus, tapi jangan panggil aku paman!” tegasnya.

“Lalu aku harus panggil apa?”

“Bara.”

“Hah?”

“Hey ... aku masih belum setua ayahmu, ok.”

“Aku masih sangat tampan, lebih cocok menjadi kakakmu ketimbang menjadi pamanmu,” lanjutnya dengan percaya diri.

Oline tidak habis pikir dengan pola pikir pamannya, biarlah yang terpenting sekarang dia sudah tahu kalau dia masih memiliki keluarga, dengan kehadiran Bara dia sangat bersyukur setidaknya dia tidak sendiri lagi.

Kini Oline sudah berada di dalam mobil bersama Bara, mereka bungkam, sibuk dengan pikiran masing-masing hanya deru mobil yang terdengar.

“Kita akan kemana?” tanyanya memecah kecanggungan diantara mereka.

“Ke tempat di mana tidak ada orang yang akan menyakitimu, tidak akan ada yang menghinamu,” Jawabnya sambil tersenyum ke arah Oline.

“Lalu bagaimana dengan ayah?”

Pikirannya kalut mengingat ayahnya, bahkan tadi dia belum sempat berpamitan dengannya.

“Ayahmu yang menyuruhku untuk membawamu pergi dari kota ini, sekarang kau tanggung jawabku. Aku tidak akan membiarkan orang menyentuh apa lagi sampai melukai keponakanku ini.”

Bara membelai rambut Oline dengan penuh kasih, dia berharap bersamanya Oline merasa terlindungi, dia ingin merubah dukanya menjadi tawa, air mata menjadi senyuman.

Oline menatapnya dengan tatapan dingin, menurutnya aneh saja kepalanya dibelai oleh orang selain ayahnya.

“Jauhkan pikiran-pikiran kotormu itu, aku bukan pedofil yang menyukai anak dibawah umur.”

Bara kembali fokus menyetir setelah mengucapkan kalimat itu sedangkan Oline terperanjat mendenganya, ia tak menyangka jika pamannya bisa mengetahui apa yang ia pikirkan.

Mobil berhenti tepat di sebuah rumah besar, satu-satunya rumah yang cukup mewah dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain, tak jauh dari situ terdapat hamparan sawah yang menghijau, asri dan indah dipandang mata.

“Kau menyukai tempat ini?” tanyanya mengagetkan Oline.

Ia mengangguk antusias, tempat ini sangat nyaman jauh dari hiruk-pikuk kota, pastinya jauh dari orang-orang yang menghinanya.

“Aku yakin kau akan betah di sini.”

“Maaf, saya mengganggu tuan,” kata seorang pelayan yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua.

“Ada apa?”

“Kamar nona muda sudah siap, tuan.”

“Baiklah, antarkan dia ke kamarnya. Biarkan dia istirahat dengan nyaman, karena besok aku akan mendaftarkannya ke sekolah baru.”

Oline terdiam.

“Mari non, ikut saya.”

“Sebentar, Bi.”

Matanya beralih menatap Bara seakan meminta penjelasan tentang sebuah rahasia ayahnya yang Bara janjikan tadi. Bara seakan mengerti permintaan sang keponakannya itu, dia tersenyum.

“Setelah kau selesai istirahat akan aku ceritakan semuanya,” ucapnya berlalu pergi meninggalkan Oline.

Rumah itu sangat luas, dalamnya di penuhi barang-barang mewah dan tentunya mahal, Oline berjalan menaiki tangga mengikuti sang ART, langkah mereka berhenti di depan pintu kayu jati berukuran tinggi yang dihiasi dengan ukiran-ukiran unik dan indah.

“Silahkan masuk non,” katanya kepada Oline sambil membukakan pintu untuknya.

“Terima kasih, Bi.”

Sang pembantu hanya mengangguk dan pergi meninggalkan Oline di kamarnya, Oline berjalan ke arah jendela dan membukanya, di sana terlihat dengan sangat jelas hamparan sawah, lebih indah jika di lihat dari atas, tak jauh dari sawah itu ada bukit tinggi yang menambah kesan asri tempat itu.

Oline membaringkan tubuhnya di atas kasur, baru kali ini dia bisa beristirahat dengan tenang setelah semua kejadian yang beberapa hari mengganggu pikiran dan jiwanya, hingga tak terasa dia mulai terlelap dalam mimpi.

Bara mengintip Oline di kamarnya, melihat sang keponakan sudah terlelap Bara hanya tersenyum simpul dan menutup kembali pintu kamar Oline. Dia berjalan kembali ke ruangan Rahasianya, di pikirannya masih terbesit pertanyaan, siapakah lelaki berhody yang terus mengawasi Oline saat belum pindah?

“Yang terpenting dia tidak menyakiti Oline, tetapi siapa dia?”

Bara mengacak rambutnya Frustrasi, dia yakin dalang dari kematian Zola adalah lelaki misterius itu, dia terus memperhatikan Oline tetapi tidak pernah berniat mencelakainya, bahkan Bara kecolongan, sebelum aksinya berhasil kepada Zola, lelaki itu sudah lebih dulu menghabisi musuh dari keponakannya tersebut.

Bara mengambil bir dan meneguknya hingga tandas. Ia memijat keningnya perlahan, dia harus mencari tahu siapa lelaki misterius itu, dan apa hubungan pria itu dengan Oline.

Matahari mulai tenggelam perlahan, Oline segera beranjak dari kasurnya dan bergegas mandi.

“Bisa-bisanya aku ketiduran begitu lama hingga hampir malam,” rutuknya dalam hati.

Tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk seseorang tepat saat dia sudah keluar dari kamar mandi.

“Ada apa, Bi?” tanyanya setelah mengetahui siapa yang berada di balik pintu kamarnya.

“Tuan Bara menyuruh non untuk segera bersiap.”

“Mau kemana?”

“Saya kurang tau, non.”

“Kalau begitu saya permisi dulu non,” lanjutnya.

Oline mengangguk, tanda mempersilahkan si pembantu pergi. Dia kembali menutup pintu kamarnya dan membuka koper yang berisi bajunya, dia menyesal kenapa saat dia ditawari untuk membereskan baju-bajunya tadi siang dia menolak, sekarang dia harus merapikan bajunya seorang diri. Setelah bersiap dia turun ke ruang tamu untuk menemui sang paman.

“Bagaimana tidurnya tadi? Nyenyak?” tanya Bara saat Oline sudah berada tepat di hadapannya.

“ya ... begitulah.”

“Kita akan kemana?”

“Makan, aku tahu kamu sedang lapar,” ucapnya sambil berdiri dari duduknya.

“Makan di luar?” tanya Oline polos.

“Tentu saja, sambil jalan-jalan. Desa ini tidak terlalu jauh dari Kota, jadi kalau kamu nanti butuh sesuatu tinggal pergi saja ke kota,” jelasnya pada Oline.

Oline tersenyum mengerti.

“Jadi kalau Bibi membeli persediaan makanan yang habis apa dia ke Kota?”

“Dia ke pasar, tidak jauh dari rumah ini ada pasar.”

“Benarkah?”

“He’em.”

“Besok boleh aku pergi ke pasar?” tanyanya memelas.

“Besok kamu harus sekolah, akhir pekan saja.”

Oline mengerti, mereka kemudian berjalan beriringan menuju pintu.

Suasana malam di desa tersebut tidak seperti siang hari, begitu sunyi bahkan pintu-pintu rumah orang sudah tertutup rapat, persis seperti desa mati, padahal baru saja terdengar suara kumandang adzan di masjid yang baru mereka lewati. Oline mengarahkan pandangannya pada hamparan sawah yang terlihat remang-remang karena minimnya cahaya lampu di sepanjang jalan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!