Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#4
Happy Reading...
.
.
.
Beberapa minggu telah berlalu sejak ia tidak sengaja bertemu dengan seseorang yang mirip dengan almarhumah istrinya. Musim hujan berganti kemarau, tapi hati Raka seolah tetap berada di tempat yang sama. Di antara rindu yang tak bisa ia ucapkan dan rasa bersalah yang seolah mengikuti kemanapun ia pergi.
Hari-harinya kini hanya berputar pada dua hal saja, pekerjaan dan Jingga.
Pagi hari ia berangkat lebih awal, menyibukkan diri dengan laporan dan proyek untuk mengalihkan segala pikirannya. Sore hari begitu pulang, suara Jingga selalu jadi alasan untuknya agar tetap bertahan.
“Papa!” Panggil Jingga sambil mengulurkan kedua tangannya. Ia berjalan tertatih ke arah papanya.
Seolah ingin segera di peluk papanya, gadis kecil itu berlari kecil di ruang tamu. “Aku rindu Papa ” Ucapnya . untuk anak seumurannya Jingga tergolong sangat lancar berbicara.
Raka menaruh tas kerjanya di sofa, tersenyum lelah. “Papa kan sudah bilang, Papa kerja dulu sayang.. papa kerja supaya bisa beliin Jingga susu.” Jawab Raka sambil mengangkat tubuh gembil Jingga.
“Jingga udah minum susu!” jawabnya cepat, ada rasa bangga pada dirinya sendiri.
“Oh, ya?” Raka mengangkat alis pura-pura kaget. “Wah, berarti malam ini Papa kalah rajin, dong?”
Jingga mengangguk mantap, lalu menyodorkan kelincinya. “Sekarang giliran Papa baca cerita untuk Jingga.”
Raka mendekap tubuh kecil itu erat bahkan terlalu erat.
Di dada Raka, Jingga meletakkan kepala mungilnya. “Papa aku rindu mama. Kapan mama pulang. Aku sudah menjadi anak pintar seperti yang papa ucapkan. Tapi.. mama tidak juga pulang.”
Ucapan itu menembus jauh ke dalam hatinya.
Raka terdiam, hanya mampu mengelus rambut halus putrinya. “Mama kan masih belum bisa pulang sayang.” Jawab Raka.
Jingga mengangkat wajahnya, polos. Raka tersenyum tipis, menatap mata kecil itu yang begitu mirip dengan ibunya. “Mama masih di tempat yang jauh. Tapi Mama selalu lihat Jingga dari sana.”
“Dari langit?”
“Iya,” bisiknya pelan. “Dari langit.”
.
.
.
Hari ini Raka kembali diundang ke acara besar pertemuan tahunan yang digelar salah satu klien besar perusahaannya.
Sebenarnya ia tak pernah menyukai pesta, tapi menolak undangan juga bukan pilihan. Jadi malam ini dengan terpaksa ia harus meninggalkan Jingga lagi. Raka datang dengan setelan gelap dan ekspresi dingin seperti biasanya. Seolah menunjukkan kesan bahwa ia tak tersentuh.
Lampu-lampu kristal berpendar dengan suara tawa memenuhi aula megah itu. Musik lembut mengalun, tapi bagi Raka semuanya itu terdengar hampa. Ia memilih untuk duduk di kursi yang berada di sisi ruangan, memegang segelas air putih.
Raka mengedarkan pandangannya hingga matanya menangkap sosok perempuan itu lagi.
Di antara kerumunan, seorang perempuan berjalan anggun dengan mengenakan gaun berwarna biru pastel. Rambutnya bergelombang jatuh ke bahu, matanya jernih, dan setiap gerakannya membawa sesuatu yang begitu familiar untuk Raka, bahkan terlalu familiar.
Dunia Raka seolah berhenti di tempat. Jantungnya yang semula berdetak pelan, kini semakin cepat.
Ia memejamkan mata sepersekian detik, berharap itu hanya bayangannya saja. Tapi ketika ia membuka mata lagi, perempuan itu masih di sana. Di tempat yang sama, berdiri dengan senyum anggunnya.
“Nayla…?” gumamnya nyaris tanpa suara.
Tapi sebelum pikirannya sempat menjelaskan apa pun, seseorang mendekat ke sisi perempuan itu, seorang pria tinggi, rapi dengan tatapan mengintimidasi saat siapapun menatap tunangannya.
Pria itu menggenggam tangan sang perempuan. Senyum mereka berpadu dalam cahaya lampu.
Pandangan Raka teralihkan saat acara dimulai.
“Selamat malam, semuanya!” suara MC menggema dari pengeras suara. “Mari kita sambut tamu kehormatan kita malam ini — Naira Adistya dan tunangannya, Arvino Pradipta.”
Seketika, udara di dada Raka menghilang.
Naira… Adistya.
Nama itu kembali membuat hatinya terasa sakit lebih dalam dari apa pun. Ia hampir kehilangan keseimbangan.
“Pak Raka, Anda baik-baik saja?” tanya seorang rekan kerjanya saat melihat wajahnya yang tiba-tiba pucat.
Raka mengerjap, tersadar. “Ya… hanya sedikit pusing. Udara di sini terlalu pengap.” Alihnya. Ia berusaha menenangkan diri, tapi matanya terus mencari. Menatap dari jauh, mengamati setiap gerak Naira.
Ia tidak bisa berpaling. Sungguh gerak bibirnya, senyumnya bahkan cara ia menatap saat berbicara dengan orang lain… semuanya sama seperti Nayla. Namun ada sesuatu yang berbeda. Naira terlihat lebih kuat, berani, tidak rapuh seperti almarhum istrinya.
Wajah yang terlihat sama, tapi jiwa yang berbeda.
Raka kembali tertegun saat Naira berdiri di depan panggung, mulai memberikan beberapa kata sebagai perwakilan dari perusahaannya.
Suaranya terdengar tenang, membuat banyak orang terpaku. Termasuk Raka.
Ia memandangi perempuan itu tanpa berkedip, hingga tanpa sengaja Arvino menatapnya tidak suka.
Namun di sela-sela pidatonya, Naira sempat melihat ke arah Raka. Hanya sepersekian detik tapi cukup untuk membuat dada Raka bergetar.
.
.
.
Acara berakhir larut malam. Para tamu mulai beranjak, tapi Raka masih berdiri di balkon luar, menatap bintang yang terlihat samar di langit.
Ia menghela napas berat, memejamkan mata. “Dia mirip sekali…” gumamnya.
Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Raka menoleh, dan di sana berdiri Naira dengan senyum ramah di wajahnya. Lampu temaram di balkon menyorot wajahnya, membuat Raka kembali terpaku.
“Maaf, apakah saya mengganggu?”
Raka berusaha tersenyum sopan. “Tidak, sama sekali.”
“Biasanya di acara seperti ini semua orang selalu berebut untuk menunjukkan bahwa mereka adalah yang terbaik. Tapi Bapak malah di luar sendirian.”
“Saya tidak suka pesta. Saya lebih suka ketenangan” jawabnya datar. “Keramaian membuat saya… lelah.”
Naira tersenyum pelan. “Kita sama, berarti.”
Raka terdiam sejenak, menatapnya dalam diam. “Nama Anda Naira?”
“Ya,” jawabnya singkat. “Apa anda kenal saya?”
“Tidak,” katanya cepat. “Saya tahu saat MC tadi memperkenalkan anda.”
“Tapi...” Naira menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Bapak menatap saya sejak di dalam tadi.”
Tubuh Raka kaku sejenak. “Maaf. Hanya saja wajah Anda… mengingatkan saya pada seseorang yang saya kenal.” terang Raka.
“Pasti orang yang sangat penting?” tebak Naira.
Raka menunduk, suaranya rendah. “Sangat penting. Tapi dia sudah tidak ada.”
Naira diam, lalu menatap bintang. “Kehilangan memang tidak mudah. Tapi kadang, orang yang pergi tidak sepenuhnya hilang. Mereka bisa hadir lewat kenangan, atau… orang baru yang datang membawa sebagian dari mereka.”
Raka menoleh menatapnya lama, suara Naira seperti menembus sesuatu di dalam dirinya.
“Bisa jadi,” ucap Raka akhirnya. “Atau mungkin takdir memang suka bermain-main.”
Dari kejauhan, Arvino memanggil, “Sayang, ayo pulang. Sudah malam.”
Naira tersenyum pada Raka. “Senang berbicara dengan Anda, Pak…?”
“Raka,” jawabnya pelan.
“Baiklah, Pak Raka. Sampai jumpa lagi, mungkin.” Naira melangkah pergi, meninggalkan aroma samar parfum bunga yang dulu juga sering dipakai Nayla.
Raka terdiam lama, memandangi punggungnya hingga menghilang di kerumunan. Hatinya berdebar, bukan karena cinta tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam, takdir yang baru saja berputar kembali ke arahnya.
Dan malam itu, ketika ia pulang dan menatap wajah kecil Jingga yang sedang tertidur, Raka berbisik lirih,
“Dia mirip ibumu, Nak. Bahkan terlalu mirip...."
.
.
.