apa jadi nya semula hanya perjalan bisnis malah di gerebek paksa warga dan di nikahi dwngan ceo super galak???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fuji Jullystar07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 12
Kaca transparan. Benar-benar transparan. Tanpa tirai, tanpa sekat. Seriusan?
Calista melotot ke arah kamar mandi yang menyatu langsung dengan kamar. Satu-satunya pembatas cuma dinding kaca. Gimana mau mandi kalau dilihatin segala arah?
"Aku nggak bisa tinggal di kamar ini, Arsen," katanya cepat-cepat, wajahnya sudah memerah. "Kita harus ganti kamar."
Cowok itu hanya nyengir santai dari atas kasur, kedua tangan ditaruh di belakang kepala. "Emangnya kenapa? Kamu nggak nyesel? Ini kamar spesial, lho. Pemandangannya langsung ke Samudra Hindia dari atas tebing."
Calista sempat terdiam. Antara malu dan penasaran.
Dengan langkah ragu, dia berjalan ke arah balkon. Begitu membuka pintu geser kaca, angin laut langsung menerpa wajahnya. Hangat. Segar. Dan saat dia menatap ke depan.
"Masya allah" gumamnya tanpa sadar.
Hamparan laut biru terbentang sejauh mata memandang, menyatu dengan langit yang mulai bergradasi jingga. Di depan balkon, kolam infinity pool pribadi seolah mengambang di udara, mengarah langsung ke jurang tebing yang curam tapi memukau. Indah. Terlalu indah.
Oke, mungkin kamar ini memang sedikit menggoda. Tapi tetap aja, mandi tanpa tirai? Gila.
Tenang saja," kata Arsenio santai sambil bersandar di kusen pintu. "Saya tidur di kamar sebelah. Kamu nggak perlu takut saya intip. Lagian, kamu bukan tipe saya. Datar kayak triplek."
Calista langsung menoleh tajam. "Triplek? Nih liat masih muncul! Nggak datar!"
Dia spontan menunjuk ke dadanya dan langsung membeku. Wajahnya memerah, otaknya mendadak ngeblank. Ya ampun, Calista! Ngapain sih?!
Arsenio terdiam sejenak, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan sambil menelan ludah. Suasana jadi canggung.
"Dasar bocil SD." Ledeknya
Calista mendelik. "Bocil SD? Kamu sendiri tuh, muka udah kayak Titan!"
Arsenio tertawa geli. "Titan? Seriusan? Kalau mau ngatain, yang bagus dikit dong. Masa muka setampan saya di bandingin mahluk jelek kaya titan?"
"Ondel-ondel," sahut Calista ketus.
"Hai Calista… mulai berani ya sama bos?"
"Apa?!" Calista melotot.
"DASAR KURCACI."
"Apa?! Kurcaci?! Dasar… SIALAN! BAJINGAN!"
Keduanya kini berdiri saling hadap, mata saling menantang, seolah tinggal satu kalimat lagi sebelum pecah perang dunia ketiga
Di tengah-tengah, seorang butler andrew berdiri canggung, berkeringat dingin. Ia melirik kanan kiri, berharap ada lubang untuk kabur. Tapi tidak ada.
"Kenapa punya client yang aneh terus sih" bisiknya lirih.
Ia menghela napas panjang, lalu mencoba tersenyum. "Mr. dan Miss, tenang ya. Ini semua bisa dibicarakan baik-baik—"
"DIAM!" bentakan dua suara sekaligus menggema.
Butler itu sontak terlonjak, punggungnya tegak seperti prajurit dilatih pasukan khusus.
Otaknya menjerit, tapi mulutnya hanya bisa berkata
"Baik… saya diam.
______________
Setelah insiden kamar mandi terbuka dan sesi ledek-ledekan yang bikin satu Butler kena mental, suasana vila sempat tenang untuk beberapa menit.
Calista keluar dari kamar dengan wajah cemberut, rambut masih basah, pakai kaos oversized dan celana pendek.
"Heh Arsen aku lapar ayo kita makan" Ujarnya seenaknya
Arsenio yang sedang duduk sambil baca tablet cuma mendongak malas. " Kamu makin lama makin berani ya panggil aku kakak aku lebih tua dari kamu "
Calista menghela napas panjang dramatis. " Sorry, gak mau.kamu sendiri kan yang nyuruh aku ngomong informal kalau kita berdua"
"KAMU—"
Pet! Air mancur kolam pribadi tiba-tiba menyembur, menyela pertengkaran mereka. Calista menoleh. Di sebelah kolam, ada bangku malas dan meja berisi dua gelas mocktail segar.
Butler andrew datang lagi membawa cemilan dan berkata, "Ini dari koki. Camilan sore. Semoga bisa meredakan ketegangan antara suami istri." Kata nya
Calista dan Arsen saling pandang dengan tatapan horror. Lalu sama-sama duduk di bangku, dengan ekspresi saling sebel.
“ Siapa bilang kami suami istri kami ini musuh” gerutu Calista sambil menggigit macaron.
“ Kamu hilang ingatan?baru aja kemarin kita nikah apa perlu aku bawa ke dokter?” balas Arsen sambil nyeruput minumannya.
Calista sangat kesal mendengar nya denga kesal Calista langsung makan sembarangan sampe pipinya mengembung seperti tupai dan langsung pergi ke kamar Arsenio hanya tertawa melihat kepergian Calista
" Gak cewe nya gak cowo nya sebleng semua " Ucap suara hati Butler andrew dan langsung pergi tak ingin ikut campur lagi.
_________
Awan mulai menggulung gelap. Angin bertiup kencang, menerpa pepohonan di luar jendela vila yang mewah. Badai kecil sedang menuju. Langit menggelap, seakan malam datang lebih cepat dari seharusnya.
Saat malam benar-benar tiba, hujan turun dengan deras. Petir menyambar, memecah keheningan malam. Vila yang tadi terasa hangat dan mewah kini berubah menjadi tempat yang mencekam.
Lalu
Trak listrik mati
Gelap total.
"Loh mati lampu?" suara Calista terdengar dari balik pintu kamar. Ia melangkah pelan, satu-satunya cahaya berasal dari senter ponselnya. "Arsen? Kamu di mana?"
Tidak ada jawaban. Hanya suara angin dan petir di luar sana.
"Arsen? Jangan bercanda, sumpah..."
Calista berbalik—
DUAR!
Arsenio muncul tiba-tiba, menyinari wajahnya dengan cahaya senter.
"AAAAAKH!!" Calista menjerit kaget, nyaris menjatuhkan ponselnya. Tangannya reflek memegang dada, memastikan jantungnya masih di tempat.
Arsenio malah tertawa puas.
"Maaf, maaf banget," ucapnya sambil menangkis pukulan dari Calista yang setengah marah, setengah panik.
"MAAF KAMU BILANG?! Jantung aku nyaris copot tahu?!"
"AKU NYERAH! AKU NYERAH!" serunya, mengangkat tangan tinggi-tinggi. Calista akhirnya menghentikan pukulannya, masih dengan napas memburu.
"Ayo sini," katanya sambil menarik tangan Calista ke ruang tengah. Ia menyalakan lilin entah dari mana dapatnya. Ruangan jadi temaram, cahaya oranye menari-nari di dinding vila.
Calista duduk di sofa, masih berusaha menenangkan dirinya. Tapi saat petir kembali menyambar, tubuhnya otomatis melompat
Dan entah bagaimana, ia mendarat tepat di pangkuan Arsenio.
Mereka saling terdiam. Saling menatap.
"Aku nggak takut," bisiknya cepat. Tapi tangannya mencengkeram erat baju Arsenio.
Arsenio menaikkan satu alis. "Mau sampai kapan duduk di pangkuan saya? Atau kamu nyaman?"
Pipinya langsung panas. Dengan cepat ia berdiri dan pindah duduk ke sofa seberang, menjauh.
Diam. Hanya suara hujan dan gelegar petir di kejauhan.
"Lilin itu,kamu nemu di mana?" tanyanya gugup, mencoba mengalihkan suasana.
"Di dapur. Untung nemu, jadi kita nggak gelap-gelapan amat." Arsenio melirik sekilas. "Kamu takut petir?"
"...Sedikit," jawabnya pelan. "Dulu waktu kecil, pernah terjebak sendirian pas mati lampu. Sejak itu. aku benci suara petir."
Arsenio tidak berkata apa-apa. Ia berdiri, berjalan pelan ke arah dapur, lalu kembali dengan selimut. Dengan lembut, ia menyampirkannya ke bahu Calista.
Ia duduk lagi. Kali ini lebih dekat. Tak berkata apa-apa.
"Kalau kamu mau," ucapnya, suaranya lebih pelan dari biasanya, "kita duduk di sini aja sampai listrik nyala. Aku nggak akan gangguin."
Calista melirik sekilas. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar. Aneh. Deg-degan, tapi juga hangat.
"Siapa juga yang takut diganggu? Kamu bukan tipeku juga. Ingat?" katanya cepat.
Arsenio hanya tersenyum. Tapi kali ini bukan senyum menyebalkan seperti biasanya. Ada yang berbeda. Lebih hangat. Lebih... jujur.
Dan malam pun terus bergulir dalam keheningan yang nyaman.