"Aku insecure sama kamu. kamu itu sempurna banget sampai-sampai aku bingung gimana caranya supaya bisa jadi imam yang baik buat kamu."
~Alvanza Utama Raja
🍃🍃🍃
Ketika air dan minyak dipersatukan, hasilnya pasti menolak keduanya bersatu. Seperti Alvan dan Ana, jika keduanya dipersatukan, hasilnya pasti berbeda dan tidak sesuai harapan. Karena yang satu awam dan yang satu tengah mendalami agamanya.
Namun, masih ada air sabun yang menyatukan air dan minyak untuk bisa disatukan. Begitu juga dengan Alvan dan Ana, jika Allah menghendaki keduanya bersatu, orang lain bisa apa?
🍃🍃🍃
"Jika kamu bersyukur mendapatkan Ana, berarti Ana yang harus sabar menghadapi kamu. Sebab, Allah menyatukan dua insan yang berbeda dan saling melengkapi."
~Aranaima Salsabilla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufalifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tukar jodoh
Sudah hampir sepuluh kali Alvan membaca tata cara shalat istikharah yang ia ambil dari google, tetapi Alvan sama sekali tidak faham.
"Tumben boss mau belajar salat salat malam. Memangnya sering bangun sepertiga malam?" Tanya Noval terlihat takjub pada ketua Blaster yang akhir-akhir ini mulai mengenal agamanya. Tetapi perkataan Noval juga berkesan mengejek.
"Gue mau belajar salat istikharah." Balas Alvan yang tetap fokus memahami tata cara salat istikharah di layar ponselnya
"Istikharah itu salat apa bos? Gue sering denger di perbucinan quotes tentang istikharah."
Alvan melirik sekilas ke arah Noval, setelahnya kembali menatap ponselnya. "Nentuin jodoh." Balasnya yang membuat seluruh anggota lainnya langsung merapat ke arah ketuanya itu.
"Cari jodoh lewat salat emang bisa?" Tanya Kenzie
"Bisa." Sahut Arden sebelum Alvan membalas pertanyaan kenzie. "Kata Ulya, daripada pakai pelet mending pakai zikir dan doa. Sebut terus namanya dalam doa sampai Allah mengabulkan doa kita." Sambungnya
"Kalau ternyata jodohnya bukan yang kita sebut di setiap doa kita, gimana?" Tanya Kenzie lagi, yang lain hanya menyimak.
"Berarti udah ada yang menyebut nama kita di dalam doanya." Jawab Arden seolah sudah punya jawaban sebelum ditanya.
"Kayaknya lu udah deket banget sama Ulya, ya?"
"Dia sering cerita ke gue. Curhat segala macam tanpa ada rasa takut kalau bakal gue comberin. Tapi semenjak temannya siapa itu namanya..." Arden melirik ke arah Alvan, sengaja ia gantungkan kalimatnya karena biar Alvan menyahutnya.
"Ana."
"Ya, si Ana ana itu, Ulya jadi jarang curhat ke gue."
"Lo naksir si Ulya?"
"Gaklah! Ya kali gue naksir Ulya, dia tuh udah gue anggap adik sendiri. Gue cuma hibur Ulya ketika seseorang yang dia suka nggak pernah noleh dan paham kalau Ulya pengen sekedar diperhatiin." Mendengar penjelasan Arden, semua langsung menoleh mencoba mencari tahu siapa laki-laki yang disukai Ulya. Dan semua mengarah pada sosok Alvan dengan yang tengah menghafalkan sesuatu dari ponselnya.
Alvan hanya melirik pada anggotanya yang masih menatap dirinya, Alvan menghembuskan nafas beratnya. "Gue sukanya ke Ana, putri pertama Abah Ahmad."
"Lo nggak kasihan ke Ulya? Setiap salat dia selalu menyebut nama Lo, Al." Ujar Arden memberi tahu
"Percuma dia sebut nama gue kalau pemenangnya orang yang gue sebut. Lagi pula percuma juga kalau gue suka dia kalau hanya sebatas kasihan." Balas Alvan merasa kalau semua anggotanya lebih setuju jika Alvan dengan Ulya.
"Setidaknya ada perhatian dikit lah, bro."
Alvan menyunggingkan senyum remehnya. Perhatian? Jelas jawabannya adalah 'goblok!' yang ada kalau Alvan kasih perhatian ke Ulya, Ulya jadi merasa ada harapan.
"Dia tuh suka lo udah lama. Mana balasan lo? Yang ada dia sakit hati." Kenzie ikut berdebat
"Gak selamanya teman masa kecil menjadi teman masa depan. Lalu, kalau gue pikir perasaannya, apa kabar sama perasaan gue? Goblok lo semua!" Sahutnya yang langsung beranjak meninggalkan semuanya
"yakin lo udah menang? Lihat kenyataannya dulu, Al. Lo akan dibuat bingung antara Ulya yang suka sama lo atau Ana yang kemungkinan nolak lo." Sahut Arden yang langsung membuat Alvan berhentinya.
Alvan diam membeku setelah mendengar ucapan Ardan yang menyadarkan hati Alvan. Yang diucapkan sahabatnya itu memang benar, nantinya ia akan kelimpungan sendiri memikirkan perasaan Ulya dan juga perasaan dirinya. Jika Alvan menuruti perasaannya sendiri, itu artinya Alvan menyakiti perasaan Ulya. Begitupun sebaliknya, jika Alvan menuruti perasaan Ulya, yang ada nantinya tersiksa karena harus memaksa dirinya untuk kesenangan orang lain.
Alvan menoleh ke arah samping. "Setidaknya gue ada doa dan usaha. Bukan cuma mengharapkan apalagi diharapkan."
🍃🍃🍃
Setelah semalam belajar dengan Abah imam, Alvan sekarang benar-benar mantap dan yakin dengan niatnya yang mau mendatangi rumah abah Ahmad. Dirinya sudah cukup rapi dan wangi untuk keluar apartemen.
Berbeda dengan Ana yang sangat pagi-pagi sekali ada tamu yang datang ke rumah. Dan yang mengejutkan lagi adalah tamu yang datang ke rumah itu Gus abizar sekeluarga. Ana melihat dirinya yang gembel belum mandi dan masih memakai piyama.
"Ibuu!! Ada tamu!!" Teriaknya yang setelah itu langsung meletakkan semua pekerjaannya dan segera masuk ke dalam kamar untuk bebersih.
"Aduh, Gus abizar sekeluarga baru pertama kali ini datang ke rumah. Kira-kira mau ngapain ya?" Segala pikiran halusinasi mulai melintas di otak Ana
Abah Ahmad menyambut Gus abizar sekeluarga dengan amat ramah dan sopan, dipersilahkannya sekeluarga itu masuk dan duduk di kursi sofa.
"Perjalan lancar?" Tanya Ahmad setelah berjabat tangan dengan orang tua abizar.
"Alhamdulillah."
Duduk di ruang tamu, kedua keluarga nampak berbincang ria sembari menunggu Ana keluar dari kamar. Setelah satu jam lamanya, Ana keluar dari kamar dan langsung mendapati Ulya, sahabat Ana yang rumahnya dapat dihitung dengan langkah kaki.
"Hai, Ana. Cie yang bau-bau dilamar lelaki idaman." Goda ulya membuat Ana tak berhenti tersenyum
"Temenin sampai waktunya, ya." Pinta Ana pada sahabatnya itu
"Semalam Alvan belajar salat istikharah ke Abah. Semoga haluan aku tentang Alvan yang ngelamar aku bisa tercapai."
"Amin."
🍃🍃🍃
"Kedatangan saya beserta keluarga ingin menunjukkan keseriusan saya kepada Aranaima Salsabila, putri pertama bapak Ahmad yang sudah sejauh ini saya perhatikan." Ucapan abizar sontak membuat Ana tersenyum. Tidak menyangka saja jika seseorang yang Ana kagumi ternyata datang untuk menjadikannya kekasih hidup.
Ana menggenggam erat tangan Ulya. Keringat dingin dan detakan jantung membuat Ana tak mampu untuk berkata.
"Masyaallah, keseriusan mu sangat kami nantikan. Kami sekeluarga jug-"
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Semua langsung menoleh pada seseorang yang baru masuk. Dan sepertinya Ahmad kedatangan dua tamu. Alvan dan Abah imam datang secara bersamaan.
Ana dan ulya langsung pindah ke kursi belakang dan mempersilahkan Alvan dan abah imam untuk duduk di tempat yang awal mula keduanya duduki.
"Bah, Alvan sudah mantap dan yakin setelah semalam Alvan salat istikharah." Ujar Alvan setelah bersalaman dengan Ahmad. Bahkan sekarang Alvan mulai membiasakan memanggil Ahmad dengan sebutan Abah.
"Apa yang kamu ketahui tentang salat istikharah?" Tanya Ahmad seolah memberi soal yang seperti di buku LKS anak sekolahan.
"Istikharah itu ada dua macam. Ada khos dan juga ada 'am. Khos adalah khusus yang artinya dikhususkan untuk mengetahui jodoh kita lewat salat dan kemudian dijawab lewat mimpi. Sedangkan 'am artinya umum, berarti diperuntukkan untuk umum." Jawab Alvan berharap jawabannya tidak salah
Ahmad menepuk pundak Alvan. "Jawabanmu ada yang kurang tepat tapi ku beri nilai sepuluh karena tekadmu membuatmu tak mau menyerah, sekarang duduklah dan tunggu pernyataannya nanti."
Keadaan menjadi hening tanpa suara sampai akhirnya Ahmad yang selaku tuan rumah angkat bicara.
"Kedatanganmu ke sini berniat untuk apa, Nak?"
"Saya ke sini karena saya mau melamar putri pertama Abah Ahmad." Jawab Alvan seraya memang benar-benar mantap dan yakin.
"Ada dua laki-laki datang melamar putri saya dalam waktu yang bersamaan. Kalau dari agama, saya lihat nak abizar tetapi, saya juga melihat bagaimana anak Alvan yang mulai mempelajari agamanya. Saya tidak bisa memutuskan, yang bisa memutuskan adalah putri saya."
Ana tetap menggenggam jemari Ulya. Ana dapat merasakan apa yang dirasakan Ulya saat tau lelaki yang enggan menoleh pada Ulya ternyata memiliki pandangan lain yakni seorang Ana yang tidak tahu apa-apa.
"Maaf Abah, Ana tidak bisa memilih. Lebih tepatnya Ana ngikut apa kata Abah. Tetapi, izinkan Ana berpendapat untuk Alvan yang lebih sepantasnya melamar ulya sebab keduanya yang lebih saling mengenal dan di salah satunya sudah memiliki rasa lebih lama."
Abah Ahmad, Abah imam dan Abah Maliki saling tatap menatap seolah ketiganya tengah mengobrol lewat batin mereka. Tak lama dari tetapan itu, ketiganya mengangguk seolah saling mengerti dan memahami.
"Baik, sebelumnya saya minta maaf pada nak Abizar, atas izin orang tua kamu, lamaran kamu saya serahkan pada Imam untuk putri satu-satunya yang bernama Ulya hazima."
Bagaikan petir di siang bolong, Abizar spontan langsung mendongakkan kepala menghadap Ana.
Ana dan Ulya saling tatap menatap, menatap netra yang sama-sama merasa sakit dan kecewa. Satu pertanyaan yang ada di benak keduanya, kenapa harus ditukar?
Lain dengan Alvan yang memenangkan pernyataan yang menguntungkan dan membuahkan hasil. Sampai Alvan tak berhenti menatap Ana dengan tak kuasa menahan senyum.
Ulya berjalan menghampiri imam dengan air mata yang dengan perlahan menetes membasahi pipi. "Bah, kenapa har-"
"Baik, untuk bapak Maliki sekeluarga. Saya persilahkan untuk datang ke rumah dan membicarakan semuanya secara kekeluargaan." Potong imam yang setelah itu pamit pulang dengan menggandeng putri satu-satunya.
Disusul Maliki ikut berpamit pada Ahmad. "Baik pak Ahmad, Saya mau lanjut ke pak imam. Saya ucapkan terima kasih dan minta maaf, meski bukan besan tetap sambung ya, pak. Kalau begitu kami permisi, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kini tinggal ada Alvan, Ahmad dan Ana. Ida sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar karena putri kecilnya menangis. Keadaan ruang tamu mendadak hening, Ana yang sudah tak tahan dengan kenyataan hendak meninggalkan ruang tamu tetapi, dihentikan oleh Ahmad.
"Abah sudah pilih yang terbaik buat putri Abah."
Alvan tersenyum setelah mendengar penuturan Abah Ahmad, lantas Alvan berpindah posisi menjadi lebih dekat dengan Ahmad dan duduk berhadapan dengan Ana.
"Berarti lamaran saya diterima, bah?" Tanya Alvan tak berhenti senyum
"Belum, karena putri saya belum seratus persen yakin menerima kamu. Jadi, lebih baik sekarang kamu pulang dan lebih di tata niatnya."
"Bismillah, bah. Saya akan berusaha menjadi imam yang baik untuk putri Abah Ahmad."