Angkasa Lu merupakan seorang ceo yang kaya raya, dan juga Arogan. Karena traumanya dia membenci wanita. Namun, karena permintaan sang kakek terpaksa dia melakukan kawin kontrak dengan seorang perempuan yang bernama Hana. Dan begitu warisan sudah ia dapatkan, maka pernikahan dia dengan Hana pun selesai. Akan tetapi belum sempat Angkasa mendapatkan warisan itu, Hana sudah pergi meninggalkan pria itu.
Lima tahun kemudian, secara tidak sengaja Angkasa di pertemukan dengan Hana, dan juga kedua anak kembarnya. Pria itu tidak tahu kalau selama ini sang istri telah melahirkan anak kembar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
"Ada apa kak? Kenapa kakak terlihat panik" tanya Zaka dengan wajah cemas, melihat wajah kakaknya yang pucat pasi dan gelisah.
Hana segera menurunkan Ciara dari gendongannya, lalu berlari menutup semua pintu rumah termasuk warungnya juga dia tutup.
"Pria itu ada di sini, Zak. Kakak takut dia akan merebut kembar dari kita" jawab Hana dengan suara bergetar, penuh rasa takut yang menyelimuti hatinya.
"Maksud kakak, Tuan muda Lu?" tanya Zaka memastikan bahwa ia mengerti siapa yang dimaksud kakaknya.
"Iya, Zak. Tadi dia sempat menolong Cia," jawab Hana, menahan isak tangis yang mulai menggelayutinya. "Kakak takut, Zak," ucap Hana lirih, sambil menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menyembunyikan kepanikannya.
Zaka, yang melihat keadaan kakaknya, segera mendekatinya dan menepuk punggungnya pelan. "Tenang, kak. Aku akan bantu kakak melindungi kembar," ujar Zaka dengan suara penuh keyakinan, berusaha menenangkan Hana dan mengembalikan keberaniannya.
Meskipun dia tidak yakin bisa menang melawan Angkasa, naun setidaknya dia akan berjuang terlebih dahulu untuk melindungi kakaknya dan juga kedua ponakannya.
"Untuk sementara waktu kembar jangan boleh keluar rumah dulu, tunggu sampai situasinya aman" pesan Zaka.
"Kamu benar, kakak harus mengurung mereka untuk sementara waktu" ucap Hana mengangguk setuju.
Tiga hari berlalu sejak Hana memutuskan untuk tidak memperbolehkan anak kembarnya, keluar rumah. Ia takut Angkasa mengetahui keberadaan mereka dan berusaha mengambil anak-anak darinya.
Rumah yang biasanya riuh dengan tawa anak-anak, kini terasa hampa dan sunyi. Ciara, yang biasa bermain dengan teman-temannya di luar rumah, mulai merasa bosan. Gadis kecil itu terus merengek, meminta izin untuk keluar rumah dan bermain dengan teman-temannya.
Ia menghampiri ibunya yang sedang duduk di sofa sambil menatap keluar jendela dengan wajah cemas. "Cia bocan, Mommy. Cia mau main cama teman-teman Cia," rengek Ciara sambil menghentakkan kakinya pada lantai, menunjukkan betapa bosannya ia.
Tiba-tiba, amarah Hana meledak dan memarahi putrinya, "BERHENTI MERENGEK CIA!" Suara bentakan Hana membuat Ciara terlonjak kaget, matanya mulai berembun air mata dan bibirnya bergemetar.
Hana yang menyadari habis membentak putrinya, segera merangkul memeluk Cia dan menenangkannya. "Maafkan Mommy, Sayang. Mommy hanya khawatir akan keselamatanmu dan bang Xander. Kita harus tetap di rumah untuk sementara waktu agar tetap aman."
Cia masih menangis pelan, namun mulai mengerti alasan ibunya melarang mereka keluar rumah. "Tapi Cia bocan, Mommy. Kapan Cia bica belmain lagi cama teman-teman lagi?" tanya Ciara dengan suara lirih.
Hana mengusap rambut Ciara dan berjanji, "Secepatnya, Sayang. Setelah Mommy yakin kita semua aman, kalian boleh keluar dan bermain lagi."
Dengan berat hati, Ciara mengangguk dan kembali ke kamarnya bermain boneka kesayangannya.
*****
Angkasa duduk di balkon kamar hotelnya sambil menikmati secangkir kopi. Tiba-tiba Victor, asistennya, mendekat dan mengatakan, "Tuan, nona Gya menelpon." Ia menunjukkan ponselnya ke arah Angkasa.
Angkasa mengernyitkan dahinya, tampak jelas rasa tidak suka di wajahnya. "Abaikan saja, wanita itu sangat merepotkan," ucapnya sambil menghela nafas panjang, menandakan betapa lelahnya ia menghadapi Gya.
Sejak pertemuannya dengan Hana, Angkasa memutuskan menetap di kampung tersebut untuk sementara waktu. Ia berharap bisa mendapatkan informasi lebih lanjut tentang keberadaan Hana dan buah hatinya yang kini sedang dicarinya.
Setiap hari, Angkasa mengunjungi berbagai tempat di kampung itu, berbicara dengan warga, dan mengumpulkan berbagai informasi yang mungkin berguna.
Victor mengangguk mengerti, lalu ia kembali ke dalam kamarnya, meninggalkan Angkasa yang masih menyesap kopinya.
Angkasa melirik ke arah ponsel yang tergeletak di meja, lalu menggumam, "Maafkan aku, Gya. Tapi aku tidak bisa mengangkat panggilan mu, masih ada masalah yang lebih penting yang harus aku selesaikan"
Langit mulai mendung, menandakan hujan segera turun. Angkasa menatap awan-awan gelap yang menggantung di langit, merenung tentang keputusannya. Ia bertekad akan menemukan Hana dan anaknya, tidak peduli berapa lama atau seberapa jauh ia harus mencari.
*****
Ciara berguling-guling di atas kasurnya untuk mengusir kebosanannya. Tiba-tiba otak kecilnya mendapatkan sebuah ide.
"Huh, Cia bocan, lebih baik Cia kabul aja," gumam Ciara mencoba meyakinkan diri "Iya benal, Cia halus kabul bial bica belmain sama teman-teman Cia. Lindu kali lho Cia cama meleka" ucap Ciara sambil tersenyum merasa tercerahkan.
Dengan hati-hati, gadis kecil itu turun dari atas ranjangnya. Ia melangkahkan kaki gempalnya ke arah pintu, dengan perlahan Ciara membuka pintu tersebut. Ia tidak langsung keluar kamar, dia mengintip terlebih dahulu untuk memastikan keadaannya aman. Matanya mengamati setiap sudut ruangan, mencari tanda-tanda keberadaan ibunya dan juga om nya.
Suasana di luar kamar tampak sepi dan sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus lembut melalui celah-celah jendela. Ciara mengumpulkan keberanian, lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan perlahan, mencoba tidak membuat suara yang dapat menarik perhatian orang lain.
Sambil berjalan, Ciara merasa gelisah dan deg-degan, takut akan apa yang mungkin menunggunya di luar sana. Namun, di saat yang bersamaan, ia juga merasa bersemangat untuk segera bertemu dengan teman-temannya dan kembali bermain bersama.
Ciara menghela napas panjang, matanya menelusuri lorong menuju pintu utama rumah mereka. Sesekali, ia menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada siapa-siapa yang mengintainya. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya Ciara sampai di depan pintu utama.
Gadis kecil itu mengambil napas dalam-dalam, berharap pintu tersebut terbuka. Ia mencoba memutar gagang pintu dengan perlahan.
Klek... Klek....
"Yah...di kunci pintunya," keluh Ciara ketika menyadari pintu tidak bisa dibuka.
Wajahnya langsung berubah muram, semangat yang baru saja berkobar seketika memudar. Dengan perasaan putus asa, Ciara menjatuhkan tubuhnya ke sofa yang berada di dekat pintu. Ia berbaring terlentang, menatap langit-langit rumah dengan pandangan kosong, seperti ikan yang kehabisan air.
Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkan Ciara. "Kamu mencari ini?" ucap Xander, kakak kembar Ciara, sambil menunjukkan sebuah kunci yang ia pegang erat di tangannya.
Ciara menoleh dengan kaget, matanya membelalak saat melihat kunci yang sedang ia cari. Hatinya berdebar, Gadis kecil itu segera bangkit dari atas sofa, dan mendekati Xander dan menatapnya dengan ekspresi penuh harap.
"Abang, bawa cini kuncinya, Cia mau kelual," pintanya sambil menunjukkan wajah memelas yang sulit ditolak.
Xander, yang tampak menikmati reaksi adiknya, tersenyum jahil sambil menggoyangkan kunci di tangannya. "Tidak! Kamu tidak mendengarkan perkataan mommy, huh," sahutnya sambil mengangkat alis, mengejek Ciara.
Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya, berusaha keras untuk tidak menangis. "Dengal kok, Cia dengal. Tapi Cia bocan, Abang. Cia mau main," rengek Ciara dengan mata berkaca-kaca, berharap Xander luluh dan memberikannya kunci tersebut.
Suasana di ruang tamu terasa semakin mendebarkan, Ciara dan Xander saling beradu pandang, menunggu siapa yang akan menyerah terlebih dahulu dalam pertarungan kecil mereka.
Ngakak aku dari tadi... 🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣