ALVANA
Terjebak tidak bisa pulang sehabis mengaji di rumah Ulya. Ana tidak berani pulang karena jalannya dipenuhi lelaki seperti preman yang siap menerka mangsanya. Namun, Ana harus segera pulang karena ada sesuatu yang harus diselesaikan.
Dengan penuh keberanian, Ana berjalan mendekati sekumpulan lelaki preman yang memenuhi jalan. Dari kejauhan saja, Ana bisa mendengar siulan-siulan menggoda. Membuat Ana merasa sangat takut.
Semua segerombolan lelaki itu memusatkan perhatian pada Ana yang tengah berjalan sendirian. Namun, salah satu diantara mereka memilih diam sambil bermain handphone. Dia adalah Alvan, Alvanza Utama Raja. Seseorang yang pantas disebut sebagai ketua geng motor yang mereka namai BLASTER ketika di luar lingkungan masyarakat. Sedangkan didalam lingkungan, patokan mereka sebagai PERJAMASY alias perjaka masyarakat.
"Aduh!" Ana mengaduh kesakitan karena dirinya yang terlalu menunduk dan tidak sadar kalau ia menabrak tiang hingga dirinya jatuh ketanah.
Semua tertawa, lebih tepatnya menertawakan Ana. "Mangkanya neng, kalau jalan jangan terlalu nunduk. Kalau udah gini, nggak bahaya tah?"
Berbeda dengan Alvan, lelaki itu menatap Ana cemas. Meskipun ia tidak tahu siapa perempuan itu, ia tahu betul rasanya kejedot tiang itu seperti apa. Insting hatinya meminta Alvan untuk segera menolong perempuan terbalut hijab itu.
"Mau kemana lo?" Tanya lelaki disebelah Alvan saat melihat ketuanya itu beranjak dari duduknya.
"Bukan urusan lo!" Balas Alvan ketus
Alvan berjalan menghampiri Ana yang masih terduduk di atas tanah. "Butuh bantuan?" Alvan mengulurkan tangannya, berharap perempuan terbalut hijab itu menerima uluran tangannya
Sedangkan Ana dibuat gemetar akan pertanyaan yang dilontarkan Alvan untuknya. Ana menggeleng tanda ia tak mau. Ana segera berdiri. "Permisi." Gumamnya pelan, segera melangkah pergi dari hadapan Alvan.
"Mau gue antar?" Tanya Alvan menawari
Ana diam di tempat. Sedikit menoleh kearah samping. "Tidak, terimakasih." Jawabnya lembut yang setelah itu melanjutkan jalannya menuju rumah yang tak jauh dari masjid.
Sedangkan Alvan, entah kenapa lelaki itu tertarik untuk mengikuti Ana sampai rumah. Begitu ia mengetahui rumah Ana, ia tersenyum.
"Oh, ternyata dia anaknya pak Ahmad. Tapi, kok gue nggak pernah lihat dia, ya." Gumamnya merasa tertarik untuk mengetahui siapa perempuan tersebut.
🍃🍃🍃
Alvan segera menambah kecepatan lajunya menjadi di atas rata-rata. Sedangkan sosok tak dikenal di belakangnya juga menambah kecepatan. Alvan yakini kalau Alvan akan bonyok sesampainya di markas.
Bugh!
Seseorang tak dikenal itu menendang motor Alvan hingga Alvan jatuh tersungkur mencium aspal. Damn! umpatnya dalam hati. Begitu dirinya bangkit, dirinya sudah dikelilingi banyak motor.
"Alvan.. Alvan, senggol dikit aja udah tumbang. Lemah lo!"
Alvan mengepalkan tangan kuat-kuat, giginya bergemelatuk. Ia paling benci jika dirinya disebut lemah, meskipun kenyataannya ia juga tidak kuat. Dihampirinya lelaki yang menyebut Alvan lemah, satu tonjokan melayang pada wajahnya.
"Daripada lo, pengecut! Sukanya main keroyokan."
Sama-sama tidak terima, keduanya akhirnya berkelahi. Dirasa musuh Alvan sudah sempoyongan, anak buahnya pun turun tangan dan ikut ngeroyok Alvan. Sebisa mungkin Alvan melawan delapan orang didepannya sendirian.
Alvan jatuh tersungkur dengan menerima pukulan yang bertubi-tubi. Alvan sudah tak mampu lagi melawan, selebihnya Alvan hanya bisa pasrah.
"Tolong! Tolong! Ada begal, tolong!" Mendengar teriakan cewek yang begitu nyaring dan mengundang warga, kesembilan cowok tak dikenal itu langsung bubar meninggalkan jalanan yang cukup sepi.
Ulya Hazima. Perempuan yang baru saja pulang dari kampus itu berlari menghampiri Alvan yang sudah tak berdaya. Begitu banyak luka lebam di wajahnya dan darah yang mengalir di pelipisnya.
"Alvan, mereka siapa?" Tanya Ulya khawatir
"Gue nggak tau." Jawab Alvan dengan keadaan setengah sadar
Warga demi warga mulai berdatangan untuk membantu. Melihat luka di wajah Alvan, semua merinding dan membayangkan rasa sakit yang di rasakan Alvan.
"Langsung di bawa ke masjid aja, pak. Soalnya teman-temannya ada di sana." Ujar Ulya yang langsung di angguki para warga.
🍃🍃🍃
"Astaga, Lo kenapa jadi bonyok gini?" Tanya Arden, salah satu sahabat Alvan
"Berisik lo! Badan gue remuk semua." Jawab Alvan dengan menyamankan posisi tidurnya
Ulya datang dengan membawa baskom berisi air hangat untuk mengompres luka lebam di wajah Alvan. Arden dan Kenzie langsung mengambil alih baskom yang ada di tangan Ulya. Mengompres lebam yang ada di wajah Alvan.
"Pelan-pelan bangsat!" Sarkasnya
"Alvan." Tegur Ulya memperingati Alvan untuk tidak berbicara kasar. Sedangkan Alvan hanya melirik sekilas, merasa tak acuh akan teguran Ulya.
Ulya berniat untuk kembali ke rumah, namun, niat itu langsung hilang setelah melihat Ana lewat di depan masjid.
"ANA!!" Teriak Ulya dengan melambaikan tangan tinggi-tinggi. Sedangkan yang disebelah Ulya, seketika budek setelah mendengar teriakan Ulya yang membuat telinganya langsung berbunyi.
Ulya berlari menghampiri Ana. Merasa senang ketika sahabatnya pulang dari pesantren.
"Mau langsung mengaji?" Tanya Ulya
Ana tersenyum. "Lebih tepatnya baru selesai mengaji." Balasnya terlihat sangat ramah.
"Yaudah, mampir dulu ke masjid yuk. Disana juga ada anak-anak perjamasy." Ajak Ulya dengan menggandeng tangan Ana.
Mengingat kejadian semalam yang membuat Ana merasa sangat malu, Ana langsung menolak ajakan Ulya dan lebih memilih pulang. "Maaf, Ulya. Aku nggak bisa. Soalnya dirumah mau ada bimbingan dari pengasuh pesantren." Tolaknya lembut dan sebisa mungkin untuk membuat Ulya tidak sakit hati dengan penolakannya.
Berbeda dengan Alvan yang sedari tadi mengamati keberadaan Ulya dan Ana di pinggir jalan. Alvan tersenyum lantaran senang karena akhirnya mengetahui nama perempuan yang Alvan ingin tahu identitasnya.
Melihat Alvan tersenyum dengan pandangan mengarah pada dua perempuan di depan pintu gerbang, Arden bergerak menyenggol lengan Alvan.
"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Suka lo sama Ulya? Perlu gue bilang ke Abah Imam? Atau... lo suka sama temennya Ulya?" Tanya Arden dengan pertanyaan bertubi-tubi
"Dia anaknya pak Ahmad." Jawab Alvan yang jelas melenceng dari pertanyaan Arden.
"Sotoy lo! Pak Ahmad cuma punya anak satu. Namanya Arsyila." Sahut Kenzie dengan menepuk lengan Alvan. Alhasil mendapat tatapan maut dari Alvan.
"Lo yang sotoy!"
"Udah-udah. Daripada kepoin anak orang, mending kita bahas keroyokan tadi. Barusan gue lihat CCTV jalan disana, ternyata itu sekelompok gengnya Erik." Sahut Noval saat baru datang langsung nimbrung. Salah satu anggota yang paling pintar melacak keberadaan orang hanya dengan jari.
Alvan menggebrak meja yang ada didepannya. Geng Nairles adalah musuh bebuyutan Blaster. Alvan udah banyak mengalah untuk saudara bawaan ayahnya. Mulai dari Nairles yang selama bertahun-tahun Alvan dirikan, dengan terpaksa dan rela nya Alvan berikan pada Erik yang selalu menjatuhkan harapannya. Hingga pacarnya pun Erik rebut.
Geng Blaster adalah geng yang Alvan dirikan bulan lalu. Masih baru dan begitu sedikit anggota. Anggota dulunya telah dimanipulasi Erik, akhirnya sekarang hanya ada sebelas orang bertahan.
"Minta pak Ahmad untuk atur jadwal latihannya. Minggu ini harus lebih padat. Minta pak Anto juga buat ngelatih. Persiapkan minggu ini, kita balas Erik." Ujar Alvan memberi tahu.
"Yaudah, gue langsung kerumah pak Ahmad setelah ini. Biar sekalian Kenzie kerumahnya pak Anto." Balas Arden yang akan beranjak pergi namun, langsung dihentikan Alvan.
Alvan pikir untuk saatnya memastikan perempuan bernama Ana itu anaknya pak Ahmad atau bukan. "Biar gue yang kerumahnya pak Ahmad. Lo langsung ke rumahnya pak Anto aja."
🍃🍃🍃
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Ada apa nak Alvan kemari malam-malam?" Tanya Ahmad
"Maaf, pak. Cuma mau waktu lebih untuk latihan." Jawab Alvan dengan melirik ke setiap sudut rumah Ahmad. Lebih tepatnya mencari keberadaan Ana.
Ahmad mengangguk, kemudian menoleh ke arah atas. "Na, buatkan kopi untuk Abah sama tamu Abah." Tuturnya sedikit lantang
"Iya, Bah." Balas Ana dari atas
Ana segera keluar dari kamar, turun ke bawah dan berjalan menuju dapur. Membuatkan dua kopi untuk Abah dan juga tamunya. Sedangkan Alvan, Alvan terkikik begitu mendengar kata 'tamu abah'. Sudah seperti tamu penting saja, padahal aslinya cuma mampir dan memastikan sesuatu.
Selang beberapa menit, Ana datang dengan membawa nampan berisikan dua gelas kopi dan satu piring makanan ringan. Alvan terus menatap Ana tanpa kedip. Sedangkan Ana, perempuan satu ini tidak pernah menatap lelaki manapun selain guru dan keluarganya. Dan hal itu membuat Alvan kagum akan perempuan yang begitu menjaga pandangannya.
Setelah kepergian Ana, membuat Alvan gagal fokus. Yang awalnya mau ambil camilan di piring malah masuk pada kopi yang masih panas.
"Sss! Panas." Keluh Alvan meniup jarinya
"Nak Alvan... nak Alvan." Balas Ahmad menggelengkan kepala penuh keheranan mendapati sikap Alvan
"Itu siapa, pak? Perasaan anak pak Ahmad masih kecil." Tanya Alvan menanti jawaban Ahmad.
"Itu putri pertama saya. Selama sepuluh tahun di pesantren dan baru kali ini pulang. Awalnya nggak mau pulang, tapi dipaksa ibunya supaya mau pulang. Baru pertama kali lihat ya?"
Sepuluh tahun di pesantren dan baru kali ini pulang ke rumah? Senyaman itukah pesantren sampai Ana nggak mau pulang kalau nggak dipaksa? Batin Alvan membayangkan seperti apa itu pesantren.
"Emang di pesantren itu ngapain aja, pak?" Tanya Alvan mulai kepo soal pesantren
"Mengaji."
"Sepuluh tahun cuma mengaji?"
"Iya. Tapi, sekarang masih mau mengabdi. Dulu, saya pindah ke sini waktu Ana kelas satu dan hanya punya teman nak Ulya, kamu nggak menemui karena kamu masuk sekolah lain dan jarak beberapa bulan Ana langsung Abah masukkan pesantren. Masuk pesantren udah dari kelas dua madrasah ibtidaiyah dan baru kemarin lulus madrasah Aliyah. Katanya nggak mau kuliah, maunya ngabdi disana saja." Balas Ahmad menceritakan
"Lah, terus kapan nikahnya?"
"Masih lama nak Alvan. Kenapa nanya langsung begitu?"
"Saya kan mau lamar putri pak Ahmad." Ceplos Alvan tanpa berpikir panjang
"Punya modal apa kamu nikahi putri saya? Perbaiki akhlak mu, lebih banyakin ilmumu. Karena, sudah ada banyak lelaki yang lebih sepertimu yang sudah datang melamar putri saya." Balas Ahmad
Sudah banyak yang melamar? Wahh, nggak bisa dibiarin! Pokoknya gue harus bisa. Batin Alvan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
like plus subscribe 👍
2025-08-20
0