NovelToon NovelToon
Pawang Dokter Impoten

Pawang Dokter Impoten

Status: tamat
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua / Cintapertama / Tamat
Popularitas:1.5M
Nilai: 4.9
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Dokter Arslan Erdem Mahardika, pria tampan dan cerdas berusia 33 tahun, memiliki segalanya kecuali satu hal yaitu kepercayaan diri untuk menikah.

Bukan karena dia playboy atau belum siap berkomitmen, tapi karena sebuah rahasia yang ia bongkar sendiri kepada setiap perempuan yang dijodohkan dengannya yaitu ia impoten.

Setiap kencan buta berakhir bencana.
Setiap perjodohan berubah jadi kegagalan.

Tanpa cinta, tanpa ekspektasi, dan tanpa rasa malu, Tari Nayaka dipertemukan dengan Arslan. Alih-alih ilfeel, Tari justru penasaran. Bukannya lari setelah tahu kelemahan Arslan, dia malah menantang balik sang dokter yang terlalu kaku dan pesimis soal cinta.

“Kalau impoten doang, bisa diobatin, Bang. Yang susah itu, pria yang terlalu takut jatuh cinta,” ucap Tari, santai.

Yang awalnya hanya pengganti kakaknya, Tari justru jadi pawang paling ampuh bagi Arslan pawang hati, pawang ego, bahkan mungkin pawang rasa putus asanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 5

Suasana kantin rumah sakit mulai ramai. Suara baki beradu, langkah tergesa para tenaga medis, dan aroma sup hangat bercampur kopi pagi yang belum habis.

Nayaka berdiri di ujung antrian, memeluk tote bag sambil menimbang mau makan apa. Matanya melirik papan menu digital, keningnya sedikit berkerut.

“Terlalu banyak pilihan, tapi rasanya semua kayak makanan ujian,” gumamnya.

Tiba-tiba seseorang berdiri di belakangnya. Diam, tanpa suara. Tapi aroma parfumnya langsung menusuk indra.

“Ambil apa saja. Lima menit,” ujar Arslan pendek.

Nayaka nyaris menjatuhkan baki. “Astaga, Dok. Jangan muncul tiba-tiba gitu dong,” ucapnya kaget sambil menarik nafas.

Dokter itu tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan menuju meja paling pojok, tanpa mengambil apa-apa dari etalase. Tatapannya lurus, langkahnya tenang.

Nayaka pun akhirnya memilih nasi dengan lauk simpel, lalu menyusul. Ia sempat ragu sebelum duduk di hadapan pria itu.

“Ngajak makan bareng?” tanyanya sambil menyesap es teh.

“Enggak. Tapi kamu duduk juga nggak dilarang,” sahut Arslan tenang.

Suasana sempat hening. Hanya suara sendok beradu dan para staf lain yang sesekali melirik mereka berdua.

“Dari tadi kamu kayak CCTV. Dari ruang operasi sampai sekarang,” celetuk Nayaka.

“Aku biasa mengamati,” ucap Arslan tanpa menatap.

“Terus kamu nilai aku gimana hari ini?” pancing Nayaka sambil mencolek tumis buncisnya.

“Belum buruk. Tapi belum bisa dibanggakan juga,” katanya datar.

Nayaka tertawa pelan. “Jawaban khas kamu banget. Dingin tapi nyebelin,” ucapnya sambil mencolek sambal.

Arslan akhirnya menatap. Matanya tajam tapi tidak seketus tadi. Ia menyandarkan punggung ke kursi dan menangkupkan tangan.

“Kenapa kamu terima lamaran ini?” tanyanya tiba-tiba.

Nayaka terdiam. Suapannya tertahan. Ia menatap pria itu dalam-dalam lalu menghela napas.

“Karena Mama aku bilang ini kesempatan. Dan aku pengen ngebuktiin, aku bisa berdiri di tempat yang nggak semua orang bisa tempati,” katanya serius.

Arslan mengangguk pelan. “Kamu sadar ini bukan pernikahan biasa?”

“Yup. Aku juga bukan cewek biasa,” ucap Nayaka santai.

Lagi-lagi, ekspresi Arslan nyaris tak terbaca. Tapi sorot matanya mulai mengendur. Ia melihat jam tangan, lalu bangkit.

“Waktu istirahat habis. Kita ketemu lagi sore, ruang 12. Pasien jantung,” katanya sambil mengambil jas dokter.

“Siap, Pak Dokter misterius,” ucap Nayaka sambil memberi hormat kecil.

Arslan tak menoleh. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia sempat berkata tanpa menatap, “Jangan terlalu dekat di depan banyak orang.”

“Karena kita masih rahasia?” tanya Nayaka penasaran.

“Karena aku benci jadi pusat perhatian,” ucapnya pelan lalu menghilang di balik pintu kaca.

Nayaka menyandarkan diri ke kursi, menatap baki makannya yang masih tersisa setengah.

“Aneh banget sih. Tapi bikin penasaran,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Beberapa perawat di meja seberang saling bisik.

“Itu Nayaka kan? Kok bisa akrab sama Dokter Arslan?”

“Katanya sih asistennya. Tapi vibes-nya beda,” ucap yang lain sambil menyipitkan mata.

Dan di sudut ruangan, kamera CCTV rumah sakit tetap menyala merekam tanpa suara, tanpa ampun, persis seperti cara Arslan menilai segalanya.

Nayaka masih duduk santai di pojok kantin. Tangannya memutar-mutar sedotan plastik dalam gelas teh yang sudah mulai mencair. Pandangannya kosong, tapi pikirannya tidak.

Belum sempat berdiri, suara hak sepatu menghentak pelan mendekat. Seorang perempuan berseragam putih dengan lipstik merah mencolok tiba-tiba berhenti di depan mejanya. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya tajam.

“Kamu perawat baru, kan?” tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada.

Nayaka mengangguk singkat. “Iya, kenapa?”

Perempuan itu mengedip sebelah mata, lalu menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati Arslan. “Saran aja sih, jangan terlalu dekat sama dokter Arslan. Dia itu bukan level kamu,” ujarnya setengah berbisik, tapi sengaja dibuat terdengar orang sekitar.

Nayaka mengangkat alis. “Level?”

“Iya. Dia itu gimana ya, terlalu tinggi buat kamu gapai. Sekalipun kamu cantik, tetap aja kamu bukan dari lingkaran dia,” imbuhnya sambil tersenyum miring.

Beberapa perawat lain yang duduk tak jauh mulai saling pandang. Ruangan kantin yang semula riuh mendadak terasa lebih senyap.

Nayaka berdiri. Pelan, tapi mantap. Matanya menatap lurus ke arah perempuan itu.

“Kalau menurut kamu aku nggak selevel, mungkin karena aku nggak perlu ngerendahin diri buat kelihatan pantas,” ujarnya tenang.

Perempuan itu mendengus. “Maksud kamu?”

“Aku cuma bilang, ada orang yang naik karena kualitas, ada juga yang berdiri karena dorongan angin,” jawab Nayaka sambil tersenyum santai.

“Jadi kamu ngerasa kualitas kamu udah pantas buat dia?” cecar perawat itu lagi, matanya menyipit.

“Aku nggak perlu ngerasa pantas. Yang penting aku tahu cara berdiri di tempat yang banyak orang cuma bisa lihat dari kejauhan,” balas Nayaka santai, tapi nada suaranya menancap.

Beberapa orang mulai berbisik. Situasi makin jadi tontonan.

Perawat itu mengerucutkan bibirnya, lalu berkata, “Jangan sampai kamu cuma jadi mainan dokter ganteng kayak dia. Habis manis sepah dibuang.”

Nayaka menarik napas, lalu tersenyum kecil. “Tenang aja. Aku bukan tipe yang gampang dipakai terus ditinggal. Lagian, tahu dari mana kalau dia bisa ‘main’? Mungkin dia cuma bisa lihat, bukan ngerasain,” ucapnya kalem, menyentuh bahu si perawat sebelum mengambil baki makannya.

Perawat itu terdiam. Matanya membelalak. Sekilas tampak bingung, seolah sedang menerjemahkan makna terselubung dari kalimat Nayaka barusan.

Sambil berjalan keluar, Nayaka berbisik ke dirinya sendiri, “Impian bisa dibagi, tapi rahasia harus dijaga.”

Ia tahu, satu kalimat ceroboh bisa memicu badai. Dan satu rahasia tentang rencana pernikahan mereka dan kondisi calon suaminya harus dijaga mati-matian. Tidak semua hal layak diumbar, apalagi kepada orang yang senang mengaduk racun dengan senyum manis.

Jam dinding di ruang ganti menunjukkan pukul empat lewat lima. Ruang operasi belum terlalu ramai. Beberapa staf terlihat memeriksa alat, sebagian sudah bersiap di balik tirai steril. Udara terasa lebih dingin dibanding siang tadi.

Nayaka masuk pelan. Langkahnya mantap. ID card tergantung rapi di leher. Rambut diikat lebih tinggi. Pandangannya langsung tertuju ke sosok pria yang berdiri di depan papan monitor—diam, fokus, dan masih setegas tadi pagi.

“Perawat Nayaka melapor, siap tempur, Dok,” serunya sambil berdiri di sisi meja steril.

Arslan menoleh sebentar. Matanya menyapu cepat. “Kamu datang dua menit lebih cepat,” katanya datar.

“Biar nggak diomelin kayak tadi,” ucap Nayaka santai sambil mengenakan sarung tangan.

“Bagus,” sahutnya pendek.

Sesi operasi kali ini berbeda. Hanya ada dua asisten. Ruang jadi lebih sunyi. Tak banyak suara selain instruksi dari Arslan dan bunyi alat medis yang sesekali menyala.

“Retraktor,” ucapnya tanpa nada.

Nayaka langsung menyerahkan. Tangannya tidak ragu. Tatapannya tak lepas dari gerakan jari Arslan yang halus dan terkontrol. Ia mengamati, belajar, dan mengikuti. Beberapa kali, Arslan hanya mengangguk kecil sebagai bentuk apresiasi—meski tanpa senyum, tanpa pujian.

“Kamu cepat belajar,” gumamnya tiba-tiba.

Nayaka sempat menoleh. “Aku punya kakak dokter. Kalau nggak lincah, bisa ketinggalan,” jawabnya sambil tetap awas.

Arslan tidak menanggapi. Ia hanya memindah posisi berdirinya, lalu melanjutkan prosedur dengan gerakan cepat.

Operasi berlangsung satu jam. Semuanya berjalan sesuai rencana. Setelah pasien dipindahkan, ruangan mulai dikosongkan. Hanya tersisa mereka berdua dan seorang perawat senior yang sibuk mencatat hasil laporan.

Nayaka mulai melepas sarung tangan. Pipinya basah oleh keringat, tapi senyumnya masih segar.

“Lumayan ya, buat operasi kedua,” katanya sambil duduk di kursi kecil dekat wastafel.

Arslan melepas masker, lalu menoleh. “Buat ukuran pemula, kamu terlalu santai,” ujarnya pelan.

Nayaka meneguk air mineral. “Karena kamu terlalu tegang. Harus ada yang netralin,” ucapnya dengan nada bercanda.

Arslan menghela napas. Ia menyandarkan tubuh ke meja, menatapnya cukup lama. Pandangannya tidak menilai, tidak tajam, tapi juga tidak lunak.

“Kamu sadar semua ini belum tentu berhasil,” katanya akhirnya.

Nayaka berhenti meneguk. Tatapannya berubah.

“Maksudnya soal pernikahan kita?” tanyanya hati-hati.

Arslan mengangguk. “Aku bukan orang biasa. Bukan suami ideal. Kamu tahu itu.”

“Aku juga bukan perempuan yang nuntut banyak. Kita setara,” jawab Nayaka cepat.

Arslan diam lagi. Lama. Seolah sedang memilih kata. Lalu akhirnya ia berkata pelan, nyaris seperti bisikan.

“Kalau kamu berubah pikiran nanti, bilang saja. Jangan pura-pura kuat.”

Nayaka berdiri. Ia melangkah mendekat, lalu berdiri tepat di depannya.

“Aku memang nggak kuat. Tapi aku bisa tahan. Itu beda,” imbuhnya tanpa ragu.

Tatapan mereka saling bertaut. Sunyi. Tapi bukan canggung. Lebih ke arah saling mengukur.

Arslan memalingkan wajah, mengambil jas putihnya. “Besok jam enam pagi. Kita mulai lebih awal,” katanya tanpa ekspresi.

Nayaka mengangguk. “Siap, Dok. Tapi kalau telat, jangan langsung buang aku ke tempat sampah ya,” candanya sambil melambai sebelum keluar.

Arslan tidak menjawab. Tapi begitu pintu tertutup, ia menarik napas pelan. Pandangannya mengarah ke sisa embun di permukaan kaca alat monitor.

Entah kenapa, sejak siang tadi, detak detik jam dinding terasa lebih lambat setiap Nayaka muncul.

1
Widia Aja
Ah, so sweet...
Helen Gunawan
seruu dan intinya cerita pendek g beratus2 episode bosan nantinya
Alyanceyoumee: Assalamualaikum. Thor permisi, ikut promo ya.🙏

Hai Kak, Baca juga di novel ku yang berjudul "PARTING SMILE" ya, atau klik profil ku, Terimakasih 🙏
total 1 replies
🧒🏻im@ chu😎🍇
Perasaan banyak amat musuhnya ih
🧒🏻im@ chu😎🍇
Plot twistnya queena adalah anak elvina dan reyhan sih menurutku
🧒🏻im@ chu😎🍇
Reyhan anying
Widia Aja
Awal cerita yg menarik..
Debbie Teguh
keren bgt, gaya bahasanya tertata rapi, gombal tp gak lebay, indah
Netty Netty
banyak banget typo nya, sampai pening, berhubung ceritanya menarik, aku lanjut aja lah thorr🤣
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭😂

minusnya author kebangetan kak jadi banyak banget kesalahan penulisannya 🙏🏻
total 1 replies
Netty Netty
agak bingung Yaa thorr, koq bisa lahir nya di Paris, tetiba aja ada di jakarta itu baby🤣🤣🤣
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: kan dibuang kak sewaktu usianya jalan sebulan hingga ke Indonesia
total 1 replies
Murti Puji Lestari
suuuukaaaa banget sama ceritanya kak
semangat berkarya kakak
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Gita Ejhe
suka banget cerita nyaa 😍
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak kakak 🙏🏻🥰
total 1 replies
Netty Netty
ceritanya agak bingung ya,, katanya si kakak aylara kerja di rs lain, koq tiba2 ada di rs mahardika jg, truss si odelia sm kiara kerja di rs mahardika jg ya/Shy/
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: awalnya memang gitu kakak cuman Aylara itu kerja di dua tempat sekaligus.
total 1 replies
Netty Netty
bagus, menambah wawasan, tokoh wanitanya yg tangguh Dan tidak menye2/Facepalm/
Inooy
makasih ka Fani cerita nyaaa,,aq suka walaupun suka typo panggilan 🤭👍👍❤️❤️❤️❤️
Inooy: sama2 ka Fanii
total 2 replies
Inooy
menurut aq cerita nya sederhana tp sarat dgn ketulusan, keikhlasan dn kesetiaan....👍👍
d sini jg d sisipi penggalan Al-Qur'an jd makin suka aq 😍
Inooy: sama2 ka Fani 🤗
total 2 replies
Inooy
nah lhooo mertua mu pada datang Naaay 🤣🤣🤣
Inooy
huahahaha,,ngakak abiiiss..smua udh pada panik g tau nyaaaa,,cuma sakit perut karena sembeliiiitt 🤣🤣🤣/Facepalm/
Naaay,,Naay kamu berhasil bikin smua orang heboh dn super panik..termasuk suami kulkas muuu 🤣🤣🤣🤣🤣
Sintia Dewi
dokter talia ini suka jd pusat perhatian tp dia gk bs dpt itu jd dia selalu buat perkara dgn mreka2 yg buat dia iri..ditunggu kehancuranya ya dok
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe biasa kak perempuan yang caper
total 1 replies
Sintia Dewi
owalah...ibu sm anak sma aja ternya bu retno ibunya elara si pelakor..udh nikah toh ternyata
Sintia Dewi
hadeh...ada2 aja yg modelan manusia gk tau diri gini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!