NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Abu dan Tulang

Perintah itu sederhana: "Jangan sisakan tikus hidup."

Dan murid-murid Sekte Pedang Azure melaksanakannya dengan efisiensi yang mengerikan.

Mereka tidak bergerak seperti pahlawan dalam cerita rakyat. Mereka bergerak seperti tukang jagal. Pedang-pedang biru berkilatan di udara, menebas jubah kasaya safron dan abu-abu. Tidak ada duel kehormatan. Tidak ada pertukaran jurus. Hanya pembantaian sepihak terhadap biksu-biksu yang sebagian besar tidak bersenjata dan tidak pernah melatih niat membunuh.

"Lari! Semuanya lari ke hutan!" Liang Wu mencoba berteriak, tapi suaranya hilang ditelan gemuruh api.

Seorang murid senior Aliansi melemparkan jimat api ke atap Aula Utama. BUMM! Lidah api oranye menjilat langit-langit kayu tua yang kering, menyebar dalam hitungan detik. Asap hitam pekat membubung, menghalangi matahari, mengubah siang menjadi senja berdarah.

Liang Wu merangkak. Tekanan aura Patriark Zhao sudah hilang—pria itu sudah kembali ke tandunya, tidak sudi melihat darah mengotori sepatunya—tapi tubuh Liang Wu terlalu lemah untuk berdiri.

Di depannya, Biksu Han sedang berlari. Bocah itu memeluk sebuah panci tembaga, mungkin satu-satunya "harta" yang bisa dia pikirkan untuk diselamatkan.

"Han! Lewat sini!" seru Liang Wu.

Han menoleh, wajahnya basah oleh air mata. "Kakak Liang—"

Srrrt.

Sebuah pedang menembus dada kecil itu dari belakang.

Mata Han membelalak. Panci tembaga itu jatuh—klontang—suaranya nyaring dan menyedihkan di tengah teriakan perang.

Di belakang Han, berdiri seorang murid muda Sekte Pedang Azure. Dia tertawa. Dia mencabut pedangnya, dan tubuh kecil Han jatuh tersungkur ke tanah, tepat di depan Liang Wu. Darah hangat memercik ke wajah Liang Wu.

"Satu tikus kecil mati," ejek murid itu, membersihkan darah Han di lengan bajunya. "Hei, lihat! Ini murid utama mereka! Yang ingin membunuh Tuan Duan!"

Tiga murid lain mendekat, wajah mereka menyeringai di bawah cahaya api. Mereka mengelilingi Liang Wu seperti serigala mengelilingi domba yang lumpuh.

"Kau yang mematahkan wajah Saudara Duan?" tanya salah satu dari mereka, menendang rusuk Liang Wu.

Krak.

Liang Wu mengerang, memuntahkan darah. Dia mencoba menggapai pedang kayu latihannya yang tergeletak beberapa jengkal jauhnya—pedang dengan Simpul Tali Merah Mei.

"Mau melawan?" Murid lain menginjak tangan kanan Liang Wu. Dia memutar tumitnya di atas jari-jari Liang Wu. "Tangan ini yang kau pakai untuk memukul? Hancurkan saja."

Rasa sakit yang menyilaukan meledak di tangan Liang Wu. Tapi dia tidak menariknya. Dia menatap lekat-lekat pada mayat Han di sebelahnya. Dia menatap kepala Guru Xuan yang masih tergeletak di dekat gerbang, matanya menatap kosong ke arah api.

Welas asih, batin Liang Wu. Inilah hasil welas asih.

"Bunuh dia," perintah pemimpin regu itu. "Patriark ingin kepalanya."

Pedang terangkat.

Namun, sebelum pedang itu bisa turun, atap Aula Utama di belakang mereka mengeluarkan suara gemuruh yang dahsyat. Balok penyangga utama telah habis terbakar.

KRAAAK!

Bangunan raksasa itu runtuh. Bukan ke dalam, tapi ke luar.

"Awas!" teriak murid Sekte Pedang Azure. Mereka melompat mundur.

Liang Wu tidak bisa melompat.

Reruntuhan kayu yang terbakar, genting emas yang meleleh, dan Patung Buddha Maitreya raksasa dari perunggu setinggi tiga tombak itu jatuh menimpanya.

"Mati kau!" teriak murid musuh, melihat Liang Wu tertimbun longsoran api dan batu.

Dunia Liang Wu menjadi gelap. Panas. Dan berat.

Liang Wu tidak mati.

Keberuntungan, atau mungkin kutukan, menyelamatkannya. Dia jatuh ke dalam celah parit halaman tepat sebelum reruntuhan menimpanya. Patung Buddha Maitreya yang jatuh itu mendarat miring di atas parit, menciptakan rongga kecil—sebuah segitiga kehidupan di tengah neraka.

Tapi itu bukan tempat yang nyaman.

Udara di dalam rongga itu panas membara. Asap mencekik paru-parunya. Dan di atas kepalanya, balok kayu yang terbakar meneteskan bara cair.

Tess.

Sebuah tetesan damar panas jatuh tepat di sisi kiri wajahnya.

"ARGHHH!"

Liang Wu menjerit dalam kegelapan. Kulit pipi kirinya melepuh, dagingnya terbakar. Rasa sakitnya begitu hebat hingga dia berharap pedang tadi memenggalnya saja. Dia mencakar tanah, mencakar batu, mencoba memadamkan api di wajahnya dengan lumpur parit.

Baunya... bau dagingnya sendiri yang terbakar bercampur dengan bau mayat teman-temannya di luar sana.

Dia sendirian. Terkubur hidup-hidup di bawah patung yang dia sembah seumur hidupnya.

Di luar, suara teriakan perlahan mereda. Digantikan oleh suara api yang melahap sisa-sisa kayu.

"Sudah bersih?" suara Patriark Zhao terdengar samar dari kejauhan.

"Sudah, Patriark. Murid utama itu tertimpa patung. Pasti sudah jadi abu," lapor seorang bawahan.

"Bagus. Ayo pergi. Biarkan hujan membersihkan sisanya."

Langkah kaki menjauh. Sunyi kembali.

Liang Wu terbaring di dalam liang kuburnya. Separuh wajahnya hancur. Rusuknya patah. Hatinya sudah tidak ada.

Tangan kanannya, yang tadi diinjak, meraba-raba dalam kegelapan. Jari-jarinya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin.

Kepala Guru Xuan.

Reruntuhan itu menyeret kepala gurunya masuk ke dalam parit bersamanya.

Liang Wu menarik kepala itu ke pelukannya. Dia memeluk sisa gurunya di tengah kegelapan yang panas. Dia tidak berdoa. Dia tidak melantunkan sutra penyeberangan.

Dia mendekatkan bibirnya ke telinga gurunya yang dingin.

"Guru..." bisik Liang Wu, suaranya parau karena asap dan darah. "Guru salah. Langit tidak buta. Langit hanya tidak peduli."

Dia meraba lehernya sendiri. Tasbih kayu cendana itu masih ada, tapi talinya putus saat dia jatuh. Butir-butirannya berserakan di tanah.

Liang Wu memungut satu per satu butiran tasbih itu dengan tangan gemetar. Tapi kemudian, tangannya menyentuh sesuatu yang lain. Tulang.

Tulang jari teman-temannya. Tulang jari Han yang hancur.

Liang Wu mengambil tulang jari kelingking Han yang putus. Dia memasukkannya ke dalam saku jubahnya.

"Aku tidak akan menjadi Buddha," bisik Liang Wu pada kegelapan, pada patung Maitreya yang menindihnya. "Aku akan menjadi Hukuman."

Di dalam reruntuhan yang membara itu, di bawah beratnya dosa dan kematian, Qi di dalam tubuh Liang Wu berubah.

Pengumpulan Qi Tingkat 6. Pengumpulan Qi Tingkat 7.

Rasa sakit dari wajahnya yang terbakar menjadi bahan bakar. Rasa benci menjadi minyak.

Liang Wu menutup matanya yang tersisa satu yang utuh. Dia akan menunggu. Dia akan menunggu sampai api padam. Dia akan menunggu sampai mereka melupakannya.

Dan ketika dia keluar nanti... dunia akan tahu arti sebenarnya dari karma.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!