Pawang Dokter Impoten
Dr. Arslan Han Mahardika dan Tari Nayaka Ghazali.
Hari Minggu, seperti biasa, arisan keluarga besar Han digelar sebulan sekali. Kali ini, rumah Bu Retno Wulandari jadi tempat berkumpul. Semua anggota keluarga hadir, termasuk Bu Selma, yang bulan depan kebagian jadi tuan rumah.
Bu Selma datang dengan wajah tenang, meski sebenarnya ada rasa tak nyaman yang dipendam rapat. Perempuan berdarah Korea-Jawa itu tetap tersenyum saat menyapa kakak dan adik-adiknya.
Obrolan santai di ruang tengah perlahan berubah arah. Topik yang awalnya ringan, mendadak menyentuh hal yang cukup sensitif bagi Bu Selma anak semata wayangnya, dokter Arslan.
"Selma, itu kabar burung soal anakmu beneran ya? Katanya... dia impoten," ujar Bu Retno pelan sambil menyeruput teh.
"Saya juga denger begitu," timpal Bu Wana cepat, "dari mantan calon menantumu itu, katanya batal nikah gara-gara Arslan ngaku soal kondisi dia."
Bu Anjani ikut menambahkan, "Cuma kamu lho, Mbak Selma, yang belum punya menantu. Apalagi cucu."
Suasana agak hening sejenak. Namun, Bu Selma hanya menarik napas tipis, lalu menegakkan badan. Matanya menatap mereka satu per satu.
"Kalian nggak usah khawatir. Bulan ini, Arslan bakal menikah. Dan soal keturunan, dia pasti bisa punya anak. Omongan orang di luar sana itu cuma fitnah," ucapnya mantap, suaranya terdengar yakin meski nadanya tetap lembut.
Para ipar dan saudara laki-laki mereka duduk di teras, mengobrol santai soal bisnis. Semuanya pengusaha sukses, tak ada yang benar-benar ikut campur urusan para istri, tapi kadang ikut mendengar dari balik percakapan yang menyembul ke luar.
Bu Selma mencoba tetap tenang di hadapan keluarganya. Dalam hati, ia tahu beban itu tak ringan, tapi ia pun tak sudi anaknya dihina oleh keluarganya sendiri. Bagi Bu Selma, harga diri Arslan harus dijaga, apapun kondisi yang sebenarnya terjadi.
Sesampainya di rumah mewahnya…
Malam itu, rumah berlantai tiga milik Pak Erdem Mahardika dipenuhi hawa panas meski AC menyala penuh. Langit di luar terang oleh cahaya bulan purnama, memantul lewat jendela kaca besar yang menghadap halaman depan. Suasana dalam rumah terasa tegang, terutama di ruang tengah tempat keluarga berkumpul.
Dokter Arslan Han Mahardika duduk dengan tubuh condong ke depan, tangan meremas pelipis, rahangnya mengeras. Pria 33 tahun itu adalah satu-satunya putra dari pasangan konglomerat rumah sakit yang sangat berpengaruh di Jakarta.
Sang ayah, Erdem Mahardika, berdarah campuran Indonesia-Turki. Sementara ibunya, Selma Han, wanita elegan keturunan Korea dan Jawa.
“Putraku, Mama nggak mau terus diremehkan oleh semua saudaranya Mama dan paling nggak suka kalau mereka merendahkanmu, makanya Mama akan jodohkan kamu dengan putri sulungnya teman Mama,” ujarnya Bu Selma.
“Aku udah bilang dari dulu, Ma, Pa, aku ini impoten. Mana ada perempuan waras yang mau hidup sama aku?” ucap Arslan dengan nada meninggi.
Bu Selma merapatkan selendang ke bahunya, menatap anaknya dengan wajah gusar. “Namanya Aylara Valeska. Dia juga dokter, pintar, sopan, dan dari keluarga baik-baik. Tolong temui dulu, setidaknya beri kesempatan,” katanya dengan lirih.
Arslan memejamkan mata, menghembus nafas berat. Ia tahu, kencan buta seperti ini bukan kali pertama dan selalu berakhir sama dengan penolakan.
“Kalau dia nggak cocok, cari yang lain aja. Kamu itu dokter spesialis, tampan, mapan, dan satu-satunya penerus rumah sakit keluarga. Jangan terlalu banyak menolak,” ujar Pak Erdem sambil mengetuk-ngetuk sandaran kursi dengan jemari.
Pria muda itu tetap bergeming. Namun saat melihat ibunya mulai meneteskan air mata, hatinya mulai goyah. Bu Selma tersedu, suara tangisnya menyesakkan suasana malam yang seharusnya tenang.
“Kami makin tua. Elvina masih terlalu muda buat menikah. Harapan Mama cuma kamu. Mama cuma ingin menggendong cucu sebelum napas ini selesai,” ucapnya penuh harap.
Arslan menatap ibunya lama, lalu berkata pelan, “Gimana mungkin aku bisa kasih Mama cucu, kalau dari sisi medis pun aku tahu ini nggak bisa?”
Bu Selma menggeleng cepat, “Mama yakin kamu akan sembuh. Teman Mama bilang, putrinya cocok buat kamu. Namanya Aylara, anak Pak Ghazali. Feeling Mama kuat sekali.”
“Mama aku ini dokter, aku ngerti tubuhku. Semua mulai rusak sejak kejadian waktu SMA. Waktu bola itu kena, selesai sudah semuanya.”
Elvina, adik bungsunya, tiba-tiba ikut bicara sambil memeluk lengan ibunya, “Kakak tega lihat Mama nangis gini? Kakak mau Mama jatuh sakit lagi?”
Arslan terdiam. Akhirnya ia bangkit berdiri, menatap dua orang tuanya yang terus berharap, lalu berkata dengan nada datar, “Ini yang terakhir. Kalau gagal, aku minta Papa dan Mama berhenti menjodohkan aku.”
---
Sedangkan di tempat berbeda, suasana tak kalah kacau terjadi di rumah keluarga Ghazali. Bulan purnama menggantung sempurna di langit, namun ketegangan di dalam rumah justru memuncak.
Aylara Valeska membanting bantal ke sofa. Rambut panjangnya diikat asal, wajahnya merah karena kesal.
“Mama! Gimana bisa Mama jodohin aku sama dokter yang katanya impoten? Serius?!” serunya dengan suara meninggi.
Bu Dina berdiri tegak di ambang pintu ruang tamu. Sorot matanya tajam, nyaris menyala. “Kamu udah dua puluh delapan, Ayla. Sudah cukup umur. Arslan itu bukan orang sembarangan. Dia pewaris rumah sakit ternama, ganteng, pintar. Kurang apa lagi?” katanya ketus.
“Kurang fungsi, Ma! Aku disuruh nikah sama pria lemas begitu?” tegas Ayla sambil berkacak pinggang.
Tari Nayaka yang duduk di dekat meja makan malah cekikikan. “Kakak terima aja lah. Impoten tapi setidaknya hidup kamu dijamin sampai tujuh turunan,” candanya ringan.
Ayla mendelik ke arah adiknya. “Kalau begitu kamu aja Nay yang nikah sama dia. Aku udah punya pacar. Namanya Kaisar. Dia janji bakal lamar aku bulan ini!” serunya.
Tari malah makin keras tertawa. “Halah, Kaisar juga belum tentu serius. Yang pasti-pasti aja,” imbuhnya.
Bu Dina memijat kening. Kepalanya mendadak berat. Ia sadar betul kalau dirinya punya utang budi besar pada keluarga Mahardika. Dulu, semasa suaminya hidup, usaha kecil mereka hampir runtuh.
Tetapi Pak Erdem-lah yang menyelamatkannya. Membalasnya dengan menolak perjodohan jelas membuat hatinya kacau.
Perdebatan semakin panjang. Akhirnya, Bu Dina menoleh pada anak bungsunya.
“Nay, temui Arslan. Siapa tahu cocok. Kamu juga belum ada calon, kan?”
Tari mendadak terdiam, lalu menjawab cepat, “Aku nggak mau juga, Ma. Aku belum siap!”
Namun wajah Bu Dina berubah sendu. Matanya berkaca-kaca. Suaranya gemetar. “Anggap aja ini bentuk terima kasih kita, Nak.”
Melihat ekspresi ibunya, Nayaka akhirnya menyerah. “Baik, aku temui dia. Tapi jangan paksa lebih dari itu,” ucapnya pelan.
Ruang keluarga mendadak kembali riuh setelah Nayaka berkata aku akan menerima perjodohan itu menggantikan Aylara kakaknya.
"Aku udah mikir," ucap Nayaka tiba-tiba, sambil meraih pisang goreng dari meja.
Ayla dan Bu Dina serempak menoleh.
"Mikir apa, Nay?" tanya Ayla curiga, sambil menyilangkan tangan di dada.
Nayaka mengunyah sebentar lalu berkata, "Aku terima tuh perjodohan. Tapi cuma buat ngebuktiin satu hal."
"Waduh... jangan main api, Nay," ujar Ayla cepat, matanya melebar.
Nayaka berdiri, menarik nafas sok heroik. "Kalau aku berhasil ya, berhasil menormalkan yang katanya layu itu aku dapat hadiah nggak, Ma?"
Bu Dina nyaris tersedak tehnya. "Maksud kamu si Dokter Arslan?"
"Apa lagi? Masak sih dokter ganteng kayak gitu katanya impoten? Please, Ma. Aku perawat, bukan tukang sayur. Aku ngerti titik-titik krusial di tubuh manusia," ujar Nayaka dengan gaya tangannya muter-muter di udara.
Ayla menepuk jidat, “Nay... please jangan ngomong sembarangan...”
“Ini bukan sembarangan,” Nayaka menyambar dengan cepat, “Ini misi kemanusiaan.”
Bu Dina menggeleng pelan, tapi wajahnya setengah lega, setengah khawatir. Lalu ia melirik Aylara, anak sulungnya yang duduk manis di seberang.
"Sudah cukup drama, sekarang giliran kamu, Lar."
Aylara menoleh bingung. “Aku kenapa, Ma?”
Bu Dina mendekat, menatapnya dalam. "Besok, suruh pacarmu itu, Kaisar, datang melamar. Jangan cuma bisa antar jemput sama ngasih bunga.”
Aylara melongo. “Hah? Tapi Ma…”
“Udah, nggak ada tapi-tapian. Kamu udah pacaran lima tahun. Mau nunggu kiamat baru nikah?” ujar Bu Dina tegas.
Nayaka tergelak, lalu nyeletuk sambil duduk lagi, “Wih... rumah ini bakal penuh pria-pria ketar-ketir. Satu impoten, satu kelamaan pacaran. Kayaknya aku yang paling waras di keluarga ini.”
“Waras dari mana, Nay? Kamu yang paling serem,” gerutu Ayla.
“Tapi paling jujur,” jawab Nayaka, sambil kedip satu mata.
Hari pertemuan Nayaka dengan dokter Arslan.
Arslan terkejut melihat perempuan yang baru saja masuk ke dalam kafe tempat pertemuannya dengan calon istrinya itu.
Karena di fotonya perempuan itu kalem, cantik tapi yang muncul malah gadis lebih muda, lebih tinggi, sama-sama cantik, berkuncir dua dan dengan gaya sedikit tengil bar-bar memakai pakaian yang cukup modis tapi sedikit tomboy
Hari itu, di sebuah kafe modern yang tenang di sudut kota, Dokter Arslan duduk dengan tenang mengenakan kemeja putih dan blazer gelap.
Ia menatap layar ponselnya sambil sesekali melirik ke pintu masuk. Foto gadis yang dikirimkan ibunya seminggu lalu masih jelas terpatri di pikirannya gadis ayu berambut hitam lurus, wajahnya kalem, pakai gamis pastel dan senyum malu-malu.
Tapi saat pintu kafe terbuka, suara pintu kaca dan sepatu boots menghentak lantai membuatnya otomatis menoleh.
Seorang gadis berpostur tinggi dengan langkah penuh percaya diri masuk. Rambutnya pirang keemasan jelas bukan cat dikuncir dua, wajahnya bersih, cantik mencolok dengan aura blasteran.
Memakai jaket kulit hitam, crop top putih, dan celana jeans robek di lutut. Ada tindik kecil di telinga kirinya, dan tas selempang besar bertuliskan "NURSE ON DUTY".
Tari Nayaka atau lebih tepatnya, gadis bar-bar yang katanya akan dijodohkan dengannya.
Arslan membeku. Bukan karena takut. Tapi karena syok. Karena yang muncul sama sekali bukan seperti yang dibayangkan.
"Aku Nayaka," ucap si gadis itu santai sambil menarik kursi dan duduk tanpa permisi. Ia menjulurkan tangan dengan senyum tengil. "Lo dokter yang katanya impoten itu, ya?"
Arslan nyaris tersedak kopi.
Matanya membelalak, bukan karena marah, tapi karena perempuan ini beneran gila.
Nayaka menyeringai, mengangkat alis.
"Tenang aja, Dok. Aku bakal benerin sistem lo yang katanya rusak itu. Aku kan perawat."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Soraya
q mampir thor kayaknya seru
2025-07-30
2
Nur Hikmah iba
karya baru yah kak author
2025-07-30
0
Tiana qioa
ya Allah barbar amat
2025-08-09
0