Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Tangga berjalan
Ucup mengarahkan mereka naik sebuah ojek online yang berhenti tepat di depan sebuah bangunan raksasa yang berkilauan. Bangunan itu begitu besar dan megah, dengan dinding-dinding kaca yang memantulkan langit sore. Pintu-pintu otomatis terbuka dan tertutup saat orang-orang berpakaian bagus keluar masuk dengan kantong belanja di tangan mereka. Arjuna menatap bangunan itu dengan mulut sedikit terbuka. Ia pernah melihat yang seperti ini di televisi, tapi melihatnya langsung di depan mata terasa sangat berbeda.
"Mas Ucup... ini..."
"Gimana? Keren, kan?" kata Ucup sambil tersenyum lebar, menikmati ekspresi di wajah Arjuna.
Arjuna menelan ludah. Ia melihat penampilannya sendiri—kemeja flanel sederhana dan celana panjang hitam—lalu menatap orang-orang yang berlalu lalang. Ia merasa seperti debu dari proyek bangunan yang tak sengaja terbang dan menempel di sebuah gaun pesta yang mahal.
"Ini... ini serius kita mau ke sini?" tanya Arjuna dengan suara pelan, penuh dengan keheranan dan sedikit rasa tidak percaya diri.
Ucup tertawa. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa tulus seorang teman yang senang bisa menunjukkan hal baru. "Hahaha, iya, serius! Kenapa? Takut diculik sama manekin di dalam?" guraunya.
Ia merangkul pundak Arjuna, memberinya dorongan semangat. "Ayo, masuk. Anggap aja ini studi banding sebelum lo benar-benar masuk lingkungan UNG. Di sana nanti, yang kayak gini ini pemandangan biasa."
Dengan sedikit ragu, Arjuna melangkah mengikuti Ucup melewati pintu kaca otomatis.
Wussshhh.
Hembusan udara dingin yang wangi langsung menyambutnya, sangat kontras dengan hawa panas dan penuh polusi di luar. Matanya langsung silau oleh cahaya lampu yang begitu terang dan lantai keramik putih yang mengkilap hingga ia bisa melihat bayangannya sendiri. Di hadapannya, terhampar sebuah ruang mahaluas dengan langit-langit yang tinggi, toko-toko dengan nama merek asing yang sulit ia eja, dan suara musik yang lembut bercampur dengan dengungan ratusan orang yang berbicara.
"Ya Allah..." hanya itu yang bisa ia bisikkan.
"Itu namanya eskalator," kata Ucup sambil menunjuk ke arah "tangga yang berjalan sendiri" yang pernah ia sebutkan. Orang-orang hanya perlu berdiri dan tangga itu akan membawa mereka naik atau turun.
Arjuna menatapnya dengan takjub. Di desanya, ia harus mendaki lereng yang terjal. Di sini, bahkan untuk naik ke lantai atas pun orang tidak perlu bersusah payah.
"Ayo, kita ke lantai tiga. Toko bukunya di sana," ajak Ucup.
Ucup memimpin jalan menuju eskalator. Saat tiba giliran mereka, Arjuna sedikit ragu. Ia melihat anak tangga itu terus bergerak, takut salah melangkah. Ucup, yang menyadari keraguan Arjuna, hanya tersenyum maklum.
"Santai aja. Injak pas anak tangganya muncul. Nggak usah loncat," katanya memberi instruksi.
Dengan hati-hati, Arjuna melangkahkan kakinya ke atas eskalator. Untuk sesaat, ia merasa sedikit oleng saat tubuhnya terbawa naik, tapi ia segera menemukan keseimbangannya. Rasanya aneh dan ajaib. Ia menoleh ke bawah, melihat lobi utama yang ramai semakin mengecil. Kemewahan ini... dunia ini... terasa begitu jauh dari kehidupannya.
Mereka melewati toko-toko yang memajang pakaian, sepatu, dan jam tangan dengan harga yang tertera di label kecilnya. Arjuna melihat sebuah tas kulit di dalam etalase kaca. Harganya setara dengan upahnya mengangkut seribu karung semen. Pikirannya tanpa sadar selalu mengkonversi semua kemewahan itu menjadi tumpukan karung semen, satu-satunya tolok ukur nilai uang yang ia pahami saat ini.
"Nah," suara Ucup membuyarkan lamunannya. "Markas pertama kita sudah di depan mata."
Arjuna mengangkat kepala. Di hadapannya kini berdiri sebuah toko dengan papan nama besar yang ia kenali: Gramedia. Pintu masuknya terbuka lebar, memperlihatkan rak-rak tinggi yang menjulang penuh dengan ribuan buku. Ini adalah jenis "kemewahan" yang berbeda. Kemewahan ilmu pengetahuan. Dan di sini, untuk pertama kalinya sejak memasuki mall, Arjuna merasa sedikit lebih nyaman.
Memasuki Gramedia, Arjuna merasa seperti masuk ke dalam sebuah perpustakaan raksasa yang jauh lebih modern dari perpustakaan sekolahnya dulu. Rak-rak buku yang tinggi menjulang, aroma kertas baru, dan suasana yang tenang namun sibuk membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Ini adalah kemewahan ilmu, dan ia bisa merasakannya.
"Oke, misi pertama: alat tulis," kata Ucup dengan semangat, menepuk punggung Arjuna dan membimbingnya ke area ATK (Alat Tulis Kantor).
Area itu adalah surga bagi para pelajar. Berbagai macam pulpen, pensil, buku catatan dengan sampul warna-warni, dan aneka perlengkapan lain tertata dengan sangat rapi. Mata Arjuna langsung tertuju pada deretan buku tulis paling sederhana, yang harganya paling terjangkau. Namun, saat ia mengambil satu dan melihat label harganya, ia terkejut.
"Mas Ucup..." panggilnya pelan, suaranya nyaris berbisik. "Ini... harga satu buku tulis ini bisa buat makan siang saya dua hari."
Ia lalu melihat ke deretan pulpen. Sebuah pulpen yang terlihat bagus dan nyaman untuk digenggam harganya setara dengan upahnya mengangkut belasan karung semen. Kepalanya pusing. Bagaimana bisa orang menghabiskan uang sebanyak ini hanya untuk alat tulis?
Ucup, yang sedang asyik memilih-milih sticky notes, menoleh dan melihat ekspresi wajah Arjuna yang pias. Ia langsung mengerti.
Ucup tertawa kecil, sebuah tawa yang penuh pengertian. "Hahaha, kaget ya, Jun?"
Arjuna hanya bisa mengangguk pelan, merasa sedikit malu.
Ucup mendekat dan menepuk bahu temannya itu. "Tenang aja. Ini investasi, Jun. Bukan cuma beli barang. Alat yang bagus bikin belajar lebih nyaman dan semangat. Anggap aja ini bagian dari modal awal beasiswamu."
Ia lalu menatap Arjuna dengan serius. "Dengerin gue. Jangan mikirin harganya dulu. Pilih aja mana yang lo butuh dan mana yang kualitasnya bagus. Soal bayar belakangan," katanya. Ia lalu tersenyum menenangkan. "Tenang, uangnya kurang, aku yang tambahin. Gampang itu."
Kebaikan dan pengertian Ucup membuat hati Arjuna menghangat. Ia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Ucup.
Dengan bimbingan Ucup, mereka mulai mengisi keranjang belanja. Ucup mengarahkannya untuk memilih buku-buku dengan jilid yang kuat, beberapa pulpen gel yang nyaman, pensil mekanik, penghapus, dan semua perlengkapan dasar lainnya. Setiap kali Arjuna ragu karena melihat harganya, Ucup akan berkata, "Udah, ambil aja. Ini penting."
Arjuna pun mulai rileks. Ia mulai menikmati proses memilih perlengkapan untuk kehidupan barunya sebagai mahasiswa. Ini adalah perasaan yang aneh dan menyenangkan. Setelah keranjang mereka terisi dengan peralatan tulis, kini tersisa satu barang penting terakhir.
"Oke," kata Ucup sambil melihat isi keranjang. "Amunisi dasar sudah lengkap. Sekarang kita cari senjata utamanya: tas ransel yang kuat buat nampung semua ini."
Setelah keranjang belanja mereka terisi dengan alat tulis, Ucup menepuk pundak Arjuna. "Amunisi dasar sudah lengkap. Sekarang kita cari senjata utamanya: tas ransel yang kuat buat nampung semua ini. Ada department store bagus di lantai bawah."
Arjuna mengangguk setuju. Mereka pun berjalan keluar dari toko buku, kembali ke suasana mall yang ramai dan riuh. Untuk menuju eskalator turun, mereka harus melewati area food court dan beberapa kafe terbuka yang padat pengunjung. Aroma kopi, wafel, dan berbagai masakan bercampur di udara.
biar nulisny makin lancar...💪